Sabtu, 27 Desember 2008

1. Genesis

“Jangan keluyuran,” pesan itu selalu Sony ulang setiap hari. Dasar bengal. Sudah dinasehati berkali-kali, pikirannya masih saja suka berkelana ke mana-mana. Meloncat dari satu kejadian ke peristiwa yang lain. Melayang dari satu memori ke kenangan berikutnya. Menyelinap dari satu masa menuju ke kala yang jauh. Meliuk dari satu soal ke perihal yang satunya. Berkelok dari satu topik ke bahasan yang berbeda. Pelesiran melulu. Capek dia, meski kadang-kadang mengasyikkan juga.
Pria paruh baya itu akhirnya menyerah. Karena sudah bosan memberi nasehat, dia biarkan saja pikirannya itu keluyuran kesana-kemari. “Silahkan jalan-jalan. Sampai gempor,” gerutunya.
Nama lengkapnya Adi Suharsono. Keluarga dan kawan-kawan memanggilnya Sony. Istrinya, Febriana Silangturi, seorang wanita karir yang berhasil, bekerja di sebuah perusahaan furnitur besar sebagai pemasar. Anak pertamanya, Rizky Putra, duduk di bangku SMP, baru kelas satu. Sedangkan anaknya yang kedua, Salsabila Putri, masih kelas tiga SD.
Sony senantiasa merasa sangat beruntung memiliki keluarga bahagia. Sehari-harinya pria berkacamata itu seorang pengusaha. Bukan pengusaha besar, memang. Tapi, kalau dibilang gurem, tidak juga. Omzetnya lumayan. Setelah lebih dari sepuluh tahun berwiraswasta, Sony mampu memberikan lapangan kerja bagi dua puluh tiga orang di kantornya, di daerah Kebayoran. Sebagian besar karyawannya masih muda-muda.
Siang itu Sony lagi sebel. Masih terbayang jelas dalam ingatannya bagaimana dia dipermalukan oleh seekor makhluk bau yang tak berakal. Hari Minggu kemarin dia membawa keluarganya piknik ke Kebon Binatang. Tak dinyana, seekor orangutan lepas dari kandangnya. Pengunjung berlarian, tunggang langgang. Febriana dan Rizky sempat bangkit dari duduk mereka mendengar keributan itu. Sony cuma melongok ke arah orang-orang yang pada berhamburan, sekedar ingin tahu. Tapi, tiba-tiba dia mendengar anak perempuannya yang sedang bermain busa tiup di bawah pohon menjerit-jerit. Hewan yang panik itu berlari ke arah putrinya. Secara refleks Sony langsung bangkit dan berlari sekencang-kencangnya untuk menyelamatkan Salsa. Namun, sebelum tangannya sempat menjangkau gadis kecil itu, binatang yang gemar memonyong-monyongkan bibirnya tersebut malah menabraknya. Memeluknya erat-erat.
Sony jatuh terguling-guling di rerumputan, dengan seekor orangutan gagu menempel lekat di dadanya. Dua orang petugas kebon binatang bergegas menghampiri dan kemudian membantunya berdiri.
“Bapak tidak apa-apa?” tanya salah seorang dari mereka, dengan napas yang masih terengah-engah. Keringat bercucuran deras membasahi baju mereka, terutama di bagian ketiak. Sony tak sempat menjawab. Dia sedang sibuk melepaskan diri dari pelukan hewan yang tingkah polanya terkadang mirip manusia itu.
“Pak, Pak, jangan melawan. Nanti dia tambah ketakutan dan tak mau lepas,” seru Syamsul. Namanya terukir rapi di atas saku bajunya. Syamsul Rifa’i. Sedangkan temannya, dari logat bicaranya ketahuan kalau orang Madura, bernama Kaderi. Mereka mencoba menenangkan Sony, dan juga Agnes, orangutan betina itu.
Namun, anehnya, dibujuk dengan apapun, Agnes tak kunjung melepaskan belitan tangannya. Diiming-imingi pisang ambon tak mempan. Dipancing dengan sebungkus besar kacang garing Cap Dua Kelinci juga tak bereaksi. Dibujuk dengan dua kon es krim diam saja. Dilambai-lambaikan tiga lembar uang seratus ribuan tepat di depan matanya dia malah melengos. Sebatang rokok Djie Sam Soe yang diulurkan Kaderi sama sekali tak disentuhnya. Dibawakan tahu goreng kesukaannya juga tak ditengoknya.
Pelukannya semakin erat. Bahkan dia berusaha mencium pipi kiri Sony. Orang-orang yang berkerumun pada ketawa melihatnya. Sony jadi blingsatan. Tengsin berat menjadi tontonan gratis para pengunjung kebon binatang itu. Berbagai cara sudah mereka lakukan, tapi Agnes tetap saja tak mau melepaskan rangkulannya. Syamsul dan Kaderi mulai kelihatan putus asa. Akhirnya mereka menyerah. Duduk-duduk saja, sambil garuk-garuk kepala.
Tiba-tiba Syamsul bangkit dan beranjak mendekati Agnes. Dia elus-elus kepala gadis berbulu itu sambil membisikkan sesuatu. Ajaib. Agnes langsung manggut-manggut dan kemudian melepaskan rengkuhannya dari badan Sony. Kaderi segera membawanya pergi. Menuntunnya. Seperti menuntun anak sendiri. Semua orang bertepuk tangan. Riuh sekali. Malah ada yang usil berseloroh, “Pacaran ni, ye ….”
Sony merasa sangat lega. Bebas sudah. Sambil mengibas-ngibaskan bajunya, dia menghampiri pria berkumis tipis itu, yang tampak mulai bisa tersenyum. “Memangnya, tadi kamu ngomong apa sama monyet buluk itu?”
Syamsul menatap kedua mata Sony agak dalam. Sepertinya dia ragu-ragu. Tapi akhirnya dia menjawab, “Saya kasih tahu Agnes agar balik ke kandangnya dulu untuk bersiap-siap, karena Bapak mau melamarnya hari ini.”
Sialan.
“Inilah akibatnya kalau dokter hewan suka iseng meminjamkan buku teori evolusi kepada orangutan. Sepertinya mereka telah mempelajari teori itu, dan kini menagih janji. Ingin menikah dengan manusia,” ujar Syamsul dengan mimik serius. Kayaknya dia tidak sedang bercanda. Di wajahnya yang agak katrok itu tak sedikitpun tersirat kesan bahwa dia ingin membanyol.
“Memang benar, begitu?” sergah Sony setengah tak percaya.
“Betul Pak. Kurang lebih delapan bulan lalu Pak Jatmiko pulang dari Amerika membawa buku bahasa Inggris, judulnya original apa gitu …,” pemuda santun tersebut mencoba mengingat-ingat.
“The Origin of Species,” sahut Sony.
“Betul Pak, kayaknya begitu. Diberikan kepada Bu Susan, ibunya Agnes.”
Nama lengkapnya Agnes Monica, baru berusia dua tahun. Sedangkan Susan Bachtiar, ibunya, berumur delapan tahun. Hubungan ibu dan anak tersebut sangat dekat. Mereka saling menyayangi. Dan sepertinya mereka berdua sangat akrab dengan Kaderi, pengasuhnya. Adalah pemuda Madura itu yang memberikan nama-nama tersebut kepada mereka berdua.
Harapannya tidak muluk-muluk. Apabila suatu saat nanti kedua perempuan berbulu tersebut benar-benar menjelma menjadi manusia, dia ingin wujud mereka sama persis seperti nama yang disandang masing-masing. Bila itu benar terjadi, Kaderi dengan senang hati akan menikahi salah satu dari mereka. Tak peduli anaknya atau ibunya. Sama saja. Toh, mereka masih muda-muda.
Begitulah ceritanya. Sony bertanya-tanya. Benarkah suatu saat nanti Agnes dan Susan akan berubah menjadi manusia?
Karena penasaran, malam harinya Sony pergi ke toko buku di Blok M untuk membeli buku karangan Charles Darwin itu. Secara sekilas dia paham teori evolusi, manusia berasal dari monyet, begitu garis besarnya. Tapi dia belum pernah membaca buku tersebut. Hanya dengar-dengar saja.
Kini buku yang membuat kepalanya makin puyeng itu sudah hampir selesai dibacanya. Di dalamnya, Darwin memaparkan bahwa semua makhluk hidup yang ada di muka bumi, termasuk yang hidup di dalam air, berasal dari satu bentuk kehidupan tunggal yang kemudian berevolusi menjadi spesies-spesies berbeda yang masih hidup hingga sekarang maupun yang sudah punah. Proses evolusi itu telah berlangsung selama berjuta-juta tahun, katanya.
Melakukan pengamatan di Kepulauan Galapagos yang terpisah dari Benua Amerika (Selatan) pada zaman ketika es di kutub meleleh karena perubahan iklim yang ekstrem akibat terjadinya global warming, naturalis berkebangsaan Inggris ini menemukan bahwa hewan-hewan yang hidup terisolasi di sana telah berevolusi menjadi spesies-spesies yang berbeda dari moyangnya yang tinggal di daratan utama. Dia menduga bahwa telah terjadi persaingan sengit di antara spesies-spesies itu untuk bertahan hidup di tempat yang telah dipagari oleh lautan tersebut. Survival of the fittest. Memperbaiki cara hidup maupun bentuk fisik agar tetap bertahan hidup. Yang kuat merajai. Yang lemah harus minggir. Atau, mati.
Berangkat dari temuan ini, pria berjenggot lebat itu kemudian dengan penuh semangat mencoba merekonstruksi asal-usul manusia. Sampailah akhirnya dia pada suatu kesimpulan yang sangat sembrono dan ngawur bahwa manusia pada awalnya adalah primata, yang kemudian berevolusi menjadi manusia-primata (manusia primitif, bentukan kata sifat dari kata benda primata), dan selanjutnya berevolusi lebih jauh lagi menjadi manusia modern seperti yang ada sekarang.
Teori Darwin sungguh konyol, pikir Sony, karena jelas-jelas dia mengalami hari buruk siang kemarin dengan manusia yang masih setengah jadi. Darwin benar-benar ngigau ketika mengatakan bahwa nenek moyang manusia adalah kera. Seingat dia, Al-Qur’an menyebutkan bahwa penghuni bumi diciptakan dalam bentuk dan ukuran yang berbeda-beda. Monyet ya monyet. Manusia ya manusia. Begitu saja.
Tapi, kalau sapi, memang benar memiliki pertalian darah dengan manusia. Sapi dan manusia masih saudara sesusuan. Karena menyusu dari ibu yang sama, sapi betina. Ini semua karena banyak kaum ibu yang ogah memberikan ASI kepada bayinya. Kalaupun mau menyusui sendiri, sering kali si orok harus berbagi dengan sang ayah. Yang beginian kadang-kadang gampang membuatnya muntah, karena ASI mamanya tercemar nikotin.
Maka, tak ada pilihan lain. Sapi menjadi pahlawan. Penyantap rerumputan itu mampu menghasilkan minuman bergizi tinggi kapan saja. Apalagi kalau dipaksa makan banyak daun katuk, pasti susunya melimpah ruah dan harganya akan murah. Sehingga semua anak Indonesia dapat minum segelas susu di pagi hari sebelum berangkat sekolah.
Teori evolusi tentu saja tidak dilatarbelakangi oleh kebiasaan Darwin minum susu sapi murni-segar di pagi hari. Dia hanya mencoba menebak-nebak sambil mencocok-cocokkan kepingan-kepingan bukti sumir mengenai keberadaan makhluk prasejarah, yang kemudian dirunutnya hingga mengarah pada manusia. Seperti sedang asyik bermain puzzle, yang dia ciptakan berdasarkan imajinasinya sendiri.
Tapi Sony tidak mendapatkan sedikit pun informasi di buku itu apakah Darwin punya kenangan manis dengan kera semasa kecilnya. Yang pernah dia dengar, Darwin sempat ragu-ragu ketika akan merilis teori tersebut. Takut kalau-kalau akan dimarahi ibunya.
Memang, secara fisik bentuk manusia dan hewan mengikuti grand design yang serupa. Ada kepala, badan, kaki, tangan dan lain sebagainya. Juga mata, mulut, hidung dan telinga. Bahkan organ-organ dalamnya pun hampir sama, bentuk maupun fungsinya. Namun, karena manusia berjalan tegak dengan kakinya, tumitnya menyentuh tanah. Telapak kakinya memanjang, sehingga keseimbangannya terjaga dengan baik. Sedangkan hewan, yang berjalan dengan menggunakan kaki dan tangannya – bahkan binatang yang berjalan setengah tegak sekalipun, kadang dengan kaki dan tangannya, kadang dengan kakinya saja, seperti beruang – tumitnya terangkat dan tidak menyentuh tanah. Telapak kakinya sangat kecil, sehingga tak tahan berdiri berlama-lama hanya dengan bertumpu pada kaki. Bahkan, sebagian hewan tak punya telapak kaki, hanya kuku-kuku besar dan tebal yang menginjak tanah.
Kaki hewan berjinjit, sehingga lututnya terlihat seperti menekuk ke depan. Padahal tidak. Lutut hewan, sama seperti halnya lutut manusia, juga menekuk ke belakang. Ruas-ruas tulangnya juga sama seperti yang terdapat pada manusia. Demikian pula persendian-persendian yang memungkinkan kaki-kaki itu menekuk. Mirip semua. Hanya saja, paha hewan terlipat dan tersembunyi di bagian belakang (bawah) badannya sehingga seolah-olah lututnya, yang sebenarnya tumit, menekuk ke depan.
Tumit dikira lutut. Betis dikira paha. Kekeliruan inilah yang sering membuat bingung penjual fried chicken, dengan menawarkan paha atas (paha) dan paha bawah (betis) yang bentuknya seperti pentungan itu kepada para pelanggannya.
Primata memang memiliki banyak kemiripan fisik dengan manusia. Bahkan beberapa jenis primata tak punya ekor di bokongnya, seperti Agnes, yang juga mengalami siklus menstruasi seperti gadis-gadis manusia. Malahan, pada primata jantan seperti gorila, misalnya, terdapat sepasang pentil susu seperti halnya pada manusia berjenis kelamin pria, meski tak ada air mancur di sana. Sebaliknya, banyak mamalia betina mempunyai puting susu lebih dari dua.
Dengan adanya begitu banyak kemiripan itu, Sony jadi bertanya-tanya, dan mencoba menerka-nerka, apakah ada hewan yang gay atau lesbian? Kayaknya tidak ada. Buktinya, tidak ada dokter hewan yang mengambil studi lanjutan dengan spesialisasi psikiatri kehewanan, majoring asmara binatang. Kalau ada, siapa profesornya? Onta, kali.
Manusia, sejak pertama kali dihadirkan ke dunia, sosoknya sudah seperti sekarang ini. Tak pernah berubah. Karena manusia diciptakan segambar dengan Tuhan, demikian Injil, kitab suci umat Nasrani itu, menyatakan. Begitu pula hewan, dari mula bentuknya tidak berbeda seperti yang ada hari ini. Ada yang menyeramkan. Ada yang lucu. Ada yang menggemaskan. Ada yang berwarna-warni. Ada yang lehernya panjang. Ada yang berbelalai. Ada yang hidup di darat. Ada yang hidup di air. Dan ada pula yang dapat hidup di air dan di darat sekaligus.
Lagian, kalau memang semua makhluk hidup berevolusi dari satu bentuk kehidupan tunggal menjadi spesies-spesies yang berbeda – persis seperti yang digambarkan dalam filem kocak Evolution yang dibintangi David Dukovny – apakah tumbuhan juga termasuk di dalamnya? Apakah tumbuhan merupakan salah satu kerabat jauh manusia?
Semua agama Samawi secara tegas menolak teori Darwin. Pihak gereja langsung mencak-mencak ketika itu. Sewot dan uring-uringan. Sangat geram. Luar biasa berang. Mereka segera merapatkan barisan. Tak rela dan benar-benar tersinggung dibilang berkerabat dengan monyet. Apalagi kalau harus dijajarkan bersama. Mereka jengkel sekali. Pokoknya, mangkel banget. Tapi lama-kelamaan tidak terdengar lagi perlawanan yang sengit. Adem-ayem saja.
Belakangan, Harun Yahya, yang getol menafsikan Al-Qur’an dengan pendekatan sains, mencoba mematahkan teori evolusi Darwin dengan paparan-paparan logikanya yang memukau. Dia menunjukkan bahwa ada banyak kekacauan di dalam teori evolusi yang dibangga-banggakan oleh Charles Darwin itu. Namun, upaya-upaya tersebut masih dilakukan secara parsial. Belum ada yang tergerak untuk membangun sebuah teori tandingan yang komprehensif. Sehingga Pak Jenggot tetap menang. Survival of the fittest. Yang paling blo’on pasti menang.
Berkenaan dengan urutan penciptaan semua makhluk hidup yang menghuni bumi, Sony mencoba mencari bandingan dengan membuka-buka Perjanjian Lama. Di sana dinyatakan bahwa bumi telah dipersiapkan dengan matang dan seksama sebelum manusia dihadirkan. Pertama-tama diciptakan tumbuh-tumbuhan, baik yang berkembang biak dengan tunas maupun biji. Kemudian ikan-ikan besar yang berkeriapan di lautan. Selanjutnya berbagai jenis burung yang beterbangan di langit dengan mengepak-ngepakkan sayapnya. Terakhir, binatang ternak dan hewan-hewan yang hidup di darat, termasuk binatang melata. Setelah itu barulah diturunkan manusia pertama ke bumi, yang diriwayatkan sosoknya setinggi dua puluh tujuh meter. Orang raksasa, kata Kitab Kejadian.
Jadi, ketika Nabi Adam ketemu dinosaurus, itu sama sekali bukan ancaman, tapi sumber makanan. Dinosaurus hanyalah sebutan untuk hewan yang berukuran besar, sama halnya seperti Thesaurus yang berarti kamus besar. Habil, anak Nabi Adam, beternak domba raksasa. Kalau diperbandingkan dengan ukuran penggembalanya, binatang ternak itu tingginya sekitar sepuluh meter atau lebih. Itulah yang disebut dinosaurus.
Berapa sih, ukuran dinosaurus? Bandingkan dengan sosok Nabi Adam yang setinggi dua puluh tujuh meter. Ketika tiba-tiba muncul seekor T-Rex di hadapannya, tak ubahnya seperti Benu Buloe si jurumakan ketemu kucing garong saat ini. Ngapain takut? Ditendang saja. Pasti ngeong-ngeong.
Namun, banyak juga satwa yang ukurannya lebih besar dari Nabi Adam, bahkan jauh lebih besar lagi. Tak ubahnya seperti di dunia sekarang. Syukurlah, binatang-binatang yang berukuran besar itu kebanyakan pemakan tumbuhan, alias vegetarian. Memang, ada juga hewan-hewan besar yang doyan makan daging sehingga bisa menjadi ancaman potensial bagi manusia yang jumlahnya masih sangat sedikit kala itu. Tapi, sebagai makhluk yang ditakdirkan menjadi penguasa bumi, anak cucu Nabi Adam sudah dibekali dengan akal dan pikiran. Mereka berlindung di dalam gua atau mendirikan kemah. Juga mengacungkan tombak dan melemparkan batu untuk menghalau hewan buas. Maka, selamatlah mereka.
Karena semakin penasaran, secara iseng Sony mencoba meletakkan dua premis yang saling bertolak punggung tersebut di atas sebidang nampan. Sekalian, pikirnya, sudah terlanjur bingung. Berpegang pada asumsi Darwin dengan teori evolusinya yang kacau-balau itu pada satu sisi, dan merujuk kepada berbagai riwayat yang disebutkan di dalam kitab-kitab suci yang telah diturunkan bagi umat manusia pada sisi lainnya, dia mendapatkan gambaran bahwa Nabi Adam harus memotong sedikitnya lima puluh ekor kambing (ukuran sekarang) untuk menyiapkan makan malam bagi seluruh anggota keluarganya. Seperti keluarga Pak Busyairi yang sedang menyantap lima puluh ekor marmut panggang dalam sebuah jamuan makan keluarga. Sungguh merepotkan.
Memang, perbanding tersebut tidak apple to apple. Karena keduanya berangkat dari titik tolak yang sama sekali berbeda. Namun keisengan tersebut justru membuat kepala Sony semakin dipenuhi tanda tanya. Kok, begini jadinya. Padahal, pengajaran di sekolah-sekolah dikuasai oleh teori evolusi hasil rekaan Darwin itu. Gawat ini, kalau sedari kecil anak-anak dicekoki dengan pengetahuan yang keliru, menurutnya. Daripada tambah bingung, dan karena takut kuwalat, Sony memutuskan teori evolusi Darwin tak perlu digubris. Karena logika dasarnya jelas salah. Darwin sendiri juga bingung dengan teori yang diciptakannya itu. Kacau, berputar-putar, dan mengada-ada. Mbulet, koyok ususe wedus. Saking bingungnya, akhirnya Darwin memunculkan istilah the missing links untuk menjustifikasi banyak hal yang tidak bisa dia jelaskan.
Memang benar ada proses evolusi, tapi hanya menyangkut ukuran dan bentangan usia makhluk hidup, dan sama sekali tidak berkenaan dengan perubahan bentuk fisik. Nabi Ibrahim yang datang kemudian tingginya diperkirakan tinggal dua belas sampai lima belas meter saja, dan umurnya tidak lagi sepanjang usia Nabi Adam yang mencapai sembilan ratus tiga puluh enam tahun. Ini terbukti dari besaran rumah ibadah yang beliau bangun, yaitu Ka’bah, dan juga maqom (jejak kaki) yang tercetak pada batu.
Terjadi proses down-sizing. Ukurannya semakin mengecil. Demikian pula dalam soal usia. Nabi Ibrahim meninggal pada umur seratus tujuh puluh lima tahun. Proses evolusi yang sama mestinya juga terjadi pada dinosaurus, hewan-hewan raksasa itu. Kalau tidak sama-sama mengecil dan berkurang umurnya dalam perbandingan yang sama dengan yang dialami oleh manusia, gawat jadinya. Manusia akan habis dimangsa binatang-binatang besar yang mampu beranak-pinak dalam jangka waktu lama, sehingga bumi akan benar-benar menjelma menjadi Animal Kingdom.
Jadi, sekali lagi, demikian yang dipahami Sony, yang dimaksud dengan evolusi sama sekali bukalah proses panjang berubahnya suatu bentuk kehidupan tunggal menjadi bentuk-bentuk kehidupan lain yang berbeda secara ekstrem, seperti berubahnya monyet menjadi manusia, sebagaimana yang diyakini Charles Darwin. Melainkan, mengecilnya ukuran dan memendeknya usia semua makhluk hidup – baik manusia, hewan maupun tumbuhan – secara terus-menerus dalam jangka waktu yang sangat panjang.
Bahwa Darwin mendapati hewan-hewan yang terisolasi di Kepulauan Galapagos berbeda dengan moyangnya yang hidup di daratan utama, sama sekali bukanlah hal aneh. Para breeders ikan hias setiap saat menciptakan strain baru untuk menggeliatkan pasar agar dagangan mereka laris dan pendapatan melonjak. Louhan, contohnya, yang pernah membuat Sony tergila-gila itu.
Di samping itu, pasti ada alasan mengapa ukuran dan umur makhluk hidup mengalami penyusutan. Bertambahnya jumlah manusia membutuhkan ruang yang lebih luas pula untuk hidup, termasuk persaingan dalam mencari pangan, sekalipun manusia awal sudah mengenal cara bercocok tanam. Qabil, anak sulung Nabi Adam, misalnya, hidup dari bertani. Banyangan bila ukuran makhluk hidup tidak mengalami proses down-sizing. Dengan jumlah penduduk sebanyak 6,7 milyar jiwa saat ini, bumi akan penuh sesak dihuni oleh manusia-manusia raksasa. Setiap kali seseorang melangkah, tanah akan berguncang. Belum lagi dinosaurus yang membutuhkan tempat bermainnya sendiri, dan juga pepohonan yang besar-besar itu. Apalagi kalau umur manusia juga tidak mengalami pengurangan secara signifikan, sehingga dapat beranak-pinak dalam jangka waktu yang lebih lama. Jumlahnya pasti akan meledak menjadi ratusan milyar jiwa. Keringat akan terus bercucuran dari badan, karena setiap hari harus hidup berdesak-desakan.
Sony juga mendapati inkonsistensi teori evolusi yang disajikan secara telanjang dalam filem-filem Hollywood maupun fiksi-ilmiah dokumenter produksi Barat yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Darwin. Mereka selalu menggambarkan dinosaurus-dinosaurus ukuran purba sedang makan dedaunan dari pepohonan ukuran masa kini. Kasihan sekali dinosaurus-dinosaurus itu, karena harus bersusah payah mengumpulkan banyak sekali daun-daun ukuran unyil untuk dikunyah di mulutnya yang begitu besar. Pasti mereka membutuhkan banyak tusuk gigi setelah makan.
Sony yakin, ini bukanlah kealpaan dalam proses montase dan animasi. Mind set mereka memang sudah begitu. Kalau memang benar demikian adanya, lantas di manakah Nabi Adam yang setinggi pohon kelapa (masa kini) itu berteduh? Di bawah semak-semak dan perdu? Ukuran tumbuhan tentu saja ikut berevolusi. Bisa jadi daun bayam dulunya sebesar daun jendela. Tanya saja sama Popeye si Pelaut.
Langsung terbersit dalam pikiran Sony untuk mencoba membandingkan sosok Nabi Adam dengan manusia modern yang rata-rata tingginya, katakanlah, 1,7 meter. Ketemu. Angka-angka yang muncul di kalkulatornya mengatakan bahwa ukuran manusia telah menyusut drastis hingga tinggal 6,3 persen dari asalnya. Terjadi penurunan ukuran yang luar biasa. Atau, untuk membuat perbandingan yang lebih mudah, sosok Nabi Adam sekitar enam belas kali lipat dari ukuran manusia sekarang, kata kalkulator bermerek Canon itu. Demikian pula soal umur. Dibandingkan dengan Nabi Adam yang hidup hampir seribu tahun, manusia zaman sekarang berapa sih rata-rata umurnya? Kalau berpatokan pada Nabi Muhammad yang tutup usia pada umur enam puluh tiga tahun, berarti telah terjadi diskon besar-besaran pada umur manusia.
Kenapa manusia awal diciptakan dengan ukuran sebesar itu? Di samping untuk mengimbangi ukuran hewan-hewan raksasa yang sudah terlebih dulu merajai bumi, postur yang besar akan mempermudah dan mempercepat proses penyebaran manusia yang akhirnya berkembang menjadi bangsa-bangsa. Dengan perbandingan ukuran manusia masa kini, nenek moyang manusia cukup mengayunkan satu langkah untuk menempuh jarak lebih dari sepuluh meter. Maka, jarak yang begitu jauh dapat ditempuh dalam waktu relatif singkat. Begitu pula ketika harus menyeberangi sungai-sungai yang dalam, pasti tak akan tenggelam. Seandainya mereka diundang mengikuti acara gerak jalan susu Anlene yang diketuai Indy Barens itu, yang mengajak orang mengayunkan kaki sebanyak sepuluh ribu langkah per hari, berarti mereka berjalan sejauh seratus kilometer.
Berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang diciptakan lebih awal dan kemudian mendiami seluruh permukaan bumi, manusia pertama diturunkan di satu tempat. Nabi Adam diturunkan di India, kata sebagian orang. Sedangkan Siti Hawa diturunkan di Jazirah Arab, kata yang lainnya. Mereka akhirnya bertemu di suatu tempat.
Lantas beranak-pinak dan melanjutkan hidup.
Penyebaran manusia ke berbagai belahan dunia berlangsung dalam tiga tahapan besar. Tahap pertama adalah menyebarnya anak cucu Nabi Adam ke kawasan Timur Tengah dan sekitarnya, dan mungkin lebih jauh lagi. Namun penyebaran ini harus berakhir pada zaman Nabi Nuh. Seluruh manusia di kolong langit dibinasakan oleh azab air bah karena telah berpaling dari Tuhan, kecuali Nabi Nuh beserta keluarga dan kerabatnya yang keseluruhannya berjumlah empat puluh orang – ada yang bilang sepuluh orang, dan sebagian lagi mengatakan delapan puluh orang – yang selamat karena berada di dalam bahtera raksasa yang dibangun dengan petunjuk dan tuntunan langsung dari Allah.
Masa kehidupan Nabi Nuh, yang meninggal dalam usia seribu lima puluh tahun itu, hanya berselisih beberapa generasi dari Nabi Adam. Sony menemukan ada banyak versi mengenai usia Nabi Nuh, tapi hampir semuanya menyebutkan angka di atas seribu tahun. Namun, meski berbeda generasi, Nabi Nuh dilahirkan tiga ratus delapan tahun sebelum Nabi Adam wafat. Memang, umur manusia sangat panjang pada masa itu, dan juga mampu beranak-pinak dalam jangka waktu yang lama, sehingga anaknya banyak. Rentang usia keduanya juga tak jauh berbeda. Belum terjadi proses evolusi. Berarti, tinggi badan Nabi Nuh masih sekitar dua puluh tujuh meteran. Dengan demikian, bisa dibayangkan seberapa masif ukuran bahtera yang dibangun oleh Nabi Nuh itu.
Bahtera yang dibuat dari bahan kayu gofir tersebut sangat kokoh dan ukurannya luar biasa besar – jauh lebih besar dari kapal induk kelas Nimitz yang dibangga-banggakan oleh Amerika Serikat itu – karena harus mampu memuat perbekalan untuk jangka waktu setengah tahun, baik pangan manusia maupun makanan untuk semua satwa yang ada di dalamnya. Belum lagi muatan utamanya. Empat puluh manusia raksasa. Sementara setiap jenis hewan, termasuk satwa melata dan burung-burung, masing-masing dibawa sepasang. Sedangkan untuk binatang yang tidak haram dimakan, dalam hal ini yang dimaksud adalah hewan ternak, diperintahkan agar masing-masing jenis dibawa tujuh pasang. Diangkut pula benih dan bibit tumbuhan dari semua jenisnya.
Bahtera yang dibangun Nabi Nuh panjangnya tiga ratus hasta (300 x 16 x 45 cm = 216.000 cm = 2.160 m), lebar lima puluh hasta (50 x 16 x 45 cm = 36.000 cm = 360 m), dan tingginya tiga puluh hasta (30 x 16 x 45 cm = 21.600 cm = 216 m). Hasta adalah satuan ukuran sepanjang rentangan tangan, empat puluh lima sentimeter, bagi manusia masa kini. Karena Nabi Nuh tingginya dua puluh tujuh meter, atau enam belas kali lipat dari ukuran manusia sekarang, maka ukuran hasta (rentangan tangan) bagi para manusia raksasa itu adalah 16 x 45 cm = 720 cm = 7,2 m.
Dibangun tiga tingkatan di bagian dalam kapal, dengan kompartemen-kompartemen yang sangat luas sehingga manusia dan hewan tidak perlu berdesak-desakan. Mereka tetap mendapatkan privasi masing-masing di dalam bahtera raksasa tersebut.
Hebatnya, bahtera yang dibangun bukan di galangan kapal sebagaimana yang biasa dijumpai sekarang dan bahkan sama sekali belum pernah diuji coba itu langsung mengapung dengan stabil di tengah gelontoran hebat air bah, terjangan angin topan yang menderu-deru, dan guyuran hujan lebat yang tak pernah berhenti selama empat puluh hari penuh. Kapal raksasa tersebut terangkat setinggi lima belas hasta (15 x 16 x 45 cm = 10.800 cm = 108 m) dari tempatnya semula. Tidak ada kebocoran sama sekali. Bahtera raksasa itu terombang-ambing selama seratus lima puluh hari hingga air surut dan akhirnya kandas di sebuah bukit.
Sony menduga bahwa perintah untuk menyelamatkan semua jenis satwa secara berpasang-pasangan, hewan ternak masing-masing tujuh pasang, dan juga bibit tanaman, ditujukan agar setelah air bah surut Nabi Nuh beserta keluarga dan kerabatnya bisa segera memulai kembali kehidupan yang normal seperti sedia kala di lingkungan yang sama sekali baru.
Maka, setelah air benar-benar menyusut, turunlah mereka dari bahtera raksasa itu. Manusia dan satwa berbaris rapi menapaki pintu lambung kapal yang diturunkan menjadi tangga. Hewan-hewan itu segera menyebar ke tempat-tempat di mana mereka bisa memulai kehidupan liar yang baru dan kemudian beranak-pinak kembali.
Sony pernah mendengar sebuah versi yang agak ugal-ugalan mengenai keberadaan para satwa di dalam bahtera raksasa itu. Karena khawatir ada hewan yang tak mampu menahan diri untuk kawin dan kemudian beranak di dalam kapal, sehingga akan menambah beban muatan, maka diambillah sebuah langka antisipatif. Semua alat kelamin hewan jantan disita untuk sementara dan kemudian disimpan di dalam gudang yang pintunya dikunci dengan gembok besar.
Setelah air mulai surut, para pejantan itu sudah tak sabar lagi untuk mengambil alat kelaminnya kembali. Kuda, yang larinya paling kencang, adalah yang pertama sampai di depan gudang. Pintu langsung dia dobrak, dan diambilnya penis yang paling besar. Tak tahu kepunyaan siapa. Pokoknya dipilihnya yang paling gede. Makanya, setiap kali seekor sapi ketemu kuda, pasti dia akan langsung geleng-geleng kepala. Keheranan dan tak habis pikir dengan kenakalan kawannya itu. Namun, sungguh malang nasib itik. Penisnya terinjak gajah sebelum sempat diraihnya, sehingga sampai sekarang alat kelamin itik jantan bentuknya gepeng.
Setelah turun dari bahtera raksasa, manusia tinggal untuk beberapa lama di sana, dan kemudian mulai menyebar ke tempat-tempat yang lebih jauh begitu jumlahnya mulai banyak. Maka dimulailah penyebaran manusia untuk kedua kalinya. Kali ini cukup jauh jangkauannya, tidak hanya di Timur Tengah, tetapi sudah mencapai sebagian Eropa, Afrika dan beberapa bagian Asia lainnya. Karena sudah mengenal cara membuat kapal, penyebaran itu juga dilakukan dengan melintasi lautan. Namun, mereka tidak perlu lagi membuat kapal yang berukuran raksasa. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan penyebaran manusia pada tahap kedua ini sudah merembes ke seluruh bagian bumi. Sedangkan penyebaran manusia pada tahap ketiga, yang merangsek hingga ke seluruh penjuru dunia, terjadi setelah zaman Nabi Ibrahim. Bapak para nabi dan rasul itu ditakdirkan mempunyai keturunan yang kemudian berkembang menjadi bangsa-bangsa sebanyak bintang-bintang di langit.
Sebagian orang malah percaya bahwa manusia sama sekali tidak melakukan penyebaran ke seluruh bagian dunia. Sebaliknya, mereka hanya kembali ke tempat asal masing-masing. Alasannya sederhana saja. Diriwayatkan bahwa manusia diciptakan dari segumpal tanah yang diambil sejumput-sejumput dari semua belahan bumi. Jadi, ketika sekelompok manusia awal sampai di Benua Eropa dan kemudian menetap serta beranak-pinak di sana, sebenarnya mereka telah kembali ke daerah asal di mana pernah diambil sejumput tanah yang kemudian dipakai sebagai bahan baku untuk menciptakan manusia. Demikian pula kelompok-kelompok manusia yang sampai di Benua Afrika, Asia, Australia dan Amerika. Sesungguhnya mereka kembali ke daerah asal masing-masing. Dari mana jumputan tanah itu berasal juga menentukan warna kulit mereka.
Banyak orang percaya bencana air bah pada era Nabi Nuh adalah zaman ketika es di kutub mencair akibat pemanasan global. Pada waktu air surut, bumi tak lagi kembali seperti semula. Sebagian dataran yang tidak terlalu tinggi hilang ditelan air, berubah menjadi sungai, danau, selat dan lautan. Kejadian inilah yang memisahkan daratan besar menjadi lima benua, dengan ribuan gugusan kepulauan, serta ratusan ribu pulau besar dan kecil lainnya yang menghampar dan berserak indah bagaikan lukisan alam. Peristiwa ini pula yang memisahkan Kepulauan Galapagos – di mana Charles Darwin pernah asyik berkongkow-kongkow bersama sejumlah kera – dari daratan induknya.
Azab air bah diturunkan untuk memusnahkan seluruh manusia – yang jumlahnya masih terbilang sedikit itu – karena mereka telah berbuat banyak kerusakan di muka bumi. Semua manusia musnah, kecuali yang berada di dalam bahtera Nabi Nuh. Namun, hewan-hewan yang hidup di berbagai belahan bumi lainnya selamat berkat naluri bertahan hidup mereka, demikian yang ada dalam pikiran Sony. Sebelum es di kutub meleleh, dia menduga cuaca pasti berubah menjadi sangat panas dan tidak bersahabat. Akibatnya, terjadilah penguapan masif yang menghasilkan gumpalan-gumpalan uap air dalam akumulasi luar biasa sehingga hujan baru berhenti menari setelah empat puluh hari. Dalam cuaca yang sangat panas seperti itu, secara naluriah hewan akan pergi ke tempat yang lebih tinggi karena udaranya lebih sejuk di sana. Sama seperti hewan-hewan yang turun gunung ketika sebuah gunung berapi menunjukkan tanda-tanda akan meletus. Maka, ketika es di kutub mencair dan bumi tergenang, selamatlah mereka, termasuk nenek moyang Darwin di Kepulauan Galapagos itu.
Peristiwa ini sekaligus mematahkan anggapan para raja ngawur bahwa semua dinosaurus sudah punah. Bahkan ada teori yang menyebutkan dinosaurus punah ketika sebuah meteor raksasa jatuh dari langit, sehingga menimbulkan gelombang panas yang luar biasa, iklim bumi tak lagi bersahabat, dan kemudian es di kutub mencair. Teori ini sepertinya paralel dengan kisah air bah di zaman Nabi Nuh. Hanya saja, teori tersebut seolah menyuratkan bahwa dinosaurus harus dibersihkan dulu agar tidak menjadi ancaman bagi kehadiran manusia yang akan menguasai dunia. Padahal dinosaurus sama sekali bukan ancaman bagi manusia. Mereka hidup berdampingan. Dan sebagian dinosaurus malah menjadi sumber pangan bagi manusia. Sekali lagi, dinosaurus hanyalah sebutan untuk hewan yang berukuran besar.
Kalaupun ada beberapa spesies dinosaurus yang punah, itu bukanlah sesuatu yang mustahil, karena di masa sekarang pun ada saja spesies yang tiba-tiba dilaporkan punah oleh WWF. Tapi tidak semua spesies dinosaurus punah begitu saja. Sebagian besar mereka tetap ada hingga hari ini, namun telah mengalami penyusutan ukuran. Maka, apabila ditemukan fosil dinosaurus setinggi sepuluh meter yang diperkirakan hidup pada zaman Nabi Adam, misalnya, akan dapat ditemukan padanannya pada hewan modern yang tingginya kira-kira enam puluh sentimeter sepanjang ia tidak termasuk dalam jenis spesies dinosaurus yang punah.
Bagi Sony, yang menggelikan adalah bahwa orang-orang pintar itu suka berimajinasi secara berlebihan dalam merekonstruksi fosil-fosil hewan purba. Tulang-belulang yang kadang tidak lengkap itu kemudian disusun ulang dan ditampilkan dalam bentuknya yang hidup dengan tambahan di sana-sini sehingga tampak menyeramkan dan ganas, termasuk bagaimana cara hewan itu bergerak dan apa yang biasa dimakannya. Bahkan tulang-belulang monyet purba direkonstruksi dengan imajinasi yang begitu liar sehingga menyerupai manusia. Lebih konyol lagi, tidak ada dinosaurus yang digambarkan kulitnya berbulu seperti domba atau kucing. Semuanya berkulit kasar seperti biawak, badak atau kudanil. Sebagian malah menyerupai kulit buah salak. Sony juga memperhatikan bahwa burung-burung purba selalu digambarkan memiliki sayap membran seperti kelelawar, bukan bulu yang berhelai-helai.
Analisa karbon digunakan untuk menentukan usia fosil yang ditemukan. Tujuh puluh lima juta tahun, kata mereka. Seratus lima puluh juta tahun, kata yang lainnya. Begitu gampang mereka menyebutkan angka-angka. Lagian, siapa yang bisa menggaransi validitas analisa karbon yang katanya mampu menentukan umur suatu materi hingga milyaran tahun itu. Analisa karbon pasti punya keterbatasan, dan tidak bisa dipakai menghitung secara akurat hingga angka kelipatan yang tak terhingga.
Dengan analisa karbon pula, yang masih mengundang tanda tanya besar itu, mereka mengatakan bahwa dinosaurus hidup sekitar enam puluh lima juta tahun sebelum manusia berkeliaran di muka bumi. Sok tahu mereka. Bukankah mereka tidak pernah menemukan fosil atau tulang belulang manusia raksasa yang bisa dijadikan sebagai pembanding melalui analisa karbon yang hebat itu? Ini penting, untuk memastikan apakah manusia awal dan dinosaurus hidup pada zaman yang terpisah atau hidup secara berdampingan pada zaman yang sama.
Kenapa tidak pernah ditemukan tulang-belulang manusia raksasa? Sony langsung menjawab pertanyaannya sendiri. Tentu saja, tulang-belulang tersebut sudah hancur. Karena manusia yang mati dikuburkan. Qabil mengebumikan mayat Habil yang dibunuhnya setelah melihat burung gagak melakukan hal serupa. Bila Qabil menggali tanah setinggi pusarnya untuk menguburkan Habil, misalnya, berarti mayat adiknya itu ditanam sekitar lima belas meter di bawah tanah. Sedangkan, tulang-belulang hewan purba yang mati di alam liar terserak begitu saja di atas permukaan tanah. Melalui proses alami yang panjang akhirnya tulang-tulang itu membatu menjadi fosil dan di kemudian hari ditemukan oleh konco-konco-nya Darwin.
Kini, setelah mengalami penyusutan luar biasa dalam proses evolusinya, apakah ukuran dan umur manusia akan menyusut lagi di masa yang akan datang? Sony jadi ketakutan sendiri membayangkannya. Bukannya tidak mungkin hal itu akan terjadi, pikirnya. Hanya saja prosesnya pasti akan jauh lebih lambat dan prosentase penyusutannya juga jauh lebih kecil, karena manusia sudah menguasai teknologi maju untuk memenuhi kebutuhan pangannya, termasuk kebutuhan akan ruang tinggal. Tak usah khawatir, pikirnya. Tak perlu takut hidup berdesak-desakan seperti ikan teri. Itu baru akan terjadi berjuta-juta tahun yang akan datang. Dan ketika itu dia sudah menjadi tulang-belulang.
Sony masih mendapati satu lagi titik lemah teori evolusi yang ditulis oleh Darwin, musuh bebuyutannya itu. Bila memang benar semua makhluk hidup berevolusi dari suatu bentuk kehidupan tunggal menjadi spesies-spesies yang berbeda sebagaimana yang diyakini oleh Pak Jenggot, bagaimana mungkin manusia mampu mengembangkan daya nalarnya sedangkan makhluk-makhluk yang lain tidak. Anjing atau sinpanse, yang oleh para ahli perilaku binatang sering dikatakan sebagai spesies pintar, ya begitu-begitu saja. Mereka tetap hewan. Gampang ditipu, seperti Agnes, pacar baru Sony itu. Mereka sama sekali berbeda dengan manusia. Karena memang asal-usulnya sudah berbeda dari sononya.
Kalaupun ada hewan yang benar-benar pintar, itu adalah nyamuk. Sony pernah mendengar bahwa para petugas donor darah itu mampu membuat perhitungan statistik. Tidak seperti anjing laut di panggung hiburan yang seolah pandai berhitung padahal hanya nyontek kode gerakan tangan pelatihnya. Konon, demikian cerita yang pernah didengar Sony, ketika manusia masih tinggal di gua, banyak nyamuk yang mati karena salah sasaran. Di tengah pekatnya malam nyamuk-nyamuk bermanuver sekenanya sehingga mulutnya yang bertombak itu patah karena salah menghujam ke batu keras yang dikira manusia. Mereka tidak bisa membedakan mana manusia dan mana batu di dalam kegelapan malam.
Karena khawatir jumlah nyamuk akan menipis dan kemudian punah, raja nyamuk mengumpulkan rakyatnya untuk mencari solusi terbaik to save the mosquito race. Setelah dilakukan berbagai percobaan dan dibuat simulasi berkali-kali, akhirnya ditemukan bahwa bila berdengung dulu sebelum menggigit manusia yang sedang tidur, nyamuk bisa mengidentifikasi mana batu dan mana manusia. Karena terganggu bunyi dengungan, manusia akan menggerakkan tangannya untuk mengusir nyamuk sialan itu. Cara ini membawa hasil. Gerakan tangan itulah yang membedakan antara manusia dan batu. Peluangnya delapan selamat dan kenyang, dua mati kena tepukan tangan. Sedangkan apabila tanpa berdengung, delapan mati karena jarumnya patah setelah salah menombak batu dan dua selamat dalam keadaan kenyang.
Kecerdasan nyamuk diakui oleh PMI. Beredar kabar rahasia bahwa raja nyamuk telah menandatangani Nota Kesepahaman dengan Pak Mar’ie Muhammad. Di dalam Memorandum of Understanding sebanyak tiga belas halaman folio itu disebutkan bahwa semua nyamuk tanpa terkecuali wajib menyetorkan separuh dari darah yang disedotnya kepada PMI. Kalau ada yang berani melanggar perjanjian, maka akan diburu hingga ke selokan yang paling bau sekalipun. Cara ini terpaksa ditempuh karena donor darah sukarela semakin langka, sementara kebutuhan darah kian bertambah. Di semua kantor PMI di seluruh Indonesia telah dibangun pintu-pintu rahasia di mana nyamuk dapat datang dan pergi secara leluasa tanpa diketahui oleh umum.
Kebetulan Pak Mar’ie kenalan lama, sehingga Sony kebagian pekerjaan membuat brosur dan poster untuk program sosialisasinya. Seukuran kuku jari kelingking dilipat empat untuk brosur, dan posternya sebesar sepuluh kali dua puluh milimeter, masing-masing dicetak dua ratus juta eksemplar. Sedangkan Ahmad Yani, pesaing kuat Sony, memenangkan lelang pembuatan handuk nyamuk ukuran lima kali sepuluh milimeter dengan logo kerajaan nyamuk dan PMI di tengahnya, diproduksi sebanyak lima ratus juta unit. Tapi Yani harus menelan kecewa. Dia dibayar pakai duit nyamuk. Somasi sudah dilayangkan ke pihak PMI, karena alamat raja nyamuk tak pernah dia temukan. Pak Mar’ie memilih bungkam. Sepertinya dia mencoba melindungi koleganya yang bersayap itu.
Tapi nyamuk tetaplah nyamuk. Sepintar apapun dia, masih bisa dikadalin sama Pak Mar’ie. Berbeda dengan manusia yang mampu menggunakan nalarnya. Dan kemampuan ini pula yang menjadikan manusia mampu mengembangkan bahasa untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Hal yang sama tidak dijumpai pada hewan, meskipun banyak ahli perilaku binatang percaya beberapa spesies hewan mampu berkomunikasi dengan sejenisnya dalam bahasa mereka sendiri. Ayam jago, misalnya, berkukuruyuk untuk membangunkan kawan-kawannya di pagi hari. Dengan dada membusung, pejantan berjengger merah itu meneriakkan suara kukuruyuk untuk menegaskan kehebatannya di hadapan ayam-ayam jago lainnya, untuk bernyanyi menghibur diri, untuk menarik perhatian ayam betina. Kuukuuruuyuuuuuuk …. “Kog kog petoog, petoooog,” sahut ayam betina. “I’m coming, Honey!”
Berbahasa membutuhkan kerja otak yang luar biasa kompleks. Otak ayam hanya sebesar biji kacang kedelai. Bandingkan dengan ukuran badannya. Atau, ambil contoh lain. Gajah, misalnya, malah lebih parah. Dengan tubuhnya yang begitu tambun dan menuh-menuhin tempat, otaknya tak lebih dari sekepalan tangan manusia. Bagaimana mungkin otak sekecil itu mampu memproses kegiatan berbahasa yang begitu rumit. Bandingkan dengan otak manusia yang berukuran besar, dan itupun baru dimanfaatkan sekitar sepuluh persen dari seluruh kapasitasnya. Memang, hewan berkomunikasi dengan suara mereka, tapi mereka sama sekali tidak berbahasa. Hanya bunyi-bunyi tertentu dengan varian bunyi yang sangat terbatas, dengan makna dan tujuan yang terbatas pula, dan hanya dimengerti sebatas jenis mereka sendiri.
Jelas, hewan tidak berbahasa. Berbeda dengan manusia. Sony pernah pergi ke Phuket, Thailand, menghadiri konferensi HAKI se-Asia-Pasifik. Dia sama sekali tidak mengerti bahasa penduduk setempat. Ketika pergi ke pasar suvenir pada siang hari untuk membeli oleh-oleh bagi anak dan istrinya, dia mendengarkan banyak bunyi-bunyian yang tidak dikenalnya keluar dari mulut orang-orang yang sedang berjual-beli. Asing memang suara-suara itu di telinganya. Tapi begitu kaya bunyinya. Itulah bahasa. Bukan sekedar meang-meong seperti kucing di musim kawin, yang sepanjang malam mengganggu tidurnya dengan rayuan gombal tak bermutu. Maaauuuuu … ndak maaauuuuu … maaauuuuu … ndak maaauuuuu …. Yang kira-kira artinya begini, “Mau kagak? Kalau mau, ayo. Kalau tak mau, ya sudah.” Apakah itu berbahasa?
Tapi, tunggu sebentar. Bukankah Nabi Sulaiman diriwayatkan mampu berbicara dengan binatang? Sony lebih suka berpikiran terbuka mengenai soal ini. Nabi Sulaiman adalah seorang ilmuwan besar dengan berbagai kelebihan yang dianugerahkan kepadanya. Di samping masyhur sebagai arsitek jempolan dan ahli hukum yang hebat, Nabi Sulaiman adalah seorang naturalis, pecinta kehidupan. Beliau mempelajari secara seksama semua makhluk hidup – baik manusia, jin, binatang maupun tumbuhan – sehingga di dalam dirinya tumbuh pemahaman yang sangat luas dan mendalam. Maka, ketika melihat banyak gundukan kecil di tanah, beliau menyuruh rombongan pasukannya berbelok karena di depan ada banyak semut yang akan mati terinjak-injak bila mereka tetap mengambil jalan itu.
Tapi, bukankah Nabi Sulaiman berbicara dengan dan mengomeli burung Hud Hud yang pulang terlambat? Sebagian orang percaya bahwa burung Hud Hud itu adalah sebuah pesawat pengintai. Nabi Sulaiman yang menguasai pasukan bangsa jin dan manusia-manusia jempolan adalah seorang penguasa angin yang memiliki sebuah wahana (baca: pesawat terbang) yang mampu mengangkut seluruh pasukannya, lengkap dengan perbekalan mereka, dalam waktu singkat dari suatu tempat ke tempat lainnya. Sebuah pencapaian peradaban yang sangat tinggi, yang, sayangnya, kemudian hilang tak berbekas.
Tunggu dulu. Bukankah burung beo mampu menirukan suara manusia? “Assalamu’alaikum, Pak Kumis. Apa kabar hari ini?” Mirip sekali dengan suara manusia. Pak RT yang berkumis serabutan itu tingak-tinguk mencari orang yang menyapanya. Tidak ada siapa-siapa di sepanjang gang. Jangan-jangan hantu, pikirnya. Dia garuk-garuk kepala. Sedikit merinding. Sementara dari balik pagar yang bertirai rimbunnya perdu, seekor burung beo jahil cekikikan melihat tingkah polanya. Tapi beo yang sok tahu itu hanya menirukan ucapan-ucapan yang diajarkan kepadanya, dan jumlahnya hanya beberapa. Kalau terlalu banyak, otaknya bisa mendidih, dan kemudian meledak.
Berbeda sekali dengan manusia mampu menggunakan nalarnya untuk mengembangkan bahasa. Karena itu, bahasa manusia senantiasa berkembang, sejalan dengan berkembangnya kehidupan manusia itu sendiri. Dan akan terus berkembang sepanjang masa. Sehingga Sony tak habis pikir dengan segala kerepotan yang dilakukan para ahli percakapan dalam menyusun Rancangan Undang-Undang Bahasa.
“Tuan sedang membangun penjara untuk bahasa kita, agar bisa diatur dan berperilaku seperti yang Tuan kehendaki. Orang waras mana yang bisa berpikiran seperti itu. Tuan telah merampas hak suatu bahasa untuk berkembang. Tentu, setelah itu Tuan akan membentuk satuan polisi bahasa, yang akan menangkap dan memborgol kata-kata.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar