Sabtu, 27 Desember 2008

3. Pacar

“Tangkaplah aku. Dan penjarakan aku dalam hatimu,” kata penyair. Semua orang pasti sepakat, cinta adalah sesuatu yang menyihir. Mengubah wajah dunia. Memicu perang antarbangsa. Menggabungkan dua negara. Mempersatukan anak manusia. Dalam gelora asmara. Dan gairah menyala-nyala. Tapi cinta punya mata. Dan ia sama sekali tak buta. Hanya saja, memang luar biasa. Karena, love is a many splendoured thing. Meski tak harus saling memiliki, tambah Ebiet G. Ade, dengan iringan dawai gitar yang berdenting. Pokoknya susah diperikan. Bahagia. Senang. Gembira. Cemburu. Sedih. Marah. Susah tidur. Tak enak makan. Senyum-senyum sendiri. Patah hati. Bunuh diri. Jangan.
“Mana sikat cuci. Masukkan saja. Biar bersih sekalian,” Dokter Budi berteriak dengan suara yang dikeras-keraskan, sambil ketawa-tawa. Namun demikian, dokter yang ganteng lagi ramah itu tetap tidak kehilangan keseriusannya. Dibantu dua orang suster berseragam putih-putih, dia segera memberikan pertolongan pertama kepada pasien yang terus meronta.
Sony bertanya-tanya. Tak mengerti maksud ucapan dokter yang bernada canda. Ketika itu, bersama dua orang teman kosnya, Sony membawa Hengky ke rumah sakit. Kejang-kejang karena minum segelas air dicampur deterjen, ditambah gula sedikit. Ini bukan kali pertama. Empat bulan sebelumnya dia melakukan hal yang sama. Dokter Budi pula yang menolongnya.
Pacarnya minta putus. Hengky stres, serasa mau mampus. Asanya sudah pupus. Seperti orang linglung. Dua hari di kamar hanya berkurung. Anak mama ini akhirnya mengambil jalan pintas. Cuma akal-akalan agar mendapat perhatian dari pacarnya yang menyusul dengan langkah bergegas. Seperti anak kecil yang menangis berguling-guling, melakukan segala cara. Mencoba mempertahankan mainan yang hendak direnggut darinya. Sony tahu itu, dan maklum adanya. Tapi tak mungkin membiarkan teman kos mati dengan lambung yang putih bersih.
Sony sebenarnya tidak habis pikir. Apa sih, yang kurang? Hengky cowok yang moncer. Duitnya bercecer-cecer. Otaknya tergolong encer. Badannya terbilang tokcer. Kesukaannya makan ceker. Dengan nasi panas berteman sayur genjer. Ditambah ikan mujaer. Ditemani sepuluh cabe rawit yang berjejer. Minumnya seember. Sehingga dia sering boker.
Hengky … Hengky …. Apa lagi yang kurang sip? Pergi pulang ke kampus pakai mobil jip. Zaman segitu, mahasiswa yang bermobil bisa dihitung dengan jari. Pendeknya, hidup bagaikan gulali. Dengan segala limpahan kasih sayang yang dicurahkan kedua orangtuanya. Mereka bahkan cenderung memanjakannya. Sebulan sekali datang menyambangi anaknya. Membawa makanan dan kue kenari. Tak habis diganyang semua anak kos dalam tiga hari.
Banyak cewek naksir Hengky. Mengejarnya kesana-kemari. Tapi Hengky malah sembunyi dan lari. Menolak mentah-mentah rezeki yang datang menghampiri. Dia bilang cintanya hanya untuk seorang, Indira. Meski bukan pacar pertama, dan bukan pula cinta pertama, Indira segala-galanya baginya. Padahal, setahu Sony, Indira bukalah tipe cewek impian. Kulitnya agak legam, tapi wajahnya memang manis seperti mut-mutan. Orang bilang sifatnya keibuan. Ramah dan penuh perhatian. Apa gerangan, yang membuat Hengky begitu tergila-gila kepada Indira? Itulah cinta. Tak perlu harus begini, harus begitu. Kalau sudah cinta, ya suka begitu saja.
Namanya juga cinta. Kalau perlu tetangga sendiri dipacari. Nggopek we, tonggo dipek dewe. Itulah cinta monyet Sony, yang mulai kenal pacaran semenjak SMP kelas dua. Sebelumnya, sewaktu kelas satu, dia naksir berat sama Renata. Teman sekelasnya. Pada saat jam pelajaran Sony sering mencuri-curi pandang ke arahnya. Mata berbalas mata. Gadis yang suka menyematkan pita di rambutnya itu juga suka melirik-lirik dirinya. Sony mengiriminya surat cinta. Ditulis di secarik kertas kecil berwarna merah muda. Mengungkapkan perasaannya. Cinta berjawab, tapi berupa tanda tanya. Sony salah sangka. Ternyata selama ini dara cantik berkulit pualam itu melirik ke arah Wildan, teman sebangkunya. Meski malu karena ke-GR-an, Sony tak putus asa. Dia mulai menebar pandangan untuk menembak sasaran berikutnya.
Dapat juga. Nana. Teman sekolah sekaligus tetangga. Sekelas lagi, di IIA. Tempat tinggal mereka hanya berselang beberapa rumah. Kisah asmara bawang itu bermula di perpustakaan sekolah. Setiap jam istirahat, Sony selalu melihat gadis pendiam itu mojok membaca majalah. Sekali dua kali dia mengabaikannya. Kadang menyapanya. Toh, mereka sudah saling kenal sejak SD kelas tiga. Nana, murid baru ketika itu, pindahan dari Surabaya.
Kini, mereka sudah menginjak remaja. Sama-sama sedang mencari cinta. Karena sering bertemu, lama-lama tumbuh rasa tertarik di hati Sony terhadapnya. Tresno jalaran soko kulino. Ternyata Nana orang yang enak diajak bicara. Dia suka memasak. Sama seperti Sony. Dan, lebih gila lagi, Nana berterus terang kepadanya, bahwa dia sudah naksir Sony sejak SD kelas lima.
Mereka pun pacaran. Belajar bersama. Masak bareng. Kadang di rumah Nana, dan sering pula di rumah Sony. Nana juga pernah menjadikan Sony kelinci percobaan potong rambut. Hasilnya kacau. Sehingga harus pergi ke tukang cukur untuk merapikannya. Melihat sepasang kekasih belia itu sering pergi ke mana-mana barengan, para tetangga pada meledek, “Nggopek we, tonggo dipek dewe.”
Sebenarnya Sony malu diledek seperti itu, tapi dia berusaha mengabaikan mereka. Pernah sekali Nana mencium pipinya. Tapi Sony tidak merasakan apa-apa. Biasa-biasa saja. Jantungnya tidak berdebar-debar. Demikian pula, pada waktu semua murid di sekolahnya digiring ke gedung bioskop untuk menonton filem Giok yang dibintangi Rano Karno. Rupanya filem yang berkisah tentang percintaan antar-etnis itu cukup mempengaruhi Nana yang duduk di sampingnya. Nana menempelkan kepalanya ke lengannya. Heran, Sony juga tidak merasakan apa-apa.
Nana punya seorang sahabat. Larasati namanya. Cantik bagaikan bidadari. Rambutnya panjang tergerai. Bila menoleh, rambutnya yang lurus juga ikut menoleh. Indah sekali. Sony selalu terbayang-bayang wajah Larasati. Siang dan malam. Tapi dia berusaha menutupi perasaannya itu. Meski mereka sering pergi bertiga. Takut Nana cemburu. Dan, Larasati pasti juga tidak mau didekati oleh pacar sahabatnya.
Seperti Raja Minyak saja, ke mana-mana Sony diapit dua dara yang cantik-cantik. Agar sama-sama enak, dalam khayalnya Sony sering membayangkan terlibat cinta segitiga yang tidak sama kaki. Karena dia lebih condong ke Larasati. Meski tak mungkin menyatakan cintanya, Sony senang karena sering berada di dekat gadis impiannya.
Cinta monyet itu menguap begitu saja setelah mereka lulus SMP. Sony masuk SMA II. Nana diterima di SMA I. Sedangkan Larasati, seperti halnya bapak-ibunya, dan juga semua kakaknya, masuk SPG.
Setiap pulang kampung Sony selalu menyempatkan diri mampir ke rumah Nana. Anaknya tiga. Perempuan semua. Suaminya terlihat agak cemburu. Tapi Sony pura-pura tidak tahu. Toh, tak ada sedikitpun niatan untuk membawa lari istrinya. Hanya bernostalgia. Sambil tertawa-tawa. Nana memberi tahu Sony bahwa Larasati, yang sekarang sudah berubah menjadi ibu-ibu gendut, tinggal di Banyuwangi. Mengikuti suaminya yang bekerja di sana.
“Bagaimana rambutnya?” tanya Sony.
“Dipotong pendek,” sahut Nana.
Sony kecewa.
Tak terhitung tembang yang dilantunkan untuk merayakan cinta, juga meratapi cinta. Ditulis buku dengan beratus-ratus halaman. Filem berdurasi hingga empat jam. Puisi sependek kuku. Lukisan yang mengharu biru. Karangan bunga. Sebatang cokelat. Dan permen warna-warni.
Cinta adalah segalanya. Cinta adalah darah yang mengalir deras. Mengisi relung-relung jiwa. Menjadikan hidup bermakna. Karena dikasihi, dan mengasihi. Manusia tanpa cinta, tak ubahnya seperti roti tawar tanpa mentega. Hambar. The power of love telah menegakkan Taj Mahal dan Candi Sewu. Anthony dan Cleopatra urung berperang karena saling jatuh cinta. Romeo dan Yuliet menyatu di dalam kubur membawa cinta abadi mereka.
“Cinta adalah kenangan. Rasanya tak mudah dilupakan.” Malyda menyanyikan lagu ciptaan Deddy Dhukun itu dengan penuh penghayatan. Membawa pendengarnya larut dalam khayalan. Karena tak ada sesuatu pun di dunia ini yang mampu menghapuskan kenangan indahnya cinta. Apalagi cinta pertama. First love will never die. Bikin orang mabuk kepayang. Dalam sekejap rasa lapar hilang. Seperti habis makan sepuluh tusuk sate kambing setengah matang. Mimpin indah selalu datang. Bila malam menjelang. Wajahnya selalu terbayang. Kedua mata tak mau menutup hingga terpaksa begadang. Pikiran melayang-layang. Siang hari bikin ancang-ancang. Sabtu malam wajib jalan-jalan, meski harus ngutang. Berangkat petang. Menjelang tengah malam baru pulang. Berjalan sambil melamun hingga terperosok ke dalam lobang. Kepala langsung berkunang-kunang.
Cinta. Pacar. Cinta. Pacar. Cinta. Pacar. Sudah hampir dua jam Bethany berdiri di depan kaca. Mematut diri membetulkan letak kacamata. Seseorang yang sangat istimewa berjanji akan datang ke rumah kosnya. Setelah sekian lama dia impi-impikan kehadirannya. Malam ini harus tampil habis-habisan. Tak boleh pas-pasan. Harus kelihatan cantik dan menawan. Menjelma menjadi bidadari nan rupawan. Melangkah dengan diiringi gumpalan-gumpalan awan. Menyambut pangeran yang akan bertandang. Karena tadi siang, seorang teman memberikan secarik kertas yang terlipat rapi kepadanya. “Dari Sony,” kata Candra. Bethany tak langsung membukanya. Dia masukkan surat itu ke dalam tas, dan bergegas pulang. Dengan motor bebek Suzuki.
Hatinya berbunga-bunga membaca surat Sony. Serasa tak percaya memandangi selembar kertas yang ada di tangannya. Meski tulisan yang menempel di sobekan buku itu cakar ayam dan agak susah dibaca, baginya tak ubahnya selarik puisi cinta yang ditulis dengan tinta emas. Dengan titik dan koma terbuat dari platina. Di matanya, huruf-huruf itu seperti serumpun bunga mawar merah muda di atas kanvas. Membentuk kalimat-kalimat indah yang membuat persendian kakinya terasa mau lepas. Apalagi di dalam surat tersebut Sony bilang kalau dia suka sekali dengan rambutnya yang panjang dikepang dua. Melayang-layang rasanya, dipuji seperti itu. Seperti terbang ke atas awan. Dia pegang erat surat itu. Ditempelkannya ke dada. Diciuminya. Kemudian disimpan di bawah bantal.
Sony yang selama ini dikenalnya pendiam ternyata menaruh perhatian kepadanya, dan berani berkirim surat pula. Sudah lama sebenarnya dia memperhatikan cowok berbadan tegap yang tak pernah lepas dari rokoknya itu. Mencuri-curi pandang dari balik sapu tangan. Sesekali mereka saling berpapasan. Keduanya tak berani beradu tatapan. Dia demen banget dengan cowok pemalu itu. Tapi tak berani mendekat maju. Walaupun dorongan yang menggebu-nggebu di dadanya terus mengganggu. Dia lebih memilih menunggu. Takut bertepuk sebelah tangan. Soalnya Sony suka pergi begitu saja kalau disamperin cewek.
Kini Sony telah berada di hadapannya. Gagah sekali. Dalam balutan baju kotak-kotak dan celana biru. Eh, lupa. Baju biru, celana kotak-kotak? Sudahlah, tak penting itu.
“Halo, Son,” sapa putri Solo itu dengan manja.
Sony tak menjawab. Diam saja. Hanya tersenyum. Ya Tuhan. Senyum itu. Seperti menembus dadanya. Menyebar ke seluruh pembuluh darah, kemudian menggumpal di ubun-ubunnya. Kacamatanya hampir jatuh. Lidahnya keluh. Tapi Bethany segera menguasai diri, karena semenjak sore tadi sudah dibekali dengan tips menghadapi kencan pertama oleh kakak perempuannya. Berhasil. Dia tak kikuk lagi.
Bahagia sekali rasanya bisa mengobrol dan duduk bareng bersama cowok pujaannya. Sampai lupa makan. Dia baru tersadar kalau belum kemasukan apa-apa sedari siang. Setelah perutnya bernyanyi riang. Pada saat Sony pamit pulang.
Selanjutnya hari-hari Bethany lebih banyak dihabiskan di depan cermin. Membubuhkan bedak ke pipi. Membajak bulu mata. Mengukir alis. Melukis bibir dengan lipstik. Dan merapikan rambutnya yang panjang dikepang dua. Rambut pembawa keberuntungan, pikirnya.
Dia teringat peristiwa belasan tahun lalu, ketika masih SD kelas tiga. Bethany mengalahkan Denok secara telak dalam merebut perhatian Purnomo, teman sekelas sekaligus tetangga mereka yang sama-sama tinggal di perumahan pabrik gula. Purnomo yang berkaca mata minus tiga dan berwajah imut itu suka sekali memegang-megang kuncir rambut Bethany. Bahkan mereka sempat menikah. Denok memberinya kado serutan pensil. Farida membawa kembang sepatu. Peni menyiapkan kue tart yang terbuat dari gabus. Sedangkan Eko berlagak jadi jurufoto. Dengan jemari yang disilangkan di depan wajah, Eko berjalan mundur sambil menirukan bunyi kilatan lampu blitz. “Plas.”
Bethany tersadar dari lamunannya. Dia tersenyum sendiri. Senang rasanya kembali berenang ke masa kecil. Masa-masa yang indah. Penuh canda tawa. Kenangan yang tak akan pernah terlupa. Meski cinta monyet itu harus berakhir duka. Karena empat bulan kemudian Purnomo ngotot menceraikannya. Dia ingin menikahi Farida.
Kini cinta kembali menghampirinya. Setelah vakum sekian lama. Derita sudah berakhir baginya. Tak akan ada lagi malam Minggu yang sepi seperti masa-masa SMP dan SMA yang terlewatkan begitu saja. Tanpa ada cowok yang mengelus-elus rambutnya yang dikepang dua. Selamat tinggal kesendirian dan nestapa. Terima kasih cinta.
Ya ampun. Hampir lupa. Ini malam Minggu. Mereka janjian akan pergi ke bioskop. Ada filem bagus, Witness, dibintangi Harrison Ford. Sebetulnya bukan filemnya yang ingin dia tonton. Memeluk erat lengan pacarnya itu sambil duduk di kegelapan memberinya perasaan bahagia. Seolah dunia berhenti berputar. Jantungnya berdebar-debar. Tapi tahi cicak yang jatuh tepat di keningnya membuat lamunannya buyar. Kentir, pikirnya.
Sambil menunggu Sony datang, Bethany tetap tak beranjak dari depan kaca. Dia periksa sekali lagi detil-detil riasan di wajahnya. Cermin itu seolah seorang konsultan kecantikan yang terus memberinya aba-aba. Bagian-bagian mana saja yang harus diusap ulang dengan bedak agar merata. Beautician gepeng tersebut tak pernah lelah mengomentari penampilannya. Sudah sempurna. Perfect.
Sesungguhnya, untuk siapa kita mematut diri di depan cermin? Berdandan? Bersolek mempercantik diri. Berjam-jam memandangi wajah dengan tangan menari-nari. Putar kanan putar kiri. Endus sana endus sini. Memastikan semuanya sudah wangi. Tak ada lagi bau kecut, karena parfum Bvlgari sudah menyembur ketek tiga kali. Buat apa? Untuk siapa?
“Biar cakep, sehingga cowok-cowok pada ngerubutin kita,” jawab Sasa dengan nada centil sambil melambaikan tangannya. Pinggulnya selalu berombak bila sedang berjalan.
“Biar cewek-cewek pada hanyut mencium aroma jantan dari tubuh kita,” sahut Tommy yang bertubuh atletis itu dengan penuh percaya diri.
Bahkan, sebuah iklan parfum berani sesumbar, “Bikin cewek jadi gokil.”
Benarkah manusia tampil gaya untuk orang lain? Sony malah berpikir sebaliknya. Untuk diri sendiri. Mau bukti? Perhatikan Somad, maling kambing yang belum pernah tertangkap itu. Setiap kali mau beraksi, dia selalu menyempatkan diri bercermin di depan kaca di rumahnya yang pengap. Padahal tak sedikit pun dia berencana ketemu orang, kecuali kalau ingin tertangkap. Rambutnya tetap disisir rapi. Pengharum ketek menghembuskan nafasnya lima kali. Tusuk gigi menggali-nggali. Dan kumisnya rapi jali. Belum pernah sekalipun tetangga Sony di kampung halaman itu pergi beroperasi dengan rambut awut-awutan, apalagi tanpa mandi.
Maling kambing juga pacaran. Demikian pula penjual petasan. Karena cinta akan menghampiri setiap insan. Tak peduli miskin atau kaya. Tak pandang muda atau tua. Puber pertama maupun puber kedua. Pria atau wanita. Bahkan gay dan lesbian.
Mereka memiliki hak yang sama. Untuk menerima cinta dan mempersembahkan cinta. Untuk mencintai dan dicintai. Untuk merasakan cinta. Untuk memahami makna cinta. Untuk menikmati indahnya cinta. Untuk berpacaran. Sebab cinta yang paling membahagiakan adalah pada saat pacaran. Setelah menikah, kata orang, api cinta akan meredup secara pelahan. Karena cinta harus dibagi dengan anak dan keluarga. Maka dari itu, puas-puasin pacaran.
Tapi banyak orangtua merasa sangat cemas dengan gaya berpacaran remaja masa kini. Tak ada lagi desiran darah yang begitu hebat ketika melewati pagar depan rumah. Tak ada lagi pegangan tangan sambil malu-malu. Curi-curi pandang dari balik pintu. “Kuno,” kata anak-anak sekarang.
Generasi masa kini sudah membuat aturannya sendiri. Pulang dari diskotek dini hari. Ngomongnya ngelantur mukanya pucat pasi. Berjalan bersama berdekap-dekapan. Tangan saling melingkar sambil cubit-cubitan. Cium pipi kanan cium pipi kiri. Senggol sana senggol sini. Selayaknya pasangan suami-istri. Berlibur ke Bali berduaan. Melancong ke luar negeri tanpa pamitan. Kalau ditegur minggat dari rumah. Pulang-pulang sudah berbadan dua.
Memang tak mungkin melarang anak pacaran. Lagian, para orangtua juga tak ingin anak-anak mereka di kemudian hari disensus oleh petugas IPTEK, ikatan perawan/perjaka telat kawin. Merana dan hidup melajang sampai tua, tanpa kehadiran cinta.
Tapi, jangan begitu dong, kalau pacaran. Semua serba kelewatan. Sudah sangat keterlaluan. Seperti tak punya aturan. Di depan orangtua tak sungkan lagi berpeluk-pelukan. Di depan umum malah asyik berciuman. Pulang pagi jadi kebiasaan. Menginap di puncak jadi kegiatan mingguan. Belum menikah sudah saling panggil Mami Papi. Tinggal serumah Kumpul Sapi.
Para orangtua cemas dan hanya bisa garuk-garuk kepala. Dilarang pacaran ya tidak mungkin. Dibiarkan pacaran bikin kepala nyut-nyutan. “Pusing saya, mikirin Virga,” keluh Pak Rahman.
Putrinya yang masih ABG itu sudah punya pacar. Anak punk yang suka nongkrong di seberang pasar. Dinasehati berkali-kali tak mau dengar. Dikurung di kamar, kabur lewat genteng tetangga. Lebih puyeng lagi, dandanan Virga berubah total. Hidungnya ditindik. Lehernya ditato. Rambutnya dicat warna-warni. Persis seperti anak ayam yang disumba merah, kuning, hijau, ungu, oranye, yang dijual abang-abang di depan pagar sekolah dasar.
Pernah sekali dia marah besar. Hampir saja digamitnya sepotong rotan untuk mencambuki putrinya. Untung istrinya segera menghambur dan mendinginkan kepalanya. “Tapi ini sudah kebangetan, Bu. Coba lihat itu anakmu.”
Dandanan Virga memang keterlaluan. Pundaknya yang putih mulus menjual muka. Dadanya hanya dibebat selembar kain berwarna merah muda. Celana tipis superketat menggaris malas di bawah pinggulnya. Kancingnya atasnya dibiarkan terbuka. Sepertinya dia sengaja memamerkan perutnya yang rata dan pusarnya yang indah. Ini salah Bu Bidan. Seandainya dulu tali pusarnya tidak diikat rapi, udelnya pasti bodong. Sehingga dia tak akan berani mempertontonkan perut seenaknya.
Anak punk itu membawa pengaruh buruk pada Virga, pikir Pak Rahman. Harus dihentikan. Tapi Virga malah kabur dari rumah. Beberapa potong pakaian masuk ke dalam tasnya. Duit ibunya dicuri satu juta. Selembar pesan ditinggalkan di meja. Mengungsi, bunyinya.
Tentu saja kedua orangtuanya kelabakan bukan kepalang. Sudah seminggu Virga tidak pulang. Dicari ke mana-mana juga tak ketemu. Seolah diculik hantu. Keluarga panik dan lapor polisi. Semua famili dan temannya dihubungi. Tapi anak itu tetap menghilang seperti ditelan bumi. Hingga pada suatu sore tiba-tiba Virga sudah berada di rumah. Langsung masuk kamar dan menguncinya. Tak berapa lama kemudian dia duduk di beranda, membaca majalah.
“Dari mana kamu?!” hardik Pak Rahman, dengan tangan bergetar menahan amarah.
“Jalan-jalan,” jawabnya enteng.
Wahai … perawan dan perjaka. Jangan bermain-main dengan cinta. Jangan ugal-ugalan dalam berpacaran. Bisa kuwalat nanti. Seperti Rani, yang masih jomblo meski usianya sudah kepala empat. Padahal perempuan itu molek benar. Wajahnya selalu bersinar. Senyumnya mengundang. Tatapan matanya menantang. Bodinya semloheh. Bisnisnya berbelalai. Pergaulannya luas. Hartanya tak terbatas. Tapi belum juga berkeluarga. Penyebabnya, karena dulunya urakan dalam berpacaran.
Konon, semasa kuliah, dia suka gonta-ganti pacar. Pergi satu ngantri sepuluh. Berhasil menggaet cowok idaman memberinya kepuasan tersendiri. Kemenangan yang selalu dirayakan bersama teman-temannya. Targetnya hanya show off. “It’s just an adventure,” katanya. Dalam hitungan minggu atau bulan, pasti ganti cowok lagi. Pasang perangkap dan umpan baru. Wah, Non, jangan begitu.
Namun, ketika akhirnya benar-benar kesengsem sama seorang cowok yang begitu mengena di hatinya, Rani malah berubah seperti gadis kuper yang belum pernah pacaran. Gaya hidupnya berbalik total. Tak pernah lagi hura-hura. Teman-temannya menjauh juga tidak dipusingkannya. Seorang Arjuna telah meluluhkan hatinya. Mengisi kamar-kamar kosong di dadanya. Di sela-sela paru-paru dan jantungnya. Dengan cinta sejati.
Rani telah menemukan cintanya. Setiap kali berada di samping pacarnya yang berkumis tipis dan berpembawaan kalem itu, jantungnya selalu berdebar-debar kencang. Darah berdesir-desir di sekujur tubuhnya. Mau begini takut salah. Mau begitu takut keliru. Perutnya seperti ditekan-tekan. Bolak-balik harus pamit ke belakang.
Pernah pada suatu sore, ketika mereka sedang bercengkerama di beranda depan, pacarnya yang bekerja di sebuah bank pelat merah itu memuji kecantikannya. Bahagia sekali dia. Kakinya serasa tak lagi menginjak tanah. Tapi, tiba-tiba Rani merasakan ingin buang angin dan tidak bisa ditahan lagi. Tak mungkin sempat pamit ke belakang. Lepaskan saja, tapi jangan sampai kedengaran. Geser sedikit itu kursi. Untuk menyamarkan bunyi. Seeng …, sunyi. Syukurlah, tak ada yang bernyanyi. Tapi aroma terasi tak mau segera pergi.
“Kamu kentut, ya?”
Blo’on banget ini cowok. Mestinya kan pura-pura tidak tahu. Biar pacarnya tidak malu. Raut muka Rani memerah sepeti baret Kopasus. Menyesal telah menghidangkan bau kakus. Meskipun segera terlupakan, peristiwa memalukan itu tetap saja membekas sangat dalam di benaknya.
Tapi mereka tak putus cinta hanya karena soal kentut. Malahan, semakin dekat, dan sudah mengambil ancang-ancang untuk menikah. Diputuskan tanggal delapan bulan delapan. Tepat pada pertengahan bulan besar. Pakai adat Jawa campur Makassar. Sudah disiapkan sejumlah mahar. Dan, akan digelar sebuah pesta besar.
“Ran, aku ada kejutan. Kita pergi ke suatu tempat. Tidak jauh, kok. Tapi, matamu harus ditutup, ya? Mau?”
Tanpa berpikir panjang Rani langsung mengiyakan. Namanya juga kejutan. Maka mereka pun berangkat, dan mata Rani ditutup syal coklat bergambar Mickey Mouse yang diikatkan melingkar di kepalanya.
Tak berapa lama kemudian mobil berhenti. Rani dituntun masuk ke dalam sebuah rumah. Suara pintu terbuka, hembusan anginnya terasa. Ini rumah pasti besar, ketahuan dari hempasan pintunya.
“Yang, ini rumah kita berdua. Kita akan tinggal di sini setelah menikah nanti. Coba rasakan, di sini ruang tamunya.”
Sejuk sekali. Baunya menyenangkan. Harum. Pasti telah ditempatkan bunga-bunga segar di sekitar situ. Rani merasa bahagia sekali. Pacarnya sudah menyiapkan sebuah rumah baru untuk mereka tinggali nantinya. Jangan-jangan ini kejutannya, pikirnya.
“Ayo kita naik. Tapi tutup mata jangan dibuka dulu. Nanti saja kalau sudah waktunya.”
Lho? Belum? Jadi, bukan rumah ini kejutannya.
Mereka pun menaiki tangga, menuju lantai dua. Luas sekali ruangan itu. Hening. Tenang. Lega. Lapang.
Aduh, mati aku. Gawat, pikir Rani. Rasa-rasanya dia mau kentut. Bagaimana ini? Hup. Ada akal. “Fan, aku agak kegerahan, nih. Tolong dong ambilkan tisu di mobil.” Sedikit muslihat tak apalah. Jangan sampai ketahuan kalau kentut. Soalnya, sepanjang siang tadi sepiring ubi jalar goreng menemaninya menikmati lagu-lagu melo kesukaannya.
“Tunggu di sini, ya. Aku ambil dulu tisunya.”
Tapak sepatu terdengar menuruni anak tangga, kemudian disusul suara pintu dibuka. Inilah saatnya. Duuuuut …. Tuuuuut …. Suaranya sangat keras. Seperti dentuman knalpot bus patas. Tapi hanya dua kali. Dari luaran sana pasti tak terdengar sama sekali. Dia kibas-kibaskan roknya, agar aroma tak sedap itu segera pergi. Dia cek sekali lagi. Sudut kiri aman. Sudut kanan aman. Barat laut aman. Tenggara aman. Indera penciumannya terus bekerja keras, agar hasilnya akurat. Sudah tak ada lagi baunya. Sudah pergi. Terima kasih, Tuhan.
“Ini tisunya. Maaf ya, agak lamaan. Harus nyari-nyari dulu. Tahunya nyelip di jok belakang.”
Setelah pura-pura mengusap kening dan ujung hidungnya, Rani langsung bertanya, “Apa kejutannya, Fan? Mana?” Sudah tak sabar lagi dia.
“Baiklah, aku buka dulu tutup matanya,” bisik Erfan sambil membuka ikatan syal yang menutup mata Rani. “Coba lihat. Semua keluarga dan kerabat aku telah datang ke sini untuk berkenalan denganmu. Itu Papa, Mama, Opa dan Oma. Ada Terry, adik kesayanganku.”
Astaga! Sekitar dua puluh pasang mata menatapnya dengan senyum ditahan. Mereka semua berdiri mengelilingi ruangan itu. Jadi, pada waktu dia kentut tadi, ada sekian banyak orang yang menontonnya. Mati aku. Tengsin berat.
Kini Erfan sudah menikah dengan orang lain, punya anak tiga. Sedangkan Rani masih sorangan wae. Sesekali mereka saling kontak lewat telepon. Say hello, menanyakan kabar masing-masing. Dalam kejadian yang sangat memalukan itu, Rani menyalahkan Erfan. Sementara Erfan tak pernah paham alasan Rani membatalkan rencana pernikahan tersebut. Keluarga dan kerabat Erfan juga tidak pernah membicarakan hal itu lagi. Mereka memilih tutup mulut. Dibiarkan berlalu begitu saja. Hanya Terry yang tidak bisa mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Dia membocorkan rahasia ini kepada Sony, agar diterima bekerja di kantornya.
Erfan menikahi orang yang tidak dia cintai. Gaby, istrinya itu, masih kerabat jauh. Ini semua merupakan jerih paya mamanya yang sedih sekali melihat Erfan terus mengurung diri setelah gagal menikah dengan Rani. Perihal Gaby, Bu Shinta sudah menyelidiki gadis itu secara teliti sebelum diputuskan sebagai calon istri yang cocok buat putra sulungnya. Dalam masa penjajagan, selama tiga bulan penuh dara gemuk berambut ikal itu tinggal bersama keluarga Erfan. Bu Shinta merasa sangat lega, karena belum pernah sekalipun Gaby kentut di depannya. Ini calon mantu yang tepat, pikirnya. Mereka berdua memang sangat akrab. Apalagi keduanya sama-sama bulat. Bagaikan balon berjajar dua.
Maka Erfan dan Gaby pun menikah. Erfan tak menolak dan tidak pula mengiyakan ketika ditanya kesediaannya untuk menikahi Gaby. Dia sudah pasrah. Dijalani saja semuanya. Tahu-tahu sudah punya anak tiga. Tapi setiap malam pikirannya berkelana ke mana-mana, berjalan menuruni bukit dengan Rani di pelukannya. Mereka bercanda dan tertawa bersama. Meski hanya di alam khayal. Setiap hari dia merasakan keasyikan itu. Hingga ketagihan. Raganya tetap berada di rumah, tapi jiwanya absen, pergi jauh entah ke mana. Tapi dia sering jengkel karena dengkuran Gaby yang nyaring suka membuyarkan lamunannya.
Erfan dan Gaby jarang bicara. Hubungan mereka berdua serba teknis. Hanya keberadaan anak-anak yang manis-manis itu yang membuat Erfan bertahan dalam perkawinan pura-pura. Sesungguhnya jiwanya berontak. Ingin segera lepas dari pernikahan sandiwara.
Tapi, kalau urusan memasak, Erfan harus jujur, Gaby memang jagonya. Lulusan SMK jurusan tataboga itu ada saja idenya. Setiap kali menciptakan menu baru yang tak terduga. Namun selalu istimewa. Sangat kreatif dalam soal boga. Peka dalam soal rasa. Sehingga cenderung sangat bawel kalau mereka sekeluarga sedang makan bersama di restoran. Ada saja yang dikomentarinya. Mulai dari cara penyajian. Kombinasi garnish. Sampai ke soal penggunaan bermacam-macam sendok, garpu dan pisau yang begitu membingungkan bagi Erfan.
Gaby benar-benar seorang juara dalam soal boga. Kalaupun harus diadu dengan pakar kuliner Sisca Suwitomo, Gaby pasti menang ke mana-mana. Apalagi bila berat badan ikut diperhitungkan. Nggak level. Hanya saja, Erfan tak pernah bisa melupakan sepiring nasi goreng yang pernah dimasak Rani untuknya. Agak sedikit asin, memang. Dan ulekan cabenya masih kasar. Tapi rasanya benar-benar tak terlupakan.
Pernah beberapa kali Erfan bertemu Rani. Mereka pergi nonton bioskop. Makan malam bersama. Saling menyuapi sambil bertukar cerita. Tertawa-tawa bersama, seperti sepasang remaja yang sedang kasmaran. Kedekatan itu mulai terbangun kembali. Saling membutuhkan. Tapi Rani suka menjaga jarak. Mood-nya datang dan pergi. Jinak-jinak merpati. Kadang mendekat kadang menjauh. Tak ubahnya seperti orang plin-plan.
Erfan bingung memikirkannya. Apakah memberi harapan atau menolaknya? Namun, ketika dia akhirnya berhasil mengumpulkan segenap keberanian untuk mengungkapkan keinginannya memperistri Rani, suasana berubah total. Muka Rani langsung merah. Dia benar-benar marah.
“Fan, kamu pulang saja ke istrimu yang gendut itu. Anak-anakmu menunggu. Jangan sekali-kali kamu ngomong lagi soal itu. Kita tidak ditakdirkan bersatu. Hatiku sudah tertutup untukmu.”
Gawat.
Tapi Erfan tak pernah putus asa. Sudah kecemplung, sekalian basah semua. Dia bertekad tak akan menyerah. Meski harus menyeberangi lautan dan mendaki tebing terjal. Disuruh menggali sumur pun akan dia lakukan. Apalagi kalau cuma dimarahi. Kecil itu.
Maka, setiap kali ketemu Rani dalam berbagai kesempatan, dia selalu saja mengutarakan niatnya untuk memperistri cinta pertamanya itu. Berkali-kali Rani murka dan memakinya. Bahkan melemparnya dengan sepatu. Tapi toh, akhirnya dia luluh juga. Rani bersedia menjadi istri kedua Erfan. Mereka berpelukan dan menangis bersama. Cinta telah bersatu, dan rencana segera disusun. Mereka akan menikah di luar negeri. Sebuah apartemen di kawasan Kuningan langsung mereka beli hari itu juga.
Gaby merasakan ada perubahan mencolok pada diri Erfan. Tumben suaminya baik sekali. Sikapnya lebih mesra. Penuh perhatian kepadanya. Sering mengajaknya bicara. Dan, anehnya, Erfan selalu kelihatan berseri-seri setiap akan berangkat kerja. Seolah setiap hari akan menerima bonus. Hari Sabtu selalu lembur. Ada saja alasannya. Keluar kota. Peninjauan lapangan. Dikejar target. Macam-macamlah.
Gaby mengendus ada sesuatu yang tak beres. Karena Erfan bersikap tidak seperti biasanya. Tapi kecurigaan itu ditepisnya. Dibuangnya jauh-jauh. Dia tak ingin berpikir yang bukan-bukan. Takut badanya kempes dan kurus, sehingga gampang kentut. Namun rasa waswas itu senantiasa hinggap di hatinya. Maka, secara diam-diam Gaby mulai melakukan penyelidikan, dibantu anak perempuannya, yang juga gendut.
Setiap hari dia geledah saku baju dan celana Erfan di keranjang cucian. Tak akan ada setitik pun petunjuk yang bisa lolos dari perhatiannya. Sudah dibelinya kaca pembesar dua buah. Setipis apapun bau parfum yang tersisa, pasti dia akan langsung kenali. Apalagi noda gincu, yang ditunggu-tunggunya selama ini.
Mobil Erfan juga tak lepas dari perhatiannya. Semua laci dia periksa. Tidak ada apa-apa di sana. Sekali pernah dia temukan bon pembelian Viagra yang sudah kusut di bawah karpet mobil. Tapi bukan itu petunjuk yang dia cari. Karena dua malam sebelumnya dia dan Erfan berhubungan badan. Dan Erfan begitu perkasa malam itu. Sudah. Sudah. Bukan itu yang ingin dia temukan.
Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga ke tanah. Begitu kata pepatah. Karena kecapaian sehabis mengikuti rapat evaluasi tahunan yang digelar hingga malam di Hotel Mulia, Erfan melakukan keteledoran yang membawa petaka. Gaby menemukan paspor Erfan dan Rani di dalam mobil, berikut dua tiket Garuda dengan tujuan Singapura. Langsung lemas kakinya. Tak kuat lagi menyangga tubuhnya yang seberat sembilan puluh tiga kilogram itu. Kepalanya serasa mau pecah. Tangannya berkeringat. Air mata mulai menitik. Hampir saja Gaby menangis meraung-raung. Tapi dia segera menguasai diri, dan langsung menelpon mertuanya, Bu Shinta.
“Fan, ini apa?” Mamanya melemparkan kedua paspor dan tiket itu ke muka Erfan. Tangan kiri di pinggang, tangan kanan mengacung-acung ke arah Erfan yang duduk diam, tak mampu berkata apa-apa.
Malam itu juga Erfan diadili. Mamanya nyerocos tak keruan. Istrinya menangis sesenggukan. Anak perempuannya yang sangat cs dengan mamanya karena sama-sama gembul, juga ikut mengeroyoknya. Dia dipaksa membuat pernyataan tertulis yang isinya tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Karena kalah dan tidak punya pilihan, dia turuti saja semua kemauan mereka. Erfan menorehkan tanda tangan di atas materai. Istrinya memilih cap jempol darah. Erfan tertunduk lesu. Gaby tersenyum menang. Neraka itu baru berakhir menjelang subuh.
Halimah menjadi inspirasi. Keesokan paginya, ibu mertua dan anak menantu tambun-ikal kesayangannya itu berangkat bersama-sama menuju kantor Rani di Gedung BRI II. Tekad kedua angka nol besar itu sudah bulat. Mereka akan melabrak perempuan pengusik rumah tangga tersebut. Biar tahu rasa tukang kentut itu, karena sudah berani mengganggu suami orang.
Erfan berusaha mencegah mereka, tapi tak berhasil. Dia ingin menelpon Rani untuk memperingatkannya. Tapi tidak jadi. Dia tak tahu harus berkata apa. Keteledoran itu harus dibayar mahal. Maka dia tinggal di rumah saja. Tidak pergi ngantor. Hanya berbaring di tempat tidur, tanpa pernah bisa menutup mata. Gelisah.
Rani dengan tergesa-gesa keluar dari ruang kerjanya mendengar ada keributan di resepsionis. Betapa kagetnya dia melihat mama dan istri Erfan ada di sana sedang memaki-maki Satpam yang mencoba menghadang. Satpam kerempeng bernama Eddy Subekti itu pucat pasi. Kaget sekaligus ketakutan. Gemetaran. Kalah nyali.
Topinya terlempar saat menghindari tamparan Gaby. Pemuda kelahiran Klaten, Jawa Tengah itu, berusaha keras meniup peluit untuk minta bantuan. Tapi karena terlalu panik, tak sedikit pun jeritan yang keluar dari peluitnya. Malah alat tiup tersebut basah semua dibanjiri air liurnya. Sudah, nyerah saja, pikirnya. Mustahil menang bila harus berkelahi melawan dua pesumo kelas berat itu. Apalagi mulut mereka menyalak terus seperti senapan mesin. Tak mungkin ditangkis dengan kumisnya.
“Ini rupanya biang kerok itu, yang mau berduaan ke Singapura” sergah mama Erfan sambil mengacung-acungkan jari telunjuknya yang segede cerutu ke arah Rani.
“Mau merebut suami orang,” Gaby menimpali.
Dituduh demikian, Rani langsung menukas berang. “Nyonya ….” Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya, mama Erfan malah menghampirinya sambil nyerocos soal kejadian kentut di masa lalu. The fat lady’s singing. Rani langsung terdiam seribu bahasa. Dia lari sambil menangis menuju ruang kerjanya, dan kemudian menelepon resepsionis agar menyuruh Satpam penakut itu menyeret paksa dua karung lemak bernyawa ukuran XXXL tersebut keluar dari kantornya. Kalau perlu pakai kerekan gondola.
Segerombolan awan pekat langsung memunggungi sang surya. Petir menyambar-nyambar, dengan kilatan-kilatan cahaya menyilaukan. Menerangi setiap sudut gelap, mencari-cari di mana orang-orang gendut berada. Rani murka. Dia putuskan tidak melanjutkan lagi rencana pernikahan itu.
Erfan sama sekali tak membela diri. Dia merasa sangat bersalah. Semua ini terjadi karena keteledorannya. Dua kali sudah dia mempermalukan Rani di depan keluarganya. Apakah masih ada maaf darimu, Ran? Apakah masih ada kesempatan lagi bagiku? Apakah aku harus menceraikan Gaby? Apakah aku harus kehilangan anak-anakku? Apakah aku harus mendurhakai mamaku? Tuhan, tolonglah aku.
Sungguh beruntung orang yang menikah dengan cinta pertamanya, pikir Erfan. Berbeda dengan dirinya, yang harus menikah dengan orang yang sama sekali tak dikenalnya. Dia sangat menyesal telah menikahi Gaby. Dia sangat menyesal telah kehilangan Rani. Dia merasa menjadi pria yang paling malang di dunia. Pria tak berguna. Tabah, Fan. Sabar. Kapan-kapan saya carikan jalan keluar. Saya akan buatkan cerita yang bagus untukmu. Lain kali saya akan persatukan kamu dengan Rani dalam pelukan cinta yang suci dan abadi. Sampai mati. Saya janji. Pasti saya tepati.
Erfan memang harus bersabar. Bagaimanapun, dia masih punya cinta, yang terus dia pupuk dan pelihara. Meski dia tak mungkin lagi memeluknya. Sementara di sebuah kota pesisir, banyak orang yang ramai-ramai membuang cinta ke dalam tong sampah. Dimotori seorang gadis remaja yang menikahi pria bule tua, sebuah situs perjodohan digantungkan di internet. Situs mak comblang itu memberikan kesempatan kepada remaja-remaja putri yang ingin menikah dengan lelaki bule untuk saling berkenalan melalui jagat maya. Peminatnya membludak.
Sebagian besar remaja putri dari kelas menengah-bawah itu ingin menikah dengan bule – tak peduli berapa pun umurnya, bahkan kakek-kakek yang sudah disiapkan liang kuburnya – dengan harapan mendapatkan anak berwajah Indo. Cinta sama sekali bukan target mereka. Berapa lama perkawinan itu akan berjalan juga bukan urusan penting. Ini sebuah proses inseminasi belaka, yang melibatkan dua anak manusia dari kebangsaan yang berbeda. Sama-sama senang. Sama-sama suka. Sama-sama diuntungkan.
Tujuannya perkawinan nir-cinta itu hanya satu, menghasilkan anak-anak yang cantik dan ganteng. Biar kalau sudah besar nanti bisa jadi pemain sinetron. Menjadi putra-putri kebanggaan mereka. Sehingga orangtuanya bisa nunut urip mulyo. Begitulah harapan mereka. Sudah begitu pendekkah pikiran mereka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar