Sabtu, 27 Desember 2008

12. Hantu

Seumur-umur, belum pernah sekalipun Sony melihat hantu. Padahal dia sangat antusias kalau diajak ngobrol soal hantu. Ingin sekali rasanya dia berkenalan dengan hantu. Kakaknya yang dukun itu pernah menjajikan akan membantunya melihat hantu. Tapi lupa-lupa melulu.
Namun, Sony tak tahu bagaimana reaksinya apabila suatu saat nanti bertemu. Pingsan, atau, malahan hantu takut kepadanya, karena terkadang dia suka menggerutu. Memaki dengan mata beradu. Dan melempar sepatu. Paling tidak, Sony ingin berjumpa dengan hantu tak berkepala dari Pemakaman Jeruk Purut itu. Karena menurutnya hantu yang satu ini sungguh beruntung. Setiap kali bangun tidur tak perlu repot-repot cuci muka.
Hantu. Siapakah dirimu? Apakah engkau berbulu? Apa makanan kesukaanmu? Di manakah tempat tinggalmu? Apa di balik kelambu? Atau di bawah rumpun bambu? Di sela-sela semak dan perdu? Di sungai tak berhulu? Di gunung yang biru? Di rumah kosong tak berpenunggu? Kenapa engkau suka mengganggu? Apa gerangan daya tarikmu? Sehingga orang gemar memperbincangkanmu. Dengan menggebu-gebu. Apakah mereka hanya terdorong oleh rasa ingin tahu? Mengenai duniamu yang kelabu. Di tempat-tempat yang berkabut susu. Mereka menebar kembang pada empat penjuru. Membakar dupa mengundang kehadiranmu. Jangan-jangan, mereka memang hendak bersekutu. Dalam jalinan kerja sama yang saling menipu. Sudalah, tak tahu.
Suster ngesot akan mengadakan pertemuan dengan hantu Casablanca. Begitulah kabar yang Sony terima. Notaris belulang telah dipanggil. Mereka juga sudah bertemu dengan bankir yang tewas diracuni oleh seorang WIL. Beberapa pekerja yang mati bunuh diri setelah terkena PHK juga sudah hadir. Mereka berdua sedang berancang-ancang membangun bisnis berbau anyir. Mendirikan asrama untuk menampung para penghuni kubur yang tergusur.
Jadwal rapat tinggal menunggu hitungan mundur. Pertemuan akan dilangsungkan di Ciganjur. Tak jauh dari rumah Gus Dur. Dari pukul sepuluh pagi hingga menjelang dhuhur. Sekalian sambil iseng mengganggu siswi-siswi yang masih bau kencur. Bikin mereka kesurupan masal hingga kaku terbujur. Meronta-ronta dengan tubuh melengkung seperti busur. Sambil berteriak-teriak ngawur. Seolah baru bangkit dari kubur.
Genre filem hantu berpesta pora menangguk rupiah. Jelangkung mengawali tapak langkah. Filem-filem sejenis langsung mengikutinya. Terus tertawa menikmati masa jaya. Produsernya gonta-ganti mobil yang lebih bergaya. Tambah selingkuhan pula, katanya. Tak dinyana tiba-tiba kaya raya. Karena penontonnya rata-rata di atas satu juta. Jumlah itu belum termasuk setan, jin, demit, kuntilanak, pocong, tuyul, jelangkung dan gendoruwoh yang ikut nonton tanpa membeli karcis. Mereka datang dengan berbaris. Mulut terkunci tapi mengeluarkan bunyi mendesis. Karena mendapat tontonan gratis. Berbaur bersama remaja-remaja yang lagi demam busana bermotif garis.
Seorang penonton wanita ketakutan setengah mati hingga kebelet pipis. Karena tak tahan lagi dia menyilangkan betis. Dibenamkannya kepalanya ke dada cowoknya yang berwajah klimis. Menangis. Sang cowok tersenyum lebar sambil meringis. Di tangannya tergenggam sebatang linggis. Sementara di luar sana hujan gerimis.
Para remaja ramai-ramai menonton filem hantu sebagai ajang berpacaran. Berangkat bersama dalam satu rombongan. Kemudian berpencar berpasang-pasangan. Asyik berdua-duaan. Kiri kanan semua orang saling berdekap-dekapan. Sebagian malah bercium-ciuman. Sambil berpegangan tangan. Main elus-elusan. Semakin menakutkan adegan, semakin erat bergelayut di lengan teman kencan. Sambil berlagak melindungi, cowoknya mencuri-curi kesempatan. Dia elus-elus tengkuk pacarnya dengan tangan kanan. Tampaknya ada sesuatu yang baru saja dia bisikkan. Sehingga ceweknya tambah gemetaran. Semakin ketat dia berpegangan. Menempel lekat seperti ketan. Itulah tipu daya setan. Mereka keluar dari gedung bioskop dengan gesper ikat pinggang yang terlepas dan baju awut-awutan.
Setan menang. Setan senang. Karena dosa manusia kian bergelimang. Begitu berat hingga tak lagi bisa ditimbang. Bersemai bermayang-mayang. Bertumpuk-tumpuk di dalam keranjang. Memenuhi gudang. Mereka telah mengelabuhi Bambang. Menjerumuskan Endang. Di sela tubuh-tubuh yang bergelinjang. Setan mematikan lampu penerang. Sepasang anak manusia sibuk mengerang. Dengan kaki menendang-nendang. Rasa malu sudah hilang. Meski di tempat umum mereka tetap berlaku jalang.
Bertalu-talu sura kendang. Setan mengerek bendera sepenuh tiang. Berlambang tulang bersilang. Para produser terus digoda dengan uang. Agar membuat filem jenis itu berulang-ulang. Nona-nona penjual tiket sibuk menorehkan tanda silang. Karcis disiapkan dalam jumlah tak berbilang. Karena angka penonton terus menjulang.
Setelah era tayangan TV yang menguak misteri hantu ramai-ramai mendulang iklan dan secara perlahan kemudian mati suri, giliran dunia perfileman yang didominasi oleh cerita-cerita hantu. Terjadi migrasi, dari TV ke layar lebar, dari ruang keluarga ke gedung bioskop.
“Kita telah menciptakan generasi hantu,” kata Heru, teman mengobrol Sony yang kadang-kadang sok tahu itu.
Sony tak setuju. Sinyalemen itu terlalu berlebihan. Ini hanyalah suatu masa yang harus dilewati. Biarkan saja. Nanti juga redup sendiri. Tinggal menunggu waktu. Hantu juga tak suka berlama-lama tinggal di seluloid. Dia akan mencari tempat baru. Pindah lagi. Mungkin saja ke media cetak atau buku. Atau pulang lagi ke TV. Bisa pula mengambil bentuk acara live di kuburan. Penonton tinggal duduk selonjor sambil bersandar pada batu nisan. Sebagian teler karena kebanyakan menghirup asap kemenyan. Proses migrasi itu akan terus berjalan. Karena jumlah penggemarnya melonjak habis-habisan. Itulah rakyat setan.
Setan tersenyum melihat banyak manusia masuk ke dalam jebakan. Mereka bersorak sambil berloncat-loncatan. Sebagian lagi berjumpalitan. Sebagian yang lain bertepuk tangan. Bunyi terompet bersahut-sahutan. Mereka mengumpulkan teman dan kerabat untuk bikin hajatan. Manusia diundang sebagai tamu kehormatan. Telah disiapkan kursi-kursi rotan yang nyaman. Dan makanan gratisan. Juga minuman memabukkan. Dan Inex yang menyegarkan.
Gong raksasa berdentam menandai acara pembukaan. Pesta yang penuh kenikmatan. Sesungguhnya mereka sedang membangun jembatan. Membawa manusia pada kebutaan. Agar tak tahu bila sedang disesatkan. Dari jalan terang menuju kegelapan. Sehingga terkumpullah jutaan teman dalam kebersamaan. Untuk bersama-sama menikmati pedihnya siksaan. Di neraka yang telah dijanjikan.
Sony tak pernah sekalipun menganggap hantu sebagai sesuatu yang menakutkan. Baginya, mereka tak lebih dari sekedar banyolan. Ketika pindah kantor ke daerah Kebayoran, beberapa karyawannya mengatakan kalau kantor baru tersebut berhantu. Orang-orang sekitar bilang para penunggu itu pindahan dari bekas rumah sakit yang terletak bersebelahan dan belum lama runtuh dihujani palu.
“Hawanya ganjil. Seperti ada angin yang meriap bertiup usil. Pokoknya beda,” kata mereka.
Penjaga malam beberapa kali melihat seorang nenek-nenek sedang menyapu di lantai dua. Tepat di depan ruang kerja Sony yang luas lagi lega. Sedangkan di tempat parkir, dua anak kecil suka terlihat berlari-larian. Tapi Sony tak percaya pada hal-hal yang demikian. Makanya dia ingin membuktikan.
Malam Jum’at Sony sengaja tidak pulang, menginap di kantor. Siap tarung bak matador. Dengan semangat tempur seorang gladiator. Supirnya dia suruh pulang pakai motor. Kebetulan, dia sedang butuh banyak data. Sekalian, pikirnya. Malam hari internet jalannya kencang. Mungkin karena sudah agak lengang.
Maka malam itu, dia menunggu kemunculan hantu sambil kelayapan di dunia maya. Sesekali nyelonong ke situs porno, membuang kantuk dan cuci mata. Namun, hingga tengah malam tidak terjadi sesuatu yang aneh. Demikian pula ketika fajar menjelang. Tenang. Semua biasa-biasa saja. Sepi. Padahal Sony sudah sesumbar, dengan berteriak-teriak memanggil nenek-nenek peot itu supaya datang menemuinya. Tapi tidak nongol juga. Karena bosan dan capek main umpet-umpetan, Sony akhirnya tertidur di sofa.
“Hantunya tidak berani ketemu Bapak, takut dimarahi dan dimintai uang,” kata supirnya dalam perjalanan pulang.
Kadang-kadang Tukijan suka lancang bicara, meski berkata benar. Memang, ada beberapa kawan yang bilang kalau Sony tidak bakat melihat hantu. Karena ada penghalang besar antara dimensinya sebagai manusia yang agak gemar tepu-tepu dan alam gaib di mana hantu tinggal. Mungkin hantu takut dikadalinya. Sehingga menjaga jarak.
“Tembok tebal itulah yang harus dibongkar,” kata mereka yang, ternyata, juga belum pernah ketemu hantu.
Bisa jadi malam itu sebenarnya hantu nenek-nenek tersebut datang dan memperhatikan segala tingkah polahnya dengan rasa tidak senang. Mungkin pula hantu itu memukul-mukul kepalanya dengan sapu tanpa dia pernah bisa merasakan.
Sony jadi teringat cerita Pak Jamal, seorang kliennya dari Kalimantan Timur, beberapa bulan lalu. Pria tambun yang ke mana-mana suka memakai baju batik lengan pendek itu menyempatkan diri mampir ke kantor Sony setelah membereskan urusannya di Kantor Perwakilan Jakarta.
Seperti biasa, mereka ngobrol hingga berjam-jam. Pak Jamal bercerita kepada Sony mengenai pengalamannya bertemu hantu. Karena penasaran ingin melihat hantu, dia nekat laku. Berpuasa tiga hari penuh. Dan pada hari ketiga menginap sendirian di sebuah rumah kosong yang konon berhantu. Semalaman dia baca Surat Al-Jin sebanyak seribu. Menjelang dini hari, tiba-tiba seberkas cahaya menyilaukan muncul di hadapannya. Tanpa ba-bi-bu, cahaya itu langsung menghempas keras ke tubuhnya. Pak Jamal tak ingat apa-apa. Tahu-tahu, keesokan paginya dia dibangunkan orang karena tidur telungkup di rerumputan di pinggir jalan di sebelah kiri. Sarung dan kolornya nyangkut di dahan pohon turi. Lelaki setengah telanjang itu dikira korban tabrak lari.
Tentu saja Sony tak ingin peristiwa seperti itu terjadi di kantor. Bangun tanpa kolor. Karenanya, dia selalu menepis semua omongan karyawannya. Namun beberapa karyawan tetap ngotot dan bersikeras bahwa ada hantu di kantornya. Mereka memang tak bisa membuktikan, tapi bisa merasakannya. Pintu sering membuka dan menutup sendiri, kata mereka. Angin yang lumayan kencang tiba-tiba berhembus meski tak satu pun jendela terbuka. Akibatnya, karyawan tak mau kerja lembur walau tengat waktu semakin pendek. Takut digerayangi hantu nenek-nenek.
Gawat.
Akhirnya Sony mengalah. Dia suruh mereka cari orang pintar. Agar hantu-hantu itu mau dibujuk keluar. Biar pindah ke tempat yang lebih lebar. Kalau perlu dibuang ke Jelambar. Di dekat jembatan kembar.
“Siang, Pak.”
Ditemani Heru, Pak Lutfi masuk ke ruang kerja Sony. Setelah diawali dengan sedikit basa-basi, kemudian pembicaraan menjurus ke persoalan inti, mengusir hantu pengganggu.
“Insya’ Allah, mereka akan saya bawa pergi, agar tak mengganggu lagi,” kata Pak Lutfi, yang langsung beraksi. Tangannya direntangkan dan kemudian dia melangkah berputar-putar. Tatapan matanya melingkar-lingkar. Seperti bola bekel yang memantul-mantul liar. Sesekali kedua pergelangan tangannya bergetar-getar. Seolah kesenggol arang panas yang sedang terbakar. Tiba-tiba pria berbaju koko dan berpeci hitam itu bergerak mundur, seperti sedang mencekik sesuatu. “Sudah ketangkep satu.”
Anehnya, ada seorang karyawan perempuan yang sangat ketakutan begitu ketemu Pak Lutfi. Tidak seperti orang-orang lain yang ramai-ramai menyaksikan tetangga Heru itu beraksi. Desi malah meringkuk di sudut ruangan seolah hendak menyendiri. Dia mengeluh sakit kepala semenjak empat hari. Ketika Pak Lutfi menghampirinya, dia hampir saja lari. Untungnya Pak Lutfi yang kakinya tersangkut gulungan kabel hingga sarungnya hampir lepas itu masih sempat menangkap pundak sebelah kiri. Setelah mengencangkan gulungan sarungnya, dia urut-urut bagian belakang leher Desi. Ajaib. Desi terkulai lemas dan tertidur.
“Dia kemasukan,” ujar Pak Lutfi singkat. “Sekarang sudah tidak apa-apa, sudah saya keluarkan,” tambahnya.
Beberapa orang membopong Desi dan kemudian merebahkan perawan Betawi itu di sofa.
Pak Lutfi melanjutkan pekerjaannya. Satu per satu semua ruangan diperiksa dan dibersihkan. Tak boleh ada satu pun yang terlewatkan. Harus disapu bersih. Mulai dari lantai dua hingga basement yang menjadi tempat parkir. Namun Sony tidak mengikuti proses itu hingga berakhir. Seorang tamu datang mampir. Agak tengsin dia, karena tamunya terheran-heran melihat keramaian yang sedang terjadi.
“Ada apa?” tanya tamu itu dengan agak ragu-ragu, sementara tangannya bergerak-gerak kacau melonggarkan ikatan dasi.
Sony memutuskan berterus-terang. “Itu, anak-anak bilang di kantor ini banyak hantu bergentayang. Jadi, ya kita panggil orang pintar untuk menangkapnya agar bisa digelandang. Maunya sih, dibuang.”
Ternyata Sony salah sangka. Pak Jhony sangat antusias bila diajak bicara soal hantu dan benda-benda pusaka. Hantu ternyata ada juga manfaatnya. Padahal tadinya Pak Jhony datang hendak komplain karena ada pekerjaan yang agak tersendat. Tapi setelah asyik ngobrol soal hantu, ceritanya jadi lain. Mereka berdua semakin akrab saja. Memang, dia tetap komplain, tapi dengan nada bicara yang sangat halus. Dan setelah itu tak pernah lagi menyinggung-nyinggung soal keteledoran yang telah dilakukan karyawan Sony. Apalagi setelah Sony bercerita mengenai kakaknya yang jadi dukun dan mampu menembus tembok. Mendengar cerita tersebut, orang Manado itu langsung menyatakan keinginannya untuk ketemu Slamet, meski harus ikut Sony pulang ke kampung halamannya.
Mereka semakin asyik bertukar cerita. Ditemani kopi kental dan asap tebal rokok kretek yang dihisapnya dalam-dalam tanpa pernah putus, Pak Jhony bercerita tentang drakula.
Drakula sudah punah, demikian dia memulai ceritanya. Monster berjubah hitam yang biasa terbang di kegelapan malam dan doyan minum darah itu mati di tangan seorang pastur tua bersenjatakan sepotong pasak kayu berbentuk salib. Tubuhnya hangus terbakar bersama tonggak yang menancap di dadanya, tepat mengenai jantungnya. Gumpalan asap hitam menguap dari jasadnya. Bergulung-gulung, kemudian melesat ke neraka. Tapi para penghuni neraka tak suka akan kehadirannya. Maka penguasa neraka mendepaknya kembali ke dunia. Bukan lagi sebagai drakula, melainkan seekor vampir yang gemar menghisap darah sapi yang tidur dengan mulut menganga.
Tidak apa-apa, pikirnya, sambil menjilati sayap kirinya yang agak basah terkena tetesan darah sapi yang baru saja disedotnya. Sebagai makhluk yang sudah berumur ratusan tahun, dia cukup bijaksana dan sabar menerima keadaan. Yang penting masih bisa terbang, minum darah segar, dan keluyuran di malam hari. Hanya saja, sekarang harus lebih berhati-hati. Bekerja dengan teliti.
Tapi malang baginya, seorang peternak menembak mati vampir sialan itu tepat di antara kedua mata. Sang peternak marah karena sapi-sapinya kurus kering kurang darah. Apa lacur, vampir yang kepalanya sudah tak berbentuk lagi itu harus hengkang kembali ke neraka. Lagi-lagi, tak seorang pun yang mau berteman dengannya. Sehingga, sekali lagi, penguasa neraka terpaksa mengusirnya. Mengirimnya kembali ke bumi, sebagai seekor nyamuk.
“No problem. Aku tetap dapat menukik kesana-kemari, menghisap cairan merah kesukaanku, dan begadang di malam hari,” kilahnya dengan nada optimistis, menghibur diri. Sekalipun sasaran harus berganti. Dari sapi ke manusia yang sedang tertidur pulas.
Namun kemalangan tak pernah lepas darinya. Seorang ibu mengayun-ayunkan raket elektrik bikinan Cina untuk melindungi buah hatinya yang lelap. Seperti tengah bermain-main dengan tongkat sulap. Sekali dua kali nyamuk dekil itu berhasil mengelak. Tapi, pada kali ketiga, rajutan kawat halus beraliran listrik tersebut menghantam tubuh ringkihnya secara telak. Tak tersisa apa pun.
“Mati aku. Harus balik lagi ke neraka.”
Kali ini para penghuni neraka benar-benar berang. Mereka menggelar demo besar-besaran sambil menabuh genderang. Tuntutan mereka hanya sebiji. Makhluk jelek itu harus enyah dari neraka dan tak boleh kembali lagi.
Penguasa neraka pusing tujuh keliling. Lonceng demokrasi telah berdering. Lex Populi Lex Dei. Suara mayoritas selama ini telah memberinya legitimasi bagi terselenggaranya kegiatan penyiksaan yang pedih, tertib dan terkendali di neraka. Maka, tanpa pikir panjang dia hempaskan makhluk buluk tersebut ke bumi dengan tendangan pisangnya yang terkenal. Sebenarnya dia tak tega. Tapi, apa boleh buat? Maka dikutuknya biang kerok itu menjadi softex wings. Tetap punya sayap, menghisap darah, tapi tidak bisa terbang lagi.
“Sudah. Sudah. Saya harus balik ke kantor. Takut kena macet. Kapan-kapan kita sambung lagi ceritanya. Kalau perlu sambil berkaraoke,” kata Pak Jhony seraya berpamitan pulang.
Sony menemaninya turun ke tempat parkir. Dari dalam mobilnya, yang kaca jendela depannya dibuka, pria berkacamata tebal itu masih sempat-sempatnya berucap, “Pak Sony, bagaimana kalau Mas Slamet kita undang saja ke Jakarta.”
Sony hanya tersenyum. Tidak mengiyakan dan tidak pula menolak permintaan itu. Setelah mobil Pak Jhony menghilang dari penglihatan, barulah dia menghampiri Pak Lutfi yang sedang duduk-duduk di tempat parkir ditemani supirnya, Tukijan. “Bagaimana Pak, hasilnya?” tanya Sony.
“Sudah beres, Pak. Sudah ketangkep semua. Saya buang di jalan nanti,” jawabnya.
Maka Sony menyuruh Tukijan mengantar Pak Lutfi pulang. Tak lupa dia selipkan amplop di sakunya yang bertanda silang. “Terima kasih Pak, atas bantuannya.”
Pak Lutfi mengangguk.
Sony mendapat laporan dari Tukijan bahwa Pak Lutfi membuang hantu-hantu itu di Pemakaman Jeruk Purut dalam perjalanan pulang ke Pasar Minggu. Bagus kalau gitu. Di sanalah seharusnya mereka berada. Biar hantu nenek-nenek itu memukuli hantu tanpa kepala dengan sapunya karena terus mengotori rerumputan dengan darah yang menetes dari kepala lepas yang ditenteng di tangannya.
Tapi, tiba-tiba Sony khawatir kalau-kalau ada satu atau dua hantu yang masih tertinggal di dalam mobilnya. “Jan, coba kamu periksa sekali lagi, jangan-jangan ada hantu yang masih ngumpet di dalam mobil.”
Tukijan langsung membuka semua pintu mobil, termasuk bagasi dan kap mesin.
“Sudah bersih Pak. Tidak ada apa-apa.”
Sebenarnya, bukan kali ini saja Sony menempati kantor berhantu. Sewaktu masih berkantor di daerah Mampang, hantu-hantu di sana malah lebih usil dan suka mengganggu. Di antara sekian rukan yang berderet rapi, unit yang Sony tempati memang terlihat agak singup. Seperti ada sesuatu yang melingkup. Bahkan, menurut beberapa orang di kantor sebelah, unit itu belum pernah ditempati sejak pertama kali dibangun. Tak heran, Sony mendapatkannya dengan harga sewa yang terbilang murah.
Mungkin karena berhantu. Terutama di lantai dua, tepatnya di depan tangga. Ruangan yang ditempati Bagian Pemasaran itu hawanya tetap dingin meski AC tidak menyala. Lampunya sering mati. Berkali-kali diganti, selalu mati lagi. Hanya bertahan satu atau dua hari. Akhirnya dibiarkan saja tanpa lampu penerang. Agak gelap memang. Biar saja, hemat listrik. Habis, bikin jengkel melulu.
Ketika baru ditempati sehari, seorang karyawan kesurupan. Tiba-tiba saja dia terjengkang. Untung seseorang sempat menghadang. Sehingga tidak jatuh ke belakang. Kalau tidak, kepalanya pasti berlobang. Soalnya, di bawah ada tumpukan barang. Dan paku-paku segede pisang. Sisa-sisa kecerobohan tukang.
Syamsuddin, anak baru itu, kejang-kejang. Tatapan matanya kosong menerawang. Seperti orang yang ingatannya hilang. Kakinya menendang-nendang. Tangannya bergerak-gerak melintang. Seolah hendak mengusir bayang-bayang. Dari mulutnya meluncur kata-kata sembarang. Berteriak-teriak seperti binatang. Ayat Kursi segera berkumandang. Dan, dengan bantuan sesiung bawang. Yang kulitnya sudah dibuang. Setan jail itu akhirnya pergi melayang. Semua girang. Tak perlu keluar uang.
Hantu yang suka duduk-duduk melamun di pantry itu, konon katanya, arwah penasaran seorang perawan yang mati bunuh diri karena ditinggal kawin pacarnya. Menenggak racun serangga. Tidak ketahuan mereknya apa. Hanya ada gelas besar yang menganga. Jasadnya yang sudah kaku ditemukan oleh ibunya. Di dalam kamarnya.
Tapi Sony tak percaya. Itu hanyalah setan yang gemar meniru-niru. Agar manusia tertipu. Itu setan kerjanya mengaku-ngaku. Sebagai arwah penasaran yang menunggu dinding bersiku. Kehadiran manusia dianggapnya mengganggu. Karena merusak tatanan yang berlaku. Dia marah dan bersikukuh. Minta disediakan kembang yang rupanya tujuh. Harus diletakkan di atas selembar tisu. Ditambah sepotong kuku. Dasar loe, nggak tahu malu.
Sejak mula Sony sudah tahu kalau kantor itu berhantu. Dia diberi tahu Mas Yusa. Kakaknya yang pemborong bangunan itu, sengaja dia impor dari kampung halaman untuk membantunya membuat sekat-sekat ruangan dan partisi sebelum kantor tersebut ditempati. Bersama dua orang tukang, mereka kerja lembur selama dua minggu, karena Sony ingin segera menempati kantor barunya.
Malam itu, katanya, ketika kedua tukangnya turun untuk beristirahat dan makan di warteg depan, Mas Yusa tetap berada di lantai tiga memeriksa hasil pekerjaan anak buahnya. Menemukan ada pekerjaan yang kurang rapi, dia langsung berteriak ke bawah memanggil Yusron. Tapi tak ada yang menyahut. Panggilannya tak berjawab. Ke mana ini orang-orang, pikirnya. Setelah beberapa saat, baru dia ingat kalau mereka sedang makan. Maka dia putuskan menunggu seraya menandai pekerjaan yang cacat itu, agar nanti tak sampai lupa diperbaiki.
Tiba-tiba saja Yusron sudah berada di sampingnya.
“Eh, Sron, tadi saya panggil-panggil, apa kamu tidak dengar? Syaiful mana?”
Yusron tak menjawab. Mas Yusa segera menarik tangan tukangnya itu untuk memperlihatkan pekerjaannya yang kurang rapi. Yusron menurut saja. Dia minta maaf. Berjanji akan memperbaiknya nanti.
“Ya sudah. Tidak apa-apa. Namanya juga pekerjaan diuber waktu. Diburu-buru. Pasti ada kurang-kurangnya sedikit, lah,” kata Mas Yusa. “Eh, Sron, tolong belikan kopi di warung depan,” tambahnya.
Yusron langsung pergi. Dan tak lama kemudian muncul lagi dengan segelas kopi panas di tangannya. Setelah itu dia pamit turun. “Lupa beli rokok,” katanya.
Diiringi Syaiful di belakangnya, Yusron naik ke lantai tiga, dengan segelas kopi. “Pak, saya bawakan kopi.”
“Yang benar saja, Sron. Kamu kan barusan membelikan saya kopi, kok sekarang bawa kopi lagi. Yang ini saja masih setengah,” sergah Mas Yusa.
Yusron dan Syaiful tampak kebingungan.
“Pak, saya baru datang. Kok, Bapak bilang tadi saya bawa kopi. Yang benar, Pak,” tukas pria baya berambut keriting itu.
“Lha, kalau begitu, yang saya suruh beli kopi tadi siapa?” tanya Mas Yusa.
Sreeeng. Bulu kuduk mereka langsung berdiri.
“Jangan-jangan ….,” kata Syaiful, sambil garuk-garuk kepala. Dia teringat peristiwa malam sebelumnya. Sapu dan pengki bergerak-gerak sendiri membersihkan lantai yang kotor di kantor baru itu.
Bagi Sony, kantor baru di Kebayoran yang dia bangun di bekas rumah tua itu sama sekali tidak terlihat angker. Malahan, keren. Hanya saja, dua minggu lalu, Raja Tabah Pandapotan, salah seorang karyawan di Bagian Pemasaran, kesurupan. Tapi bukan di kantor, melainkan di rumahnya.
Sepulang dari menyelesaikan pekerjaan di Yogjakarta bersama Heru, Raja tak masuk kantor sekitar lima harian. Sakit kata adiknya, yang menelepon Anita untuk memberi tahu. Maka, bersama Heru, sore itu Sony bertandang ke rumah pemuda Batak tersebut di daerah Kebon Baru. Anehnya, Raja tidak apa-apa. Kelihatan sehat-sehat saja. Hanya agak kurusan. Pada kedua matanya terbentuk cekungan. Seperti kurang tidur dan banyak pikiran. Jenggot dan kumisnya tumbuh tak beraturan. Tidak dicukur. Tidak seperti Raja yang biasanya, yang selalu tampil klimis dan gaya.
Pak Tegar, ayahnya, memberi tahu Sony bahwa sudah beberapa hari anaknya itu suka bertingkah aneh. Tiba-tiba saja Raja berteriak-teriak dalam Bahasa Jawa yang sama sekali tidak dia mengerti. Dipanggilkan orang pintar juga tak mau berhenti. Malah orang yang hendak menolongnya terlempar hingga membentur lemari. Akhirnya dukun dari kampung sebelah itu menyerah dan pamit pergi.
Kalau sudah begini, dibiarkan saja berteriak-teriak sampai pagi. Akhirnya berhenti sendiri. Mungkin kecapaian atau sudah tak sadarkan diri. Kejadian seperti ini sudah berulang enam kali. Kalau kumat tak pilih-pilih waktu. Kadang sore dan lebih sering malam hari. Sudah tiga orang pintar yang jatuh menggelepar. Kini opung-nya sedang pergi ke Kampung Makassar. Menjemput dukun sakti asal Bima.
Di mata Sony, Raja tampak biasa-biasa saja. Hanya terlihat seperti orang yang sedang lelah. Mereka mengobrol di beranda ditemani teh manis dan bika ambon buah tangan opung-nya yang baru pulang dari Medan. Raja kelihatan sangat bersemangat ketika bercerita tentang Yogjakarta, kota budaya yang baru pertama kali dikunjunginya. Dia memborong kaos Dagadu dan beberapa blangkon di Malioboro. Pesanan adik-adiknya.
Kemudian dia bercerita mengenai pengalaman aneh ketika melewati depan keraton. Raja mencium bau kemenyan yang terus mengikutinya ke manapun dia pergi. Sesampainya di hotel, baru bau yang menyengat itu hilang begitu saja. Dia memang tidak bercerita kepada Heru yang ke mana-mana pergi bersamanya di sana. Takut ditertawakan.
Tiba-tiba saja mata Raja membelalak merah. Sony panik. Tapi Heru bertindak cepat dengan menangkap Raja dan kemudian menyeretnya ke sofa panjang. Sepertinya Heru kewalahan. Sony dan Pak Tegar segera membantunya. Raja berhasil ditidurkan terlentang di sofa. Mulutnya merancu. Bukan suaranya sendiri. Melainkan suara seorang perempuan dalam Bahasa Jawa halus.
Sony tak terlalu paham, tapi secara garis besar dia menangkap bahwa perempuan itu bernama Raden Ayu Inwulandari. Masih kerabat jauh keraton dari zaman baheula. Dia naksir Raja, dan ingin menikah dengannya. Tapi rupanya alam bawah sadar Raja menolak. Sehingga gadis yang sudah berusia ratusan tahun itu marah.
“Pegang tangan dan kakinya!”
Dari pintu depan opung Raja yang ditemani seorang lelaki berperawakan kecil bergegas menghampiri mereka. Pria setengah baya berpakaian serba gelap dan ikat kepala hitam itu dengan sigap mengeluarkan sebatang tongkat kecil dari balik bajunya. Diketukkannya tongkat sulap itu tiga kali tepat di kening Raja. Pemuda kerempeng tersebut langsung diam, seperti orang yang sedang tertidur.
“Biarkan saja, nanti juga bangun sendiri. Pengganggunya sudah pergi. Tak akan pernah balik lagi. Kecuali kalau masih mau dipukul pakai buntut sapi. Emang berani?” ujar dukun Bima itu sambil menyarungkan kembali tongkat ajaibnya ke dalam selongsong putih yang terbuat dari kulit biri-biri.
Tongkat itu tergeletak begitu saja. Tali pengaitnya masih melingkar di pergelangan tangan. Lampu senter tergenggam di tangan kiri. Masih menyala. Tapi sinarnya sudah lemah. Mungkin hampir habis baterainya. Pemiliknya tidur terlentang di tengah jalan.
Pak Zaenal, Hansip itu, ditemukan tergeletak di depan rumah Sony. Celananya basah. Sepertinya dia ngompol. Kegaduhan pun pecah, dan orang-orang langsung bergerombol. Ketika dibimbing duduk di kursi teras rumah Sony, Pak Zaenal menurut saja. Terlihat seperti orang linglung. Ketakutan. Mulutnya mengatup. Matanya menutup. Kakinya gemetar. Tangannya bergetar. Setelah diberi minum teh manis hangat barulah dia agak tenang. Beberapa tetangga ikut berkerumun. Mereka ingin tahu apa yang telah terjadi.
Maka mengalirlah cerita dari mulutnya. Malam itu dia jaga sendirian. Pak Karmin yang biasa menemaninya sedang tak enak badan. Pegal-pegal dan demam setelah kecapaian ikut lomba tujuh belasan. Sekitar pukul dua dini hari Pak Zaenal patroli keliling perumahan. Menyusuri jalan memeriksa lingkungan. Tugas rutin, seperti yang biasa dia lakukan.
Sesampainya di depan rumah Sony, dia merasa bulu kuduknya pada berdiri, badannya menggigil kedinginan. Maka dia nyalakan lampu senter untuk melihat-lihat kiri dan kanan. Pandangan matanya langsung tertuju ke arah mobil bak yang diparkir di depan rumah Pak Tomo, tetangga sebelah rumah Sony. Mobil itu bergoyang-goyang keras karena di atas baknya yang tak berpenutup berdiri sesosok makhluk hitam setinggi pohon kelapa. Melambai-lambaikan tangan kepadanya. Seperti menyuruhnya datang mendekat.
Pak Zaenal tak mempercayai penglihatannya. Dia gosok-gosok kedua matanya. Tapi bayangan hitam itu semakin jelas saja. Membungkuk ke arahnya. Kian dekat. Semakin pekat. Kabut tipis turun dari arah barat. Seperti tirai transparan tanpa cacat. Aroma bunga kantil kian menguat. Diiringi bunyi dengung seperti pasukan ngengat. Wajah Pak Zaenal langsung pucat. Tenggorokannya seperti tercekat. Dia melangkah mundur dengan berjingkat. Tetapi kakinya seperti melekat. Sekali lagi dia coba melompat. Gagal, kakinya tak mau diangkat. Jantungnya berdegup kencang. Badannya berguncang-guncang. Meski sudah berteriak sekeras-kerasnya, tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Peluit juga tak mampu diraihnya. Malah, pahanya terasa hangat. Dan muncul bau menyengat. Tiba-tiba semuanya gelap.
Gelap. Benar-benar gelap. Di dalam gudang yang gelap itu Sony bersama empat orang kawannya bermain jelangkung. Kelima pemuda tanggung itu sudah menyiapkan jajanan pasar dan kopi tubruk sebagai sesaji. Dan beberapa tangkai lilin untuk penerang. Tak lupa pula kembang setaman dan dupa batangan. Keranjang bambu sudah dibeli tadi siang. Tinggal memasang serokan batok kelapa sebagai kepala dan potongan gagang sapu sebagai tangannya. Spidol merah diikatkan pada sebatang kayu di bagian depan. Beberapa lembar kertas manila disusun berlapis ditempelkan ke diding dengan paku. Bajunya diambil dari jemuran. Kebaya milik pembantu Iwan. Satuhan, tetangga Iwan, kebagian tugas menggendong jelangkung.
“Jelangkung … jelangkung …, datanglah. Di sini ada pesta besar. Jelangkung … jelangkung …, datanglah. Di sini ada pesta besar. Jelangkung … jelangkung …, datanglah. Di sini ada pesta besar.”
Berulang-ulang mereka menawarkan undangan. Dengan membakar dupa dan menabur-naburkan kembang. Tiba-tiba badan Satuhan gemetar. Keranjang yang dipegangnya bergoyang-goyang. Ke kiri dan ke kanan. Ke belakang dan ke depan. Spidol langsung menempel di kertas. Satuhan seperti orang kesurupan. Matanya terpejam, napasnya tak beraturan.
Anton tak sabaran melontarkan pertanyaan. “Siapa kamu?”
Spidol itu tak bergerak. Diam saja. Seperti tidak bereaksi.
Kembali Anton mengulangi pertanyaannya, “Siapa kamu?”
Ternyata langsung dijawab. Jelangkung tersebut menuliskan sebuah nama, Rahendra. Berjenis kelamin pria. Anaknya dua. Mati terlindas kereta. Usia dua puluh lima.
Yudi buru-buru merobek kertas yang sudah dipenuhi tulisan cakar ayam itu. Sementara Anton langsung bertanya, dengan suara yang agak malu-malu, “Apa Ninis naksir saya?”
Jelangkung itu menjawab dengan tulisan yang agak sukar dibaca, “Sedikit.”
Anton lega. Bagaimanapun, dia merasa masih punya peluang. Tinggal ditempel terus cewek berkacamata yang rambutnya selalu dipotong pendek itu. Lama-lama pasti tunduk, pikirnya.
Kini giliran Iwan bertanya. “Siapa yang nilainya paling bagus dalam ulangan matematika?”
Mariana, itulah nama yang tertulis.
Sony keheranan. Padahal Satuhan bukan teman sekolah mereka. Darimana dia tahu? Mustahil dia kenal Mariana, gadis bermata sipit yang memang pintar tapi pendiam itu. Mariana tergolong gadis kuper dan tak pernah pergi ke mana-mana selain ke sekolah. Tiap hari di rumah saja. Kerjanya hanya belajar. Tapi setiap hari Minggu dia membantu ibunya berjualan di toko kelontong di pasar. Anton tahu betul soal ini. Karena rumah mereka berhadap-hadapan. Di jalan yang sama.
Tiba-tiba keranjang itu terlempar. Satuhan langsung rebahan di lantai. Kelelahan. Seperti habis memanggul beras dua karung. Napasnya ngos-ngosan.
Sony sangat kecewa. Karena kehilangan giliran untuk bertanya. Maka dia bujuk Yudi mengangkat keranjang itu untuk menjadi media. Hampir setengah jam mereka memanggil-manggil, tapi Rahendra tak mau hadir. Sony segera menggantikan posisi Yudi. Tapi tak berhasil juga. Demikian pula Iwan dan Anton. Gagal pula. Sepertinya Rahendra sudah pergi jauh. Atau, dia merasa kurang sreg dengan mereka.
Maka, Satuhan yang sudah agak rileks, mereka suruh beraksi lagi. Ajaib. Dalam sekejap jelangkung datang. Kali ini perempuan. Namanya Romlah. Seorang gadis Madura. Anak pedagang buah di pasar. Mati ditusuk bromocorah, ketika hendak pergi ke mushola.
Kini giliran Sony bertanya, dengan suara sedikit terbata-bata. “Apa Sheila suka sama saya?”
Romlah ternyata orang yang sangat romantis semasa hidupnya. Seandainya saja tidak mati, pasti dia kuliah di Fakultas Sastra. Buktinya, dia menjawab pertanyaan Sony dengan menuliskan sebaris puisi.
Seorang gadis berkacamata.
Kulitnya bening laksana kaca.
Bicaranya halus seperti sutra.
Senyumnya manis bagaikan gula.
Dagunya terbelah dua.
Rambutnya panjang dikepang ekor kuda.
Rumahnya di samping gereja.
Pergi ke sekolah naik sepeda.
Duduk di bangku nomor dua.
Bersebelahan dengan seorang pemuda.
Tinggi kurus dadanya rata.
Membuat hatinya selalu berbunga.
Sesekali dia lirik dengan sudut mata.
Tanpa ketahuan siapa-siapa.
Dia tuliskan nama pemuda itu.
Di balik sampul buku.
Tersamar dalam hiasan-hiasan berbentuk kuku.
Hanya dia yang tahu.
Mendapat jawaban seperti ini, Sony langsung besar kepala. Lobang hidungnya mekar segede sumur pompa. Matanya agak berkaca-kaca. Meski mulutnya menganga, tak terucap barang sekata. Hanya desah nafas yang tak berirama. Dan senyuman lebar yang tersungging di pipinya.
Tak percuma selama ini dia berlagak tak butuh. Mencuri-curi perhatian dengan bergaya acuh. Menghindari tatapan mata. Tanpa pernah menyapa. Hanya anggukan tak bermakna. Seolah tidak ada apa-apa. Padahal sudah tak tahan dia ingin mengutarakan isi hatinya. Tapi malu rasanya. Takut ketahuan teman-temannya. Pernah sekali dia menulis surat cinta. Tapi tak jadi diberikannya. Masih tersimpan rapi di dalam tasnya. Kini dia boleh berbangga. Sheila ternyata menyukainya. Seperti yang dikatakan Romlah. Dengan puisinya yang tak sampai sepanjang galah.
Anton, Yudi dan Iwan langsung memberinya selamat. Mereka menepuk-nepuk bahunya. Menyalaminya. Meremas rambutnya. Sampai-sampai mereka lupa kalau Romlah sedang menunggu. Yudi baru tersadar akan gilirannya. Maka dia langsung bertanya, “Romlah, apakah kedua orangtuaku jadi bercerai?”
Senyap beberapa saat. Semuanya tak menyangka akan ada pertanyaan seperti itu. Tidak juga Romlah. Spidol tersebut diam saja. Hanya bergerak-gerak sedikit. Sepertinya Romlah sedang berusaha keras menghimpun kata-kata untuk memberikan jawaban yang tepat. Beberapa kali dia mencoba menulis tapi diurungkannya. Namun akhirnya jawaban itu muncul jua.
“Jadi.”
Yudi terhenyak sedih. Matanya basah. Hidungnya berair. Dia pamit buang air. Mungkin dari matanya.
Besoknya mereka bermain jelangkung lagi. Tapi Yudi tak mau ikutan. Hanya tinggal mereka berempat. Kali kini Satuhan menitipkan pertanyaan, mengenai peluang kesembuhan ayahnya yang sakit keras. Sebagai pembawa keranjang, tak mungkin dia bertanya sendiri. Padahal, hanya dia yang mampu mendatangkan jelangkung. Yang lain tidak bisa. Sehingga Satuhan dijuluki anak setan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar