Sabtu, 27 Desember 2008

2. Anak

Sony terlahir dari keluarga biasa-biasa saja. Ayahnya seorang guru sekolah Muhammadiyah, sedangkan ibunya pegawai negeri sipil dengan golongan pangkat rendahan. Pernah sekali terpikir olehnya, seandainya saja dia terlahir sebagai salah satu putra mantan Presiden Soeharto – asal jangan Mas Tommy, karena duda ganteng itu sempat mondok di Nusakambangan – pasti bisnisnya sekarang sudah menggurita dan bernilai trilyunan. Tapi dibuangnya jauh-jauh pikiran gila tersebut. Karena setiap orang dilahirkan ke dunia tanpa bisa memilih. Bisa saja dilahirkan dari keluarga tukang becak, presiden, menteri, pengusaha, bupati atau bahkan juragan togel. Kalaupun kebetulan dilahirkan dari keluarga kurang mampu, tak perlu kecewa, apalagi minder dan putus asa. Tuhan punya tujuan sendiri untuk menetapkannya demikian. Dan itu pasti yang terbaik.
Sony lahir di sebuah kota kecil di Jawa Timur pada pertengahan tahun enam puluhan. Dia sepenuh sadar bahwa manusia tak bisa memilih mau dilahirkan kapan dan di mana. Di tengah siang bolong atau di penghujung fajar. Di Jakarta atau di kutub utara. Di rumah sakit atau di dipan bambu di rumah dukun beranak. Pula, manusia tak punya kuasa menuntut agar kelahirannya dibantu oleh Bu Bidan atau ditolong Pak Dokter. Melalui proses kelahiran yang normal atau lewat operasi sesar. Bahkan juga tidak perlu pusing apakah dilahirkan sebagai bayi bule bermata biru terang, bayi Arab yang masih kecil hidungnya sudah mancung, atau bayi Afrika yang berbibir tebal dan berkulit legam. Kesadaran inilah yang setiap kali mengingatkan Sony untuk senantiasa bersyukur atas apa yang telah diraihnya selama ini.
Manusia sesungguhnya sangat beruntung, pikir Sony. Begitu lahir, ibu langsung mendekap bayinya dengan pelukan hangat sambil menitikkan air mata bahagia. Dalam keadaan masih kecapaian sehabis melahirkan, disorongkannya puting susunya ke mulut mungil bayi yang menggemaskan itu agar bisa minum ASI sepuasnya. Meski posisi menyusui kadang-kadang membuat badan terasa pegal-pegal, tak seorang pun ibu yang pernah mengeluhkannya. Bahkan, ketika bayi mulai tumbuh gigi dan gemar menggigit-gigit pentil susu ibunya, rasa sakit dan pedih itu hilang begitu saja ketika melihat bayinya yang imut tersenyum dan menggerak-gerakkan tangannya sambil sesekali melonjak-lonjak. Seolah ingin segera melompat berdiri dan menguasai dunia.
Bandingkan dengan bayi sapi yang baru lahir. Dalam hitungan menit, sapi unyil itu harus berjalan dengan kaki yang masih tertatih-tatih mencari puting susu induknya. Dia mesti berjuang sendiri. Bapaknya tak mau menggendong. Ibunya juga cuek. Mungkin masih kehabisan tenaga setelah melahirkan. Cempe itu terus mencari kesana-kemari dengan berjalan sempoyongan. Induknya sekedar melirik sambil cengengesan.
“Kalau sudah ketemu, langsung saja eloe sedot. Kalau belum, ya cari lagi. Jangan putus asa. Hidup ini memang berat. Masih untung emakmu tidak jadi dipotong untuk dijadikan bakso atau sop konro. Oom dan tantemu bahkan harus pergi tanpa sempat berpamitan. Tapi mereka tidak mengeluh, karena sudah tahu suatu hari nanti hidupnya akan berakhir di piring.”
Bayi sapi itu sudah sangat kehausan. Kelihatan sekali. Napasnya ngos-ngosan. Beruntung, akhirnya dia temukan juga benda lunak yang bentuknya menyerupai dot besar itu. Langsung tancap gas, pedal rem tak perlu diinjak. Pokoknya harus minum sepuas-puasnya. Ini anak benar-benar serakah dan kemaruk. Air susu emaknya digenjot habis-habisan. Begitu kenyangnya dia, sehingga harus berdiri dengan kaki-kaki yang bergetar. Matanya kedap-kedip, mengisyaratkan panggilan alam. Mengantuk. Tak perlu repot-repot cari kasur. Tak usah mikirin popok kalau-kalau nanti ngompol. Toh, dia tidak di-bedong. Ada tempat yang sedikit nyaman dan teduh, kaki langsung ditekuk dan kepala diturunkan. Pelor. Nempel langsung molor. Sudah. Begitu saja.
Krucuk krucuk krucuuuuk …. Krucuk krucuk krucuuuuk …. Perutnya bernyanyi dengan irama lembut, minta diisi lagi. Sama seperti bayi manusia, dia juga akan bangun begitu merasa lapar. Tapi, manusia ya manusia. Sapi ya tetap sapi. Nggak boleh disama-samain. Kalau dibanding-bandingkan, bolehlah. Maka, dengan tak sabar sapi kecil itu segera mencari sasarannya. Tapi dia mengalami kesulitan. Rupanya sewaktu tertidur tadi, induknya berpindah ke lahan sebelah mencari rumput yang lebih tebal. Berkali-kali menyeruduk ke kiri dan ke kanan, tak kunjung ditemukannya benda itu. Sempat beberapa kali ketemu tonggak yang mirip kenyotan favoritnya. Langsung disedot-sedot. Sialan. Tak keluar airnya. Mbok … mbok …, ojo ngece aku. Moooooh.
Para koboi, si penggembala sapi, memperhatikan kebodohan sapi imut tersebut dengan seksama sambil ketawa-ketawa. Bukannya mengajari sapi blo’on itu menemukan kenyotannya dengan mudah, mereka malah memanfaatkannya untuk tujuan iseng. Bayi sapi yang suka srondal-srondol tersebut disuruh menghukum maling sapi yang tertangkap. Caranya? Maling sapi ditelanjangi dan kemudian diikat berdiri pada sebatang tonggak. Bayi sapi bego itu kemudian digiring mendekati maling yang sudah terikat tadi.
“Sedap benar baunya, pasti ini makanan gue.” Tanpa kerja keras, dia segera menemukan benda lunak yang bentuknya menyerupai dot besar itu. Hap. Langsung di-emut-emut. Teksturnya mirip. Tapi, rasanya kok agak aneh? Bodoh amat. Tancap teruuuss …. Tentu saja, si maling kejet-kejet, terguncang-guncang. Rasain loe. Masih mending daripada dihukum gantung.
Namun manusia suka bersikap keterlaluan dan tidak beradab ketika seorang bayi terlahir kurang sempurna alias cacat. Misalnya, bila bayi lahir tanpa kaki atau tangan. Pihak keluarga cenderung akan menyembunyikan peristiwa kelahiran yang dianggap memalukan itu. “Aib. Kutukan dewata,” kata mereka. Sebaliknya, bila yang terlahir cacat adalah sapi, maka dia akan segera bikin woro-woro yang menggemparkan seisi kampung.
“Ada sapi ajaib. Kepalanya dua belas kakinya delapan.” Dengan bangga dia melayani wawancara reporter TV. Sesekali mejeng, boleh dong. Kotak sumbangan pun disiapkan di depan kandang, untuk membantu biaya pemeliharaan sapi-gurita itu, atau, sapi-anggur, karena kepalanya bergerombol. Malah ada yang bikin karcis segala. Dewasa lima ribu, anak-anak tiga ribu saja. Meski tidak tersedia tempat duduk, pengunjung boleh menonton sapi ajaib itu sepuasnya. Sejumlah pemuda tanggung memanfaatkan keramaian tersebut dengan membuka parkir dadakan untuk mobil dan motor. Sebagian lagi bikin kaos sablon.
Masya’ Allah. Itu kan cuma binatang yang kebetulan terlahir cacat, tidak sempurna. Tak perlu dilebih-lebihkan, apalagi dikeramatkan. Anomali seperti ini juga bisa terjadi pada tumbuhan maupun manusia. Di mana pun dan kapan pun. Biasa saja. Tapi manusia gampang tergoda untuk melihatnya dengan sudut pandang yang lain.
“Ini pertanda akan datang goro-goro dari delapan penjuru mata angin setahun ke depan. Berupa dua belas raksasa berambut geni yang nggak pernah mandi dan gosok gigi,” jelas Pak Aman, si empunya sapi invalid tersebut, sambil sesekali tangannya menepuk-nepuk salah satu dari kedua belas kepala sapi jelek itu. Anehnya, sapi kecil tersebut ikut manggut-manggut. Seolah membenarkan ucapan tuannya.
Kali ini Pak Aman tidak sendirian berbicara di hadapan media. Sesosok angker berjubah gelap berdiri di samping kirinya. Ikat kepala hitam kusam, kacamata gelap lebar, kumis dan jenggot lebat yang senantiasa berkibar-kibar menyembunyikan wajahnya. Tapi kelihatan jelas pipinya kasar, berlubang-lubang. Mungkin bekas cacar semasa balita. Kedua tangannya bersedakap di dadanya yang tak terlalu bidang. Pandangan matanya entah ke mana. Karena tertutup kacamata hitam. Atau, jangan-jangan, dia buta, pikir Sony. Jangan su’udon dulu, apalagi berprasangka. Meski pakaiannya serba hitam dari atas ke bawah, belum tentu dia orang jahat. Warna hitam kan tidak selalu merepresentasikan sesuatu yang buruk. Betul kan, Pak Permadi? Malahan, warna putih kadang-kadang berarti kurang baik. Misalnya, keputihan.
Salah satu kamera wartawan dengan iseng menyorot gelang akar bahar yang menghiasi pergelangan tangan sang dukun. Besar-besar dan legam. Berlenggak-lenggok liar, dengan cabang-cabang kecilnya yang saling melilit tak beraturan, persis seperti kabel telepon milik Telkom yang baru saja terbakar. Close up bergeser ke arah jemarinya yang dikawal sejumlah cincin alpaka yang mengikat batu-batu akik sebesar telor puyuh. Sony yakin, ini orang pasti masih satu komunitas dengan Tessy Srimulat. “Heeem …!” Hanya suara itu yang terdengar dari mulutnya. Lantang dan berwibawa. Bikin berdiri bulu roma. Meski begitu, Sony juga yakin, sekali lagi, dia tidak bisu.
“Sudah ada yang nawar enam ratus juta. Tapi saya belum mau lepas,” tambah Pak Aman yang bertubuh kerempeng dan wajahnya terlihat agak culun itu. Katrok, kata Tukul.
Tentu saja sapi kecil tersebut stres karena setiap hari dikerubuti banyak orang dan setiap saat harus menghadapi sorotan lampu kamera. Minum susu jadi tidak teratur, walaupun telah disediakan bermacam-macam susu formula yang mengandung vitamin A-Z, plus DHA dan Omega 3. Tidur juga tak teratur. Lebih menjengkelkan lagi, Pak Aman selalu menggulang-ngulang pesan yang sama setiap pagi, “Kamu harus murah senyum di depan kamera.” Sinting. “Aku ini sapi. Belum pernah ikut kursus acting.”
Dan lebih gila lagi, banyak juga wartawan yang mencoba mewawancarainya, mengajaknya bicara. Edan. “Heey … aku ini sapi! Mooooooh ….” Berkali-kali dia harus berteriak seperti itu. Tapi tak seorang pun mengerti ucapannya. Tidak juga mbah dukun sakti yang seram itu. Karena terlalu capek, stres dan nelongso, akhirnya sapi gurita itu mati keesokan harinya. Pak Aman menangis berguling-guling. Hilang sudah duit enam ratus juta.
Sudah. Sudah. Jangan mikirin sapi melulu. Manusia sebaiknya ngomong soal manusia saja. Gitu, lho. Sony tersadar dari lamunannya ketika nyala api rokoknya yang semakin memendek itu menggigit jarinya. Tapi syaraf-syaraf di otaknya tak mau diatur. Mereka membujuk jantung agar mau mengalirkan lebih banyak lagi campuran darah dan oksigen sebagai bekal untuk berjalan-jalan. Ya sudah, kalau maunya begitu, silahkan lanjut.
Tiba-tiba muncul kelebat Sarah, adik iparnya. “Lihat Pa, bibirnya seperti aku, matanya dari kamu. Hidungnya yang agak besar menurun dari kakeknya.” Siapa sih, yang tidak berbahagia kedatangan anggota keluarga baru yang mungil dan lucu itu? Semua orang pasti menginginkan bayinya lahir dalam keadaan sempurna dan sehat. Laki-laki atau perempuan tidaklah penting, sama saja. Pokoke sehat. Titik.
Masih segar dalam ingatan Sarah nasehat Ustadz Kadir, “Sar, banyak sholat malam. Minta sama Allah. Dan jaga perangai kamu. Insya’ Allah, permohonanmu akan dikabulkan.” Benar. Sarah telah mendapatkan sebuah karunia yang luar biasa. Seorang bayi perempuan yang montok dan lucu.
“Pa, jangan lupa kasih tahu suster supaya nanti sore kupingnya ditindik. Tadi saya sudah suruh Candy beli anting emas dua gram di pasar.” Pasangan muda itu saling bertatapan, saling tersenyum, dan kemudian berpelukan.
“Ma, aku sudah siapkan nama untuknya, Soleha. Mama ada titipan nama apa? Jadi bisa digabung,” kata suaminya dengan suara setengah berbisik sambil tak henti-hentinya mengelus-elus kening istrinya.
“Arini, Pa. Kita taruh nama pilihan aku itu di depan,” jawab istrinya dengan manja. Jadilah Arini Soleha. “Mudah-mudahan kalau sudah besar nanti kamu tidak berjodoh dengan Baim Wong, nak. Karena jelas-jelas usia kalian terpaut sangat jauh. Dia pasti sudah jadi kakek-kakek peot.”
Sukacita, ungkapan apalagi yang paling tepat untuk menggambarkan kebahagiaan itu. Buah cinta anak manusia, orok yang belum mengerti apa-apa itu, adalah harta yang paling berharga bagi setiap keluarga. Sehingga Sony tak pernah habis pikir bagaimana seorang ibu tega membuang bayi merah yang baru dilahirkannya di WC umum ke dalam tong sampah. Dibungkus tas kresek lagi. Untung cepat ketahuan, sehingga bisa diselamatkan. Tapi banyak juga yang ditemukan dalam keadaan sudah meninggal, atau sudah dicekek sebelumnya.
Laknat sekali perbuatan mereka. Lebih parah lagi, (calon) bapaknya juga ngilang begitu saja. Kalaupun tahu, biasanya dia berlagak bego. “Itu bukan saya. Pasti orang lain. Kan, saya bukan pemain tunggal. Salome,” kilahnya.
Heeeeey … manusia laknat, setan apa gerangan yang telah merasuki kalian hingga berperilaku lebih rendah dari binatang?! Apakah kalian tidak malu? Apakah kalian tidak takut pada hukum Tuhan?
Kalau saja Sony ketemu langsung dengan mereka, pasti dia jewer kupingnya hingga molor sepuluh senti. Setelah itu, serahkan saja kepada penduduk. Biar ditentukan hukuman apa yang sepadan untuk perilaku bejat seperti itu. Dirajam? Why not? Mereka sangat pantas mendapatkan hukuman yang pedih itu. Ini kan cuma siksa dunia. Masih jauh lebih ringan daripada siksa di akherat kelak.
Lagian, apa sih, yang mereka takutkan, sehingga harus membunuh bayi yang tak berdosa itu? Malu? Waktu berbuat, apakah sudah dipikirkan masak-masak akibatnya? Tentu saja tidak. Lha wong lagi asyik melek-merem. Kalaupun sempat terpikir, pasti setan akan langsung menutup keran aliran darah ke akal sehat dan membuka lebar-lebar semua hidran untuk menggelontorkan campuran darah-oksigen-viagra-sosis-acar-kopi-bir ke dalam syaraf-syaraf birahi, seperti yang sering mereka lakukan terhadap kuda maupun singa.
Setan menang lagi. Rencananya sangat jelas. Manusia digiring melakukan dosa yang lebih besar setelah dia berhasil menjerumuskan mereka ke dalam jebakan mautnya. “Bunuh saja. Biar tidak bikin repot. Kalian kan masih muda. Energi besar, dan meluap-luap. Harus disalurkan setiap hari.”
Di rumah kosong itu, seorang remaja kencur agak ragu-ragu ketika hendak memasukkan bayi yang baru dilahirkan ceweknya ke dalam kantong plastik. Gamang. Sekali lagi ditengoknya pacarnya yang masih tergolek pingsan karena pendarahan. Orok merah yang dibungkus kain pel berwarna biru kusam itu terus menangis. Dia bekap mulutnya agar mau diam. Bayi itu malah menangis sejadi-jadinya. Nuraninya mengatakan tak tega. Tapi setan terus membujuknya, “Ayo. Lakukan. Lakukan. Bunuh saja. Nanti kita bikin reuni di neraka.” Mau, kamu?
Ada pula yang takut tak mampu menghidupi si orok nantinya, sehingga memutuskan untuk mengakhiri hidup sang bayi agar tidak membebani dirinya kelak. Sok tahu mereka. Dan mau menangnya sendiri. Setiap anak lahir ke dunia membawa rezekinya masing-masing. Sudah diatur dari sononya. Tidak usah khawatir. Rajin-rajin sajalah sholat dhuha. Niscaya akan segera diturunkan rezeki yang masih menggantung di langit dan dimunculkan yang masih tenggelam di lautan. Tapi bukan berarti tak perlu bekerja keras untuk menafkahinya. Harus terus bekerja keras, sambil memohon ampunan Tuhan. Allah pasti akan mengampuni dan memberikan jalan keluar bagi orang-orang yang mau bertobat dan memperbaiki diri.
Lagian, ngapain mesti dimatiin? Pendek banget loe punya pikiran. Berikan saja kepada orang. Tidak harus panti asuhan. Kalau takut ketahuan, tinggalkan saja di masjid, misalnya. Itu lebih baik, dan beradab. Jangan ditaruh di bak sampah. Kasihan. Bayi juga manusia. Banyak kok keluarga-keluarga – walaupun kehidupan mereka tidak terlalu berkecukupan secara materi – yang mau menerima dan membesarkan bayi yang bahkan tidak pernah mereka kenal siapa orangtua kandungnya?
Jadi …, sekali lagi, jangan dimatiin! Emangnya eloe bisa menciptakan kehidupan, sehingga eloe berani menghilangkan sebuah kehidupan? Ngaca! Hargai kehidupan! Sony jadi agak lepas kendali dan terlalu berapi-api mengenai soal yang satu ini.
Anak itu anugerah Tuhan, dan juga milik Allah. Orangtua hanya menerima titipan, amanah untuk membesarkannya menjadi orang yang baik dan berguna. Dan itu pun tidak gratis. Tuhan akan membayar semua jerih payanya. Akan diberikan ganjaran yang sepadan. Jangan khawatir soal makannya, bajunya, sekolahnya. Itu anak sudah punya garis rezekinya sendiri.
Para orangtua dahulu bahkan percaya, “Banyak anak banyak rezeki”. Tak terhitung keluarga yang memiliki anak lebih dari sepuluh. Sepuluh? Ya, sepanjang mampu menyayangi dan mendidik mereka secara baik. Tapi kalau merasa belum mampu, sebaiknya jangan. Banyak jumlahnya, tapi tidak terurus, alias keleleran. Sehingga berkontribusi besar terhadap penciptaan generasi yang kurang berkualitas. Mendingan ikut KB, cukup dua anak, laki perempuan sama saja. Jadi, ini bukan melulu soal bagaimana memberi makan. Melainkan, bagaimana memberikan kehidupan yang berkualitas kepada mereka.
Soal, kasih makan? Gampang. Tak usah takut. Jangan sekali-kali anak dianggap sebagai beban tambahan. Sebaliknya, sebagai pemacu semangat untuk bekerja lebih keras. Lihat saja Cina, yang jumlah penduduknya lebih dari 1,3 milyar jiwa. Toh, mereka bisa hidup makmur. Tak kurang makan. Bahkan dapat dikatakan berkelimpahan. Memang, ada pembatasan jumlah anak di sana. Tapi itu bukan karena takut tidak bisa kasih makan. Ini masalah keterbatasan ruang untuk hidup. Luas wilayah kan tidak serta merta bisa dimekarkan untuk menampung penduduk yang jumlahnya berjibun. Lagian, mengurus orang sebegitu banyak pasti juga tidak mudah, kan?
“Pak, ini daftar uang makan karyawan. Saya juga sudah siapkan cek dan giro yang harus Bapak tanda tangani.”
Ucapan Anita membuyarkan lamunannya. Seraya mengucek-ucek kedua matanya, Sony memeriksa berkas-berkas yang diajukan oleh staf keuangannya itu. Setelah memastikan semuanya beres, dia langsung membubuhkan tanda tangannya. Gadis berjilbab itu segera memasukkan berkas-berkas tersebut ke dalam map. Tak lupa pula dia membereskan meja Sony yang agak berantakan.
“Bapak, kalau merokok abunya jangan ke mana-mana, dong. Kasihan OB, harus membersihan sampai ke kolong.”
Anita kadang berfungsi seperti sekretaris baginya. Meski Sony punya seorang sekretaris, Sandy namanya. Hanya saja orangnya kurang cekatan. Namun, karena molek luar biasa, banyak klien Sony yang merasa senang dan nyaman dilayaninya, sehingga Belanda Depok itu tetap dipertahankannya. Sebagai pajangan. Sedangkan untuk urusan-urusan penting, selama ini Anitalah yang menanganinya.
Gadis Tionghwa asal Pontianak itu memang pekerja yang handal. Di samping mengurus keuangan, perempuan beranak satu itu juga berfungsi ganda menangani urusan umum. Untuk urusan surat-surat, Sony lebih suka melakukannya sendiri. Tapi dia merasa sangat beruntung memiliki karyawan seperti Anita. Di samping cekatan dan pintar, wanita berkulit putih bersih yang hanya lulusan kursus komputer itu rajin sekali sholatnya. Namun, kadang-kadang sikapnya suka ketus, dan ngomongnya ceplas-ceplos. Tidak apa-apa. Pada dasarnya dia orang yang baik dan sopan, dan lebih penting lagi, bisa dipercaya.
Kepercayaan adalah sesuatu yang tak dapat ditawar, dan tidak boleh diciderai. Apalagi kalau sampai dimanfaatkan untuk tujuan mengelabui. Seperti yang pernah dilakukan pemerintahan Odol Bau di masa lalu. Dengan menyodorkan dalil-dalil yang menyesatkan namun meyakinkan, mereka mengatakan bahwa jumlah penduduk yang banyak akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Sehingga kesejahteraan akan lebih sulit diraih. Karena terlalu banyak mulut yang harus disuapi. Ini benar-benar ngapusi.
Negara melihat anak-anaknya, penduduk yang berjubel itu, sebagai kendala kemakmuran. Manusia dipandang sebagai beban. Padahal negara-negara maju jauh-jauh hari sudah melihat penduduk Indonesia yang jumlahnya banyak sebagai pasar yang menggiurkan. Demikian pula cara pemerintah Cina memandang penduduknya yang berdesak-desakan. Sebuah pasar raksasa yang mampu menggerakkan ekonomi pada gigi delapan. “Wuuuuuus … yang lain, jadi ketinggalan,” kata Komeng.
Di mana pun di dunia ini, ekonomi digerakkan oleh konsumsi. Dan konsumsi pula yang membuat sektor riil terus menggelinding seraya membagi-bagikan daya beli. Sehingga real economy, bukan bubble economy, tanpa perlu disuruh-suruh akan jalan sendiri. Tak perlu khawatir kekurangan beras untuk memberi makan penduduk yang banyaknya seperti tumpukan jerami. Impor saja kekurangannya bila produksi rumput berbulir di dalam negeri belum mencukupi. Juga bisa digalakkan diversifikasi pangan, sehingga tidak melulu tergantung pada butiran padi. Toh, purchasing power akan terbentuk dan menguat sendiri sepanjang sektor riil tidak enggan melangkahkan kaki. Tak akan terjadi busung lapar sepanjang masyarakat memiliki daya beli. Jadi, jangan menganggap mulut-mulut yang mangap itu sebagai sesuatu yang membebani. Sebaliknya, tanpa daya beli, akan sulit untuk mewujudkan ketahanan pangan maupun memasyarakatkan diversifikasi pangan. Tanpa daya beli, yang ada hanyalah keterpaksaan pangan. Terpaksa makan nasi aking. Terpaksa makan singkong. Terpaksa menyantap makanan kadaluarsa. Terpaksa tidak makan.
Namun, banyak orang yang menganggap tugasnya selesai begitu saja setelah mampu membuat perut anaknya kenyang dan memberikan pakaian yang bagus-bagus. Belum, Tuan. Mereka bukan binatang piaraan, yang sekedar butuh makan cukup dan kandang yang bersih. Kertas putih polos itu harus diisi dengan tulisan dan gambar yang baik-baik agar anak nantinya tumbuh menjadi manusia yang berguna bagi keluarga dan masyarakat. Lebih penting lagi, membesarkan anak dengan kasih sayang, karena itulah sumber gizi yang sesungguhnya sangat mereka butuhkan.
Kasih sayang. Memang takarannya tak gampang. Tidak boleh berlebihan dan tidak boleh pula kurang. Tengok saja kebiasaan para orangtua yang memperlakukan bayi dengan extra hati-hati. Tidak seperti orang Barat yang membiarkan bayi merah tengkurap begitu saja. Mereka tidak tega melakukannya. Karena bayi belum kuat mengangkat kepala. Takut kalau-kalau mulut dan hidungnya menempel di kasur dan menutup jalan pernapasan. Bahkan, obat puyer dari dokter harus diminumkan ke anak dengan dicampur gula terlebih dahulu. Biar tidak pahit. Makanya, orang Indonesia tidak suka minum susu tawar. Karena sedari kecil sudah dibiasakan dengan yang manis-manis. Sehingga, kalau ada produsen yang ngotot menjual susu tawar kalengan siap minum di sini, sesungguhnya mereka sedang menyusahkan diri sendiri. Atau, sedang melakukan proses edukasi konsumen? Biar sajalah. Itu urusan mereka. Pasti sudah ada hitung-hitungannya.
Justru Sony belum pernah menemukan produk saus tomat khusus anak. Padahal, kedua anaknya, Rizky dan Salsa, demikian pula anak-anak sebaya mereka, doyan sekali saus tomat. Chicken nugget dan sosis tak akan mereka sentuh bila tidak ada saos tomatnya. Bikin saja Tomato Kidz, misalnya. Saus tomat yang agak manis. Biar mereka tambah lahap makannya. Juga Chili Kidz, yang tidak terlalu pedas. Karena anak senang mencoba-coba makanan orang dewasa. Eh, kebalik. Orang dewasa malahan yang suka iseng makan cemilan anak. Karena rasanya memang enak. Para produsen tahu benar, anak sering kali susah makan. Makanya mereka beramai-ramai memanjakan anak dengan ratusan, bahkan ribuan, jenis cemilan yang menggoda selera.
Tapi Sony selalu berusaha tidak terlalu memanjakan kedua anaknya. Sesekali dia menghukum mereka bila agak bandel. Hal tersebut sama sekali tak membuat anak-anaknya menggaris jarak dengannya. Hanya saja, semenjak masuk TK, Salsa tak pernah mau lagi dikeloni bapaknya. Dia langsung menolak apabila papanya menawarkan diri untuk mengeloninya.
“Papa suka kentut, dan berminyak,” katanya, sambil menunjuk wajah Sony yang mengkilap.
Agak tersinggung dia dibilang seperti itu oleh anaknya sendiri. Tapi, sudahlah. Pasti gadis imut yang gemar ngupil itu tak punya maksud apa-apa. Asal ngomong. Tiada sedikit pun niatan untuk menyinggung perasaan papanya. Namun, bukan Sony namanya kalau tidak menemukan jalan memutar untuk mewujudkan keinginannya. Setiap kali putrinya yang suka tidur ngiler itu terlelap sambil memeluk bantal iler favoritnya, Sony pelan-pelan merebahkan diri di sampingnya. Dia elus-elus keningnya yang ditumbuhi rambut-rambut halus. Dia ciumi rambutnya yang wangi. Dia pegang-pegang hidungnya yang mungil. Dia usap-usap pipinya yang lembut.
Tanpa sadar, Salsa, yang tampaknya sedang bermimpi, memeluknya. Tangannya yang kecil suka usil menggaruk-garuk leher Sony. Mungkin dia mengira sedang dikeloni mamanya. Sony senang-senang saja. Karena mendapatkan bahan untuk meledek putrinya secara telak. “Sa, waktu tidur semalam, kamu peluk-peluk Papa, ya?”
Mendengar ucapan papanya seperti itu, Salsa biasanya malu, langsung ngambek, marah dan kemudian menangis agak lama. Tapi tangisnya akan segera reda begitu Sony mulai menceritakan petilan-petilan kisah dari masa kecilnya kepada putrinya yang luar biasa susah kalau disuruh gosok gigi itu. Bahkan, rasa-rasanya Salsa sudah hapal semua kisah masa kecil Sony. Sering dia merengek-rengek memintanya bercerita. Tak pernah bosan, meskipun cerita itu diulang-ulang, karena Sony sudah banyak lupa akan kenangan masa kecilnya.
Kegemaran Salsa mendengarkan cerita persis sama seperti ketika Sony masih kecil dulu. Dia selalu merengek-rengek kepada ibunya agar mau mendongeng. Kebetulan, ibu Sony memiliki perbendaharaan cerita yang luar biasa. Sebagian besar cerita rakyat, dan sebagian lagi dongeng-dongeng dari Eropa, terutama karangan H.C. Andersen. Namun Sony kecil suka bingung sendiri, karena kalau sedang asyik bercerita, tanpa sadar ibunya sering mencampur-campur bahasa: Jawa, Jepang, Belanda, Inggris dan Indonesia. Salsa selalu mengingatkannya pada kenangan masa kecil. Mereka berdua memiliki banyak kemiripan di usia yang sama. Ngiler kalau tidur. Suka ngompol. Malas gosok gigi. Gemar menyantap cemilan yang gurih-gurih.
Lain lagi Rizky, anak sulungnya. Sepertinya dia asyik bergelut dengan dunianya sendiri. Hobinya mengumpulkan poster mobil balap. Komputer di kamarnya juga penuh dengan gambar-gambar mobil supercepat itu. Makanya, setiap kali ke luar negeri, Sony selalu menyempatkan diri memborong majalah-majalah otomotif untuk putra kesayangannya itu. Dan, anehnya, untuk anak seusianya, Rizky sama sekali tidak tertarik main PS. Dia justru menemukan keasyikan membongkar pasang komputernya. Merakit-rakit sendiri. Tambah hardware ini. Tambah itu. Hingga pernah suatu kali CPU-nya jebol. Terlalu banyak hardware dan pheripheral yang dicangkokkan. Kipas pendingin tak mampu lagi mengusir udara panas dari dalam kotak kaleng tersebut.
Sungguh beruntung anak-anak sekarang. Sony baru mengenal komputer kira-kira di akhir tahun delapan puluhan. Masih pakai disket lebar yang mungkin sudah punah kini. Memory hanya delapan mega. Paling tinggi enam belas mega. Kapasitas harddisk yang terbesar cuma lima ratus empat puluh mega. Game yang paling populer adalah digger.
Dulu, ketika masih seusia Rizky, satu-satunya hiburan Sony adalah buku-buku cerita dan bacaan apa saja. Semenjak kelas lima SD, dia dipercaya oleh gurunya memegang kunci lemari perpustakaan. Mungkin Pak Wakijan bosan karena hampir setiap hari Sony meminjam kunci untuk menukar buku cerita yang sudah selesai dibacanya. Hingga lulus SD, buku-buku cerita selemari penuh habis diganyangnya. Belum lagi bacaan di rumah. Karena keluarganya memang gemar membaca, terutama ibunya. Sony masih ingat, di rumahnya dulu berlangganan beberapa majalah dan koran.
Semasa TK, Sony sangat dimanjakan oleh ayahnya. Ke mana-mana selalu digendong di pundak. Minta apa saja tak pernah ditolak. Kalau tidak dikeloni bapaknya, tidurnya tak pernah nyenyak. Mandi juga bapaknya yang harus bergerak. Memakaikan baju juga bapak. Pendeknya, anak bapak. Menangis pun tak pernah memanggil-manggil ibunya. “Wawa’i … Wawa’i … Wawa’i ….” Tangisan seperti itulah yang dinyanyikan Sony apabila dijahili kakaknya atau sedang dimarahi oleh ibunya. Dia merengek-rengek memanggil bapaknya. Tidak seperti anak kecil pada umumnya, yang selalu memanggil-manggil ibunya bila sedang menangis.
Sony sepenuhnya sadar, tidaklah baik memanjakan anak. Bukan hanya dalam hal perlakuan, tetapi juga benda-benda kesukaan yang sering mereka tuntut untuk dibelikan. Sesekali dia tolak permintaan anaknya apabila barang yang mereka inginkan dianggapnya tidak terlalu penting. Namun, dia melihat banyak juga orangtua yang sangat memanjakan dan overproteksi kepada anak. Sony percaya, kebiasaan seperti ini menjadikan anak kurang mandiri. Mereka jadi manja. Sedikit-sedikit minta tolong. Maunya ketemu yang enak-enak melulu. Ingin apa-apa main suruh. Tak mau susah. Sehingga apabila suatu saat nanti harus ketemu dengan kenyataan hidup yang pahit, mereka tidak siap menghadapinya, bahkan cenderung lari menghindar, karena sejak kecil selalu dilindungi secara berlebihan. Tentu, tak seorang pun yang ingin menciptakan generasi manja seperti ini.
Namun, tidak semua anak beruntung mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari orangtuanya. Apalagi dimanjakan oleh bapak-ibunya. Banyak juga anak yang tak pernah mengenal orangtua kandungnya. Tidak pula merasakan kasih sayang mereka. Semenjak bayi sudah dijual dengan alasan ekonomi. Sebagian lagi melego murah bayinya akibat hamil tanpa suami. Masih untung bila dijual kepada keluarga yang sudah lama merindukan kehadiran bayi. Karena banyak juga orok yang dikirim ke luar negeri. Berakhir tragis di meja operasi. Organ-organ dalamnya dipereteli. Untuk kepentingan transplantasi. Agar anak-anak di negara-negara kaya sehat kembali. Sehingga orangtuanya kembali tersenyum dengan wajah berseri-seri.
Lebih menyedihkan lagi, belakangan ini tindak kekerasan terhadap anak terjadi hampir setiap hari. Kasus Arie Hanggara yang sempat bikin geger Indonesia di era delapan puluhan, tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan keadaan yang berlaku sekarang. Berita-berita mengenai tindak kekerasan terhadap anak yang ramai menghiasi layar kaca hanyalah sebuah puncak gunung es. Tekanan ekonomi menjadikan orang gelap mata. Tak hanya orangtua tiri atau orangtua angkat, orangtua kandung pun ikut-ikutan menyiksa anaknya. Rasa-rasanya, OST filem Ratapan Anak Tiri yang pernah menguras habis air mata penonton Indonesia pada tahun tujuh puluhan itu sudah waktunya direvisi liriknya. Karena dibesarkan sendiri oleh orangtua kandung tak lagi menjadi jaminan seorang anak akan bebas dari siksa.
Meski perlindungan anak sudah diatur oleh Undang-Undang, dan sudah pula dibentuk Komnas Perlindungan Anak, tindak kekerasan terhadap anak masih sering terjadi. Modusnya tak banyak berubah. Dipukul tanpa alasan, dikurung di kamar mandi, tidak dikasih makan, disundut dengan api rokok, dan sejenisnya. Pelakunya itu-itu juga. Bahkan sekarang berkembang menjangkiti orangtua sedarah. Korban terus berjatuhan. Mulai dari yang tinggal tulang berbalut kulit, luka dan memar di sekujur tubuh, hingga yang mati dan dikubur di bawah lemari. Liputan media hanya mampu membangkitkan rasa iba dan simpati. Efek jerah tidak bekerja maksimal. Karena para pelaku tidak diganjar dengan hukuman setimpal. Mereka sekedar dianggap sebagai kriminal.
Tak hanya manusia, hewan juga ikut-ikutan melakukan tindak kekerasan terhadap anak. Seorang gadis kecil menjerit-jerit kesakitan karena wajahnya dicakar monyet jinak. Untung ada orang lewat. Ditendangnya monyet itu sekeras-kerasnya hingga mencelat. Sepertinya monyet itu sangat kesakitan. Langsung ngibrit memanjat pohon rambutan. Gadis mungil bernama Chusnul Chotimah itu berhasil diselamatkan. Penduduk segera berkerumun seperti orang-orang yang sedang arisan. Segera distop seorang pengendara motor yang lewat. Dipangku bapaknya, Chusnul dilarikan ke rumah sakit untuk dirawat. Untung lukanya tak terlalu berat. Hanya beberapa goresan kuku tajam di pipi dan keningnya. Tak ada bekas gigitan di badannya.
Beberapa orang melempari monyet bengal itu dengan batu. Semakin ketakutan, monyet tersebut naik ke puncak pohon dengan tatapan mata kaku. Dua orang polisi yang berboncengan motor kebetulan lewat, dan langsung berhenti melihat keramaian itu. Kedua polisi tersebut mencoba meredakan amarah penduduk yang bergerombol di sana. Mereka menurut, tapi menuntut monyet sialan itu ditangkap, agar tidak jatuh korban lagi nantinya.
Polisi yang masih muda-muda itu kebingungan dibuatnya. Tidak mungkin menembak munyuk nakal itu. Mereka tak bawa pestol. Lantas, bagaimana mungkin menangkap monyet yang nongkrong ketakutan di pucuk pohon yang tinggi? Lagian, sesuai prosedur, pelaku kejahatan yang sudah menyerah tak boleh disakiti. Tapi beberapa anak muda menghampiri mereka. Memberikan sebuah saran sambil ketawa-ketawa. Anehnya, ide gila tersebut langsung disetujui semua orang.
Rupanya, monyet ugal-ugalan ini gemar menenggak bir. Awalnya tidak sengaja, mungkin juga iseng tanpa dipikir. Singgir, nama monyet peliharaan Pak Hadiri itu, memang sering dibiarkan berkeliaran bebas. Di dalam kemerdekaan tanpa tanggung jawab itu, Singgir suka mengais sisa-sisa bir dari botol-botol yang dibiarkan berserakan oleh pemuda-pemuda pengangguran yang pada teler. Monyet berandalan tersebut kayaknya sangat menikmati minuman beralkohol yang memabukkan itu, dan kadang-kadang ikut teler bersama mereka. Pernah sekali Singgir diberi sebotol besar bir yang masih utuh. Baru dibuka tutupnya, bukan sisa. Gila. Satu botol ditenggak habis. Singgir sempoyongan. Kemudian rebahan di perut Sigit yang sudah terkapar duluan.
Dari sinilah ide itu muncul. Segera dibeli sebotol bir sebagai umpan buat si gundul. Begitu tutup botol dibuka, Singgir langsung bereaksi. Pada awalnya kelihatan ragu sekali. Mungkin masih takut-takut, karena ada banyak orang di sana. Namun aroma cairan memabukkan itu begitu menggoda. Hasratnya sudah tidak bisa dibendung lagi. Dengan langkah ringan khas monyet, Singgir turun dari pohon tanpa perlu tali. Dia abaikan kerumunan manusia di sekitarnya. Diraihnya botol yang penuh minuman berbusa. Diangkat dengan kedua tangannya yang kecil dan kemudian ditenggak habis dalam sekejap. Tak berapa lama reaksi itu mulai menyergap. Singgir langsung rebahan, tengkurap. Teler. Polisi dengan mudah menangkapnya. Kemudian memborgol tangan kecilnya dengan borgol mini yang biasa digunakan untuk memborgol penjahat pada kedua ibu jari.
Sony salut dengan tindakan tegas polisi. Jangankan manusia, hewan yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak pun akan diuber hingga ke pucuk pohon yang tinggi. Ini penting, agar menjadi peringatan yang tegas bagi hewan-hewan lainnya. Jangan coba-coba. Kalau tak mau celaka. Singgir kemudian dibawa ke Kantor Polisi untuk diinterogasi. Sudah disiapkan pasal-pasal tuduhan terhadap monyet ini.
Tapi masalahnya tak berhenti di sini. Pak Hadiri yang baru pulang dari pasar diberitahu bahwa Singgir ditangkap polisi. Dengan menumpang ojek, dia bergegas pergi ke Kantor Polisi. Pria berjambul itu murka besar. Menuduh polisi telah berlaku kasar. Menyakiti anak angkat kesayangannya yang berkandang di balik pagar.
“Saya akan tuntut Kapolres. Ini namanya penculikan.”
Penculikan? Benar. Penculikan anak kian menjadi-jadi. Ini kejahatan yang luar biasa keji. Manusia-manusia pengecut melakukan teror berganda. Beraninya cuma ngumpet sambil mengancam orang-orang tak berdaya. Menuntut tebusanan bagi kebebasan sandera. Bukan hanya membahayakan jiwa anak, orangtua pun menjadi korban teror perasaan dan pikiran. Ditambah lagi dengan trauma psikologis pasca-penculikan, sesungguhnya mereka melakukan kejahatan yang berkelipatan. Karena itu, pelaku penculikan pantas diganjar dengan hukuman mati. Biar mereka tahu diri.
Anak terlambat pulang sekolah saja, orangtua kebingungan setengah mati. Apalagi kalau sampai harus terpisah dalam hitungan hari. Seraya menunggu kabar yang serba tidak pasti. Sony tak mampu membayangkan bagaimana orangtua korban penculikan dilanda kegalauan hati. Bukan hanya stres, mereka pasti sangat tersiksa membayangkan anaknya berada di tangan penculik tak berbudi. Apa sudah dikasih makan? Apakah sakit atau sehat? Apakah tidak dianiaya? Apa diperlakukan dengan baik? Orang akan lebih tabah menghadapi kenyataan bahwa anaknya sudah meninggal daripada membayangkan, apalagi menyaksikan, anaknya tersiksa. Tego patine, gak tego larane.
Polisi terlalu lunak dalam menangani pelaku kejahatan keji ini. Begitu tertangkap, mestinya tak perlu langsung dibawa ke Kantor Polisi. Harus diberi pelajaran biar mengerti. Tembak saja di bagian kaki. Beri hadiah bogem mentah di dahi. Kalau perlu dipaksa makan tahi. Atau, disuruh minum kencingnya sendiri. Agar menjadi pesan yang jelas bagi siapa saja yang coba-coba melakukan kejahatan seperti ini. Tak masalah pula bila ditembak mati. Masyarakat tak akan protes sama sekali. Bilang saja, ketika akan ditangkap, mereka melawan aparat. Mencoba lari sambil melompat-lompat. Mau ditembak kakinya ternyata kena jidat. Dor dinak mate’ disa, kata orang Madura. Dor di sini yang mati di sana.
Wahai … para pengacara, jangan sekali-kali membela penjahat jenis ini. Percuma, buang-buang energi. Mereka tak punya uang barang selembar. Karena tertangkap, tebusan tak terbayar. Biar saja bengong sendiri di balik jeruji kamar. Karena sudah bikin malu keluarga dan pacar. Besok pagi mereka akan dicecar. Dengan pertanyaan-pertanyaan tajam yang mengakar. Kalaupun mereka tetap harus didampingi pembela, carikan saja pengacara yang paling blo’on se-Indonesia. Dan pilih hakim yang paling galak sedunia.
Pak Jaksa …, tuntut mereka dengan tuduhan berlapis. Sehingga tak mampu lagi menepis. Sekalipun memohon belas dengan menangis. Hukuman mati tetap harus ditulis. Protes dari mana saja tak perlu digubris.
Di bawah siraman hujan gerimis. Regu tembak itu berbaris. Senapan sudah terisi mimis. Kelima penculik berdiri berjajar membentuk garis. Tanda silang kuning digambar di pelipis. Salah seorang pesakitan ketakutan hingga pipis. Komandan regu tembak cuma menatapnya sambil meringis. Dia memalingkan muka. Kemudian membuang ludah. Raja Algojo sudah siaga. Memberi aba-aba dengan suaranya yang gagah. “Sekali tembak langsung lima,” ujarnya, memberi perintah.
Pak Komandan …, tunggu …! Jangan ditembak dulu. Ganti pelurunya dengan ulat bulu. Biar badan mereka gatal dan garuk-garuk melulu. Maka para penculik itu pun mati secara perlahan dengan sekujur tubuh bengkak-bengkak.
“Kenapa mukamu bengkak?” Bu Purnama terkejut melihat pelipis kiri Tiara lebam dan memar. Sepiring nasi goreng dan susu cokelat di nampan itu pun tumpah memenuhi lantai kamar. Dia sedang membawakan makanan untuk anak semata wayangnya yang sedang di-grounded karena ketahuan pakai narkoba. Ayahnya, Pak Djamin, menemukan bubuk putih di lipatan kertas bernoda. Bungkusan kecil itu terjatuh tanpa sengaja. Dari kantong telpon seluler anaknya yang tergeletak di meja. Dia shock. Marah. Dan langsung mengambil tindakan tegas. Tiara harus dikurung di dalam rumah selama dua minggu. Siapa pun tak boleh ketemu. Sekolah bolos dulu. Ini soal tergolong gawat.
Rupanya Tiara membentur-benturkan jidatnya ke tembok. Karena sudah tidak tahan lagi dikurung di kamar bergembok. Sakau. Atau, pura-pura sakau. Badannya menggigil. Gemetaran karena sudah dua hari tak mau makan maupun ngemil. Mukanya pucat pasi seperti lontong. Tatapan matanya kosong. Punggungnya bersandar di dipan. Kedua kakinya berselonjor begitu saja di lantai papan. Naluri seorang ibu melihat keadaan anaknya seperti itu pasti langsung bangkit. Tak tega rasanya melihat putri kesayangannya terlihat sakit. Dengan panik dan setengah menangis Bu Purnama langsung menelepon suaminya. “Pak, bagaimana ini? Tiara memukul-mukulkan kepalanya ke dinding. Bisa mati anak kita.”
Tetangga depan rumah Sony itu bergegas pulang dari kantornya. Was-was juga hatinya. Tapi Pak Djamin tetap pada keputusannya. Tiara harus tetap dikurung di kamarnya. Kemarin, Mas Darman, sepupunya yang dokter tentara itu, menyempatkan diri mampir ke rumahnya. Memeriksa Tiara. “Tidak apa-apa. Belum kecanduan. Masih coba-coba. Tindakan Dik Djamin sudah tepat. Kurung saja untuk sementara. Awasi pergaulannya. Jangan sampai kumpul lagi sama teman-temannya yang pengguna. Kalau masih macam-macam, dicambuk saja. Tidak akan mati. Demi kebaikan dia sendiri,” ujar Mas Darman.
Sony setuju belaka. Sesekali anak perlu dikerasin. Dipukul bokongnya. Biar tidak ngelunjak. Para guru sah-sah saja menjewer atau, kalau perlu, menempeleng murid yang kenakalannya sudah keterlaluan. Asal jangan keras-keras, Pak. Ini sama sekali bukan kekerasan dalam dunia pendidikan, seperti yang sering digembar-gemborkan oleh media, sehingga murid-murid bengal semakin mendapatkan angin. Ngawur itu. Itu merupakan upaya menegakkan kedisiplinan untuk menyelamatkan mereka.
Emangnya, kalian, para orangtua, mau anak pulang sekolah digotong orang karena ada belati menancap di punggungnya. Mulut monyong dan gigi rontok akibat dihajar dengan gir dalam ajang tawuran. Nyawa melayang karena perutnya disabet pedang dalam duel keroyokan. Tangan jadi buntung karena menghadang kelewang. Ini soal yang lebih gawat. Yang lebih membutuhkan perhatian kita semua para orangtua, termasuk pemerintah dan media.
Begitu pula dalam soal narkoba. Baik pengguna, pengedar, bandar maupun produsen, semuanya sama-sama kriminal. Hanya saja, derajat kejahatannya beda-beda. Pengguna narkoba tidak perlu ditempatkan sebagai korban. Keenakan mereka. Lha wong dia sudah merasakan “enaknya” surga khayal. Mereka sadar kok, ketika melakukan kebodohan itu, dan, melanggar hukum. Salahnya sendiri. Rasain.
Termasuk Tiara, tetangga depan rumah Soni itu. Dengan cecaran pertanyaan dari kedua orangtuanya, gadis kelas dua SMU yang suka mengajak Salsa main boneka tersebut akhirnya mengaku sudah hampir sebulan jadi pengguna. Pertama dikasih teman nongkrongnya. Selanjutnya beli sendiri, dengan menjual kalung emas hadiah ulang tahun dari ibunya. Asalnya coba-coba. Lama-lama ketagihan pula.
Sony jadi teringat Hamdun, teman SMA-nya dulu. Remaja kerempeng itu dipukuli oleh ayahnya pakai rotan hingga masuk rumah sakit. Gara-garanya, ketahuan mengisap ganja meski hanya sedikit. “Mending saya pukuli sendiri. Daripada digebuki polisi. Mau mati?” kata Pak Rohman, kepada teman-teman sekolah yang sedang membesuk putranya. Sepertinya dia ingin memberi tahu, sekaligus mengancam, teman-teman anaknya. Meski berbicara dengan nada marah, tetap terlihat gurat penyesalan di wajahnya. Tangannya telah lepas kendali. Memukuli anak sulungnya hingga hampir mati. Mondok seminggu di rumah sakit Bhayangkari.
Tiara kembali ceria. Sudah tak mau lagi pakai narkoba. Dikasih gratisan dia tolak mentah-mentah. Dengan marah-marah. Malahan, dia maki habis Henny. Karena mencoba mengajaknya kembali melayang ke alam khayal yang tak bertepi. “Bubuk setan. Bikin aku bertingkah seperti hewan. Begitu bodohnya menggadaikan masa depan. Biar disangka jagoan. Padahal cuma jadi pecundang. Tangan digadang-gadang. Diseret masuk ke dalam kandang.” Mau?
“Mau. Mau sekali, Pa.”
Rizky tampak kegirangan. Sony memberikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai hadiah bagi anaknya yang baru saja dikhitan. Bukan barang atau uang. Kebiasaan bagus ini mulai disosialisasikan secara luas semenjak awal tahun dua ribu oleh Yayasan Kado Anak Muslim, disingkat Yakamus. Sony pernah menghadiri acara peringatan milad yayasan itu di Hotel Indonesia. Didirikan dan sekaligus dimotori oleh Pak Achmad Subianto, mantan Direktur Utama PT TASPEN yang juga Ketua Baznas itu, organisasi nirlaba tersebut mengajak para orangtua untuk membekali anak-anak mereka yang sudah memasuki masa inisiasi kedewasaan dengan dua tuntunan utama bagi umat muslim, Al-Qur’an dan Hadits. Persis sama seperti yang dilakukan umat nasrani. Kepada remaja-remaja yang dibaptis diberikan Kitab Injil sebagai bekal mereka mengarungi kehidupan.
Sebagai orangtua, Sony merasa sangat risau dan khawatir melihat begitu bebasnya pergaulan para remaja di kota metropolitan Jakarta. Dia tak ingin anak-anaknya terjerumus ke dalam pergaulan yang salah. Dia sangat menyayangi Rizky dan Salsa, kedua buah hatinya itu. Begitu besar harapan yang dia gantungkan kepada mereka. “Rizky, Salsa,” demikian yang selalu dia mohonkan dalam setiap doanya, “Papa dan Mama ingin kalian menjadi orang yang baik bila sudah besar nanti.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar