Sabtu, 27 Desember 2008

7. Tender

Tengah hari. Terik sang surya tak berkutik melawan dinginnya AC sentral di ruang rapat yang luas namun terkesan agak muram itu. Sony sedang duduk membuka-buka berkas di hadapan seseorang. Ada pekerjaan dari Kantor Walikota. Tapi hanya perusahaan Sony yang hadir saat anwiizing. Maka, dia harus menyiapkan minimal lima perusahaan untuk dilakukan tender bo’ong-bo’ongan. Pak Rustam Gazali, ketua panitia lelang, tak mau tahu, pokoknya besok semuanya harus sudah siap. Kalau tidak, tender dibatalkan.
“Daripada mondok, lebih baik tidak jadi sajalah. Nggak usah ngapa-ngapain. Kita balikin saja uangnya,” ujar pria tambun yang rambutnya sudah mulai menipis itu, sambil menutup map hijau kusam yang ada di hadapannya.
Biasa. Cuma gertakan.
“Kalau memang harus begitu, akan kita siapkan semua. Beres, Bos. Bapak tidak usah khawatir. Besok pagi pasti sudah siap.” Sony langsung pamitan.
Model beginian sebenarnya sudah jamak di mana-mana, dan sebagian memang diatur begitu, agar kedua belah pihak tidak perlu repot-repot. Yang penting sama-sama diuntungkan dan aman. Sama-sama senang. “Di sini senang di sana senang. Di mana-mana hatiku riang,” kata anak-anak Pramuka.
Bahkan Sony pegang beberapa dokumen legal yang dia pinjam dari teman-temannya, lengkap dengan kop surat, stempel asli tapi palsu dan semua tetek-bengeknya, yang memang khusus disiapkan untuk jadi perusahaan pendamping dalam tender. Bukan soal besar. Semua bisa diatur. Hanya saja, kali ini agak lain dari biasanya. Tidak hanya berkasnya yang harus hadir, semua penanggung jawab perusahaan wajib datang secara fisik karena proses tender akan didokumentasikan dengan video. Agar benar-benar aman. Sebagai antisipasi bila nanti ada pertanyaan macam-macam dari pihak pemeriksa.
Agak merepotkan, memang. Apalagi ada beberapa tahapan yang harus dilalui. Berarti harus datang beberapa kali. Tapi tetap harus dilakukan. Dulu Sony tak pernah mau ikut tender kecuali dia sendiri yang mengatur tender itu. Tapi sekarang agak sulit. Maka Sony menghubungi sejumlah kawannya agar mau membantu. Beberapa menyanggupi. Tapi ada juga yang tak bisa ikutan karena pekerjaan lagi padat.
Gampang. Seperti biasanya, Sony memoles dan mendandani karyawannya. Dua orang terpilih untuk bermain sandiwara. Heru Wibowo, Manajer Pemasaran, dan Astrid Saraswati, mojang Priangan yang jelita itu. Cukup diberikan briefing ringan kepada Astrid, sedangkan Heru sudah biasa lompat kadal seperti itu.
“Kamu harus begini. Kamu harus begitu. Kalau ditanya begini kamu jawab seperti ini. Kalau ditanya begitu kamu jawab seperti itu.”
Beres sudah.
Bayar berapa?
Gratis. Namanya juga karyawan dan teman. Cukup diajak makan siang, sekalian sambil ngobrol-ngobrol.
“Sekarang serba susah. Kita sudah bekerja sesuai aturan. Tapi pemeriksa suka berkata lain. Padahal aturan yang dipakai sama. Penafsirannya saja yang suka beda-beda,” ujar Pak Rustam seraya membetulkan letak kacamatanya. Kemudian pria berparfum Cigar itu bercerita kepada Sony tentang seorang Kasudin yang masuk kurungan karena tender yang tidak beres. Pesertanya fiktif dan bodong semua. Pemenang tender menjual kontraknya kepada perusahaan lain. Tanpa harus bekerja, dia mendapatkan fee lumayan. “Sebenarnya, itu Kasudin lagi apes saja. Korban pemeriksaan random. Mungkin ada orang yang jail, sirik, iri dan iseng. Yang lain aman-aman saja, kok,” tambah Pak Rustam.
“Betul, Pak. Pasti ada yang sirik,” Sony menimpali. Sony memperhatikan sedari tadi pria asli kelahiran Jakarta itu mengelus-elus jenggotnya yang agak awut-awutan dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya asyik bermain-main dengan rokok kreteknya yang tak pernah berhenti menyala.
“Semuanya mesti transparan. Pekerjaan di atas lima puluh juta harus ditenderkan. Wajib pasang iklan di koran,” imbuhnya lagi, sambil mencomot pisang goreng yang sudah dingin dan agak keras itu.
Sony mendengarkan dengan penuh perhatian semua keluh kesah penggemar gulai kepala kakap tersebut. Dia senang, karena Pak Rustam yang belum lama dikenalnya sudah berani bicara blak-blakan kepadanya. Berarti dia sudah dianggap bukan orang lain lagi. Bagus. Tinggal digarap lebih serius ini orang, pikirnya.
“Coba Pak Sony pikir. Kita sudah pasang iklan tender ini sejak lebih dari dua minggu lalu. Kenyataannya, hanya Bapak yang datang. Sia-sia itu iklan.”
Sony hanya tersenyum menggiyakan. Sesungguhnya, iklan tender itu sudah direkayasa sedikit. Sony mendapat bocoran informasi mengenai proyek tersebut dari orang dalam dan berhasil menggarap salah seorang anggota tim tender untuk memunculkan beberapa syarat yang pasti akan sulit dipenuhi oleh perusahaan lain.
Memang, jarang-jarang orang cari proyek dengan melototi iklan tender di koran. Setiap kali ada iklan tender yang muncul di koran, Sony suka apriori. Itu hanya untuk memenuhi syarat formal. Karena pekerjaan yang ditenderkan sudah dikerubuti banyak orang dan, biasanya sudah ada calon pemenangnya, terutama pekerjaan-pekerjaan yang nilainya besar. Kalau ngotot mau masuk, hanya akan jadi penggembira.
Tapi, jangan juga terlalu apriori. Bagaimanapun, kewajiban memasang iklan tender di koran membawa banyak perubahan. Instansi pemerintah tidak bisa lagi menawarkan proyek secara umpet-umpetan kepada kalangan terbatas. Siapa saja boleh masuk asal kualifikasinya memenuhi. Kenyataannya, ada juga tender yang meski sudah diiklankan namun tak ada yang meliriknya, apalagi datang. Biasanya nilainya tidak terlalu besar, pekerjaannya rumit dan marginnya tipis. Dan, mungkin juga, karena dikira sudah ada calon pemenangnya, orang tak mau repot-repot datang hanya untuk membuang-buang waktu. Atau, bisa jadi, yang datang cuma paper company.
Paper company bercokol di mana-mana. Berkeliaran di instansi-instansi pemerintah. Orangnya itu-itu juga. Tapi jumlahnya ratusan. Mereka suka bergerombol bersama di kantin, di tempat parkir dan di lobby. Berbagi informasi dengan sesama, dan menunggu bocoran informasi dari patron-patron mereka. Ini semacam mafia. Modalnya hanya berkas-berkas legal perusahaan.
Mereka punya perusahaan, tapi tak pernah mengerjakan apa-apa. Karena kerjanya hanya ngerubuti tender. Mereka mendapatkan penghasilan dari calon pemenang tender yang harus memberikan persenan agar mereka mau mundur atau tetap maju tapi sengaja diset untuk kalah. Kalaupun terpaksa menang tender, meski sangat jarang terjadi hal seperti ini, mereka tak perlu pusing. Kontrak bisa dijual kepada perusahaan lain yang benar-benar mau kerja.
Tidak hanya fenomena paper company yang mengemuka. Ada pula perusahaan yang mati-matian menghalangi perusahaan lain untuk masuk ke instansi yang gemar menggelontorkan proyek-proyek jumbo. Caranya bermacam-macam. Mulai dari yang halus hingga yang paling kasar. Modus yang paling umum adalah menabrakkan mobil. Sony pernah mengalami sendiri.
Ketika berangkat menghadiri tender, mobilnya dikuntit oleh kaki-tangan pesaing. Pada awalnya dia tidak terlalu curiga. Tapi mobil buluk itu terus mengekor. Di suatu tempat yang agak sepi, mobil Sony ditabrak. Dan si penabrak, yang ditemani dua orang berwajah sangar, sama sekali tidak lari. Sebaliknya, mereka sengaja ingin berurusan dengannya, dan sama sekali tak mau berbicara dengan Tukijan, supirnya. Dengan segala macam dalih mereka mencoba menahannya berlama-lama. Sony akhirnya terlambat menghadiri tender.
Bukan hanya mobilnya ditabrak, Sony juga pernah dikerjai dengan cara yang tergolong agak kasar. Setelah surat penawaran harga dibuka bersama-sama, maka diketahuilah urutan pemenang berdasarkan harga yang paling rendah. Sony girang, karena perusahaannya keluar sebagai pemenang. Tapi tunggu dulu. Tidak otomatis harga yang paling rendah pasti menang. Masih ada pemeriksaan kelengkapan dokumen, yang seharusnya dilakukan sebelum penawaran harga dibuka, tapi sengaja digeser urutannya. Anehnya, ada saja selembar dua lembar dokumen yang tiba-tiba dinyatakan kurang, sehingga pemenang bisa dinyatakan batal apabila pada saat itu tidak siap dengan salinannya sebagai pengganti. Ini kerjaan pesaing, yang menggunakan tangan-tangan orang dalam untuk mencabuti lembaran-lembaran dokumen tender.
Tapi, kalau yang “dicabut” adalah salah satu dokumen yang harus asli, seperti bank garansi penawaran, sudah pasti tidak bisa ditambal dengan salinan fotokopinya. Kejadian inilah yang menimpa Sony. Kuwalat dia. Karena dulu pernah melakukan hal serupa. Dan, alasan panitia enteng saja, “Mungkin lupa belum dimasukkan. Pasti ketinggalan di kantor Bapak.”
Mana mungkin? Dibantu Anita, Sony sudah memeriksa berulang-ulang sebelum dokumen tender tersebut dimasukkan ke dalam amplop cokelat. Dia juga tak mau capek-capek ikut tender dengan persiapan seadanya. Hanya buang-buang waktu. Tapi kan tidak mungkin berantem dengan panitia tender. Bisa tambah musuh. Ya sudah, lagi apes. Dia tahu diri, karena panitia tender itu memang belum digarapnya secara maksimal. Baru dua orang yang berhasil didekati. Key person-nya belum tembus.
Namun tak semua tender diiklankan di koran. Sebagian BUMN dan BUMD masih menggunakan sistem rekanan terdaftar. Siapa saja yang diundang mengikuti tender tergantung selera panitia, suka-suka mereka. Kedekatan dan kekuatan lobi sangat menentukan. Begitu pula soal setoran. Dan juga kunjungan rutin. Say hello dan makan siang bersama.
Dalam sistem setengah tertutup ini, panitia tender berlagak seperti Tuhan. Menentukan siapa saja yang pantas diundang. Sehingga posisi tawar mereka luar biasa besar. Baik dalam menggilir pemenang maupun dalam menentukan besarnya jatah. Peluang menang akan lebih besar bila mampu mengatur tender bo’ong-bo’ongan.
Dalam kasus seperti ini, Pak Jumhur punya cerita. Kantornya membeli pensil seharga dua ribu rupiah per batang. Padahal di kaki lima dijual seribu tiga. Kalau beli sebatang mungkin tak masalah. Tapi mereka membeli dalam jumlah berjibun. Untuk kebutuhan satu tahun. Belum lagi tip ex, ballpoint, stappler dan barang-barang kecil lainnya. Ketahuan berapa banyak duit yang bisa dihimpun.
Dia juga pernah mendapati sebuah perusahaan pemenang tender mengirimkan pipa-pipa baja yang sebagian bekas pakai namun kelihatan seperti baru. Sebagai mantan orang pabrik, Pak Jumhur cukup paham soal-soal teknis. Tapi dia tak bisa menolak, karena para aggota tim yang lain tidak mempersoalkannya. Terpaksa diam saja. Daripada dimusuhi atau dikucilkan.
Tapi, yang bikin dia benar-benar gondok adalah kenyataan bahwa pipa-pipa bekas itu sesungguhnya berasal dari pabriknya sendiri. Barang-barang bekas pakai yang disimpan digudang itu mungkin dijual oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Dan si pembeli kemudian merekondisinya. Lalu dijual kepada pemenang tender tersebut. Jadinya balik kucing. Membeli barangnya sendiri. Sudahlah. Mau bilang apa?
Tender. Pekerjaan mudah yang selalu dibikin susah. Padahal urusannya hanya membeli. Tapi diatur dengan banyak regulasi. Berbeda dengan menjual, membeli sesungguhnya pekerjaan yang paling gampang di dunia ini. Apalagi uang sudah ada di tangan. Usep, office boy di kantor Sony, tak pernah salah membeli. Selalu mendapatkan barang terbaik dengan harga termurah. Kalau tidak, disuruh mengembalikan oleh Anita. Tak boleh balik kantor sebelum berhasil. Atau, mendapatkan hukuman. Disuruh menghitung butiran pasir segelas penuh.
Apa susahnya membelanjakan uang? Anak TK bahkan tak pernah mengalami kesulitan membeli es doger. Meski hanya berbekal uang seribu rupiah. Tapi budaya nilep telah menjadikan banyak orang dewasa seperti tak becus membeli. Sehingga harus dibuatkan banyak aturan untuk pekerjaan paling sepele di dunia itu. Manual-manual setebal bantal disusun bukan untuk memandu jalannya pekerjaan yang rumit. Tapi, mencoba membatasi gerak orang-orang yang hobinya ngentit. Sony tak tahu persis, yang beginian ini tergolong kebobrokan atau kebodohan birokrasi.
Pada dasarnya tender diadakan agar si empunya proyek mendapatkan pilihan pemasok yang tepat dari segi harga, kualitas barang/jasa, pengalaman, bonafiditas dan profesionalisme. Iklan di koran maupun pengumuman yang dipasang di papan diharapkan akan menjaring sebanyak-banyaknya calon pemasok, sehingga dapat dipilih yang terbaik dari antara mereka.
Tapi pengumuman yang terlalu terbuka juga mengandung kelemahan. Sama seperti iklan lowongan kerja. Mengundang laron datang berbodong-bondong. Sembilan puluh persen paper company. Seperti ketika secara iseng Sony mendampingi Heru menghadiri undangan tender dari suatu departemen beberapa tahun lalu. Dia hanya geleng-geleng kepala. Lebih dari dua ratus orang hadir di sana. Tumpah ruah seperti ceceran darah. Suasananya tak ubahnya sebuah demo. Wajah-wajah sangar bikin kecut muka. Ada yang menggebrak-gebrak meja. Sebagian mengacung-acungkan gulungan map di kepalan tangannya. Sebagian lagi menundukkan kepala.
Telah datang Raja Sawer. Bagi-bagi amplop dengan hidung meler. Di badannya terpasang selang kateter. Tersambung pada segulung pipa kapiler. Di sampingnya diletakkan sebuah ember. Agar muntahan dari mulutnya tidak tercecer.
Ajaib, dalam pertemuan berikutnya peserta tinggal delapan saja. Sihir itu telah bekerja. Lembar-lembar merah menggantikan mantra. Mengusir nyamuk-nyamuk yang suka berdengung. Ketua panitia tender langsung menyapa dengan senyum menggantung. Memimpin rapat dengan gaya kentrung. Lagaknya seperti raja panggung. Menyerocos sambil membalik punggung. Sorot lampu OHP membengkakkan jari telunjuknya segede pentung. Penonton memperhatikan dengan tatapan mata bingung. Namun suaranya terus mengalun. Tangannya berayun-ayun. Mengiringi naik turunnya jakun.
Sony mendapat bocoran resmi. Proyek pengadaan poster yang didanai lembaga donor asing itu benilai tinggi. Diproduksi sebanyak dua juta lembar. Selama empat tahun berturut-turut dimenangkan oleh Raja Sawer. Dengan harga per lembar sebesar lima belas ribu perak. Tahun ini, harga dipatok hanya setengahnya, agar tak kelihatan semarak.
Pemeriksa curiga menemukan poster harganya tak main kira-kira. Panitia berusaha mencari cara. Lima orang kunci bertemu Sony di Hotel Grand Melia. Dilanjutkan dengan makan malam bersama di Move n Pick Marche. Sony langsung buka kartu. Setiap orang akan dapat seratus juta. Bila mau, bisa diambil di muka. Asal kontrak sudah bertanda. Plus masing-masing sebiji mobil keluarga. Hitung-hitungannya amat mudah. Biaya produksi tak lebih dari seribu rupiah.
Raja Sawer berang. Langsung menabuh genderang. Menghunus pedang. Dengan tangan terentang. Berteriak-teriak lantang. Seperti binatang jalang. Melolong panjang. Kepala terangkat mulut mengerang. Tatapan matanya nyalang. Kursi rodanya menerjang-nerjang. Merobohkan semua penghalang. Dari balik bajunya yang tipis berbayang. Dadanya bergambar tulang. Seperti gambang. Perutnya terbelit selang. Kesadarannya hampir hilang.
Untung asistennya segera datang. Dengan membawa selembar map biru bertanda silang. Berusaha membuat majikannya tenang. Menjanjikan pasti menang. Dengan gemilang. Karena sumber bahan baku sudah dihadang. Kapal tak boleh berangkat dari Jepang. Ini bukan lagi lelang. Tapi perang. Adu gelanggang. Main ganyang. Harga langsung digantang. Sekalian, sudah kepalang. Daripada bernasib malang.
Ini benar-benar gila. Sony mendengar kabar dari sumber terpercaya bahwa Raja Sawer sudah memproduksi poster itu bahkan sebelum diputuskan menang. Lebih parah lagi, bocoran tersebut sudah merembes ke sudut-sudut arena. Maka, ketika tahu bakal kalah, pria berkumis tebal itu kalap. Amarah langsung menyelinap. Meski tak terucap. Tergambar jelas dari mulutnya yang terus-terusan mangap. Napasnya megap-megap. Seolah paru-parunya dipenuhi rayap.
Begitu seorang peserta nekad menawarkan harga lima ribu, dia langsung menutup transaksi dengan harga yang sama sekali tak masuk akal, delapan ratus lima puluh rupiah. Angka itu hanya cukup untuk beli bahan baku. Tapi itu langkah jitu. Daripada barang menumpuk di gudang. Hanya berharga kalau ditimbang. Dijual kiloan. Kepada juragan barang loakan. Semua orang langsung membisu. Sony menggerutu. Kali ini ketemu batu.
Sesungguhnya, penciptaan kondisi ideal melalui proses tender akan memungkinkan si empunya proyek memperoleh barang/jasa sesuai dengan spesifikasi, kualitas dan jumlah yang telah ditentukan. Tentu saja, dengan harga yang paling menguntungkan. Suatu mekanisme kerja yang, bagaimanapun, patut mendapat apresiasi karena memang jempolan.
Kenyataannya, sebagian besar tender lebih menekankan aspek proporsional dan profesional saja. Proporsional berarti si empunya proyek mendapatkan fee yang layak dari pemenang tender, sebagai imbalan karena telah memberikan kemenangan yang mudah dan sebagai ungkapan terima kasih dari pemenang tender atas berbagai kemudahan yang mereka berikan selama proses pelaksanaan pekerjaan. Sedangkan profesional berarti pekerjaan bisa diselesaikan tepat waktu dan tuntas, tak peduli hasilnya kelas dua atau kelas tiga. Lihat saja bangunan gedung-gedung Sekolah Dasar yang pada layu sebelum berkembang.
Untuk urusan proporsional, si empunya proyek lebih suka berhubungan dengan perusahaan yang sudah dikenal. Aman dan nyaman. Tak perlu was-was. Tak bakal dicurangi. Tak mungkin gigit jari. Karena sudah TST, tahu sama tahu. Tanpa dibilang, sudah ketahuan jatah yang akan dikantongi. Termasuk kapan akan diterima itu fee. Semuanya sudah jelas. Malahan, kadang-kadang bisa kasbon, minta sebagian di muka.
Kalau ketemu perusahaan yang baru dikenal, urusan fee jadi agak panjang. Harus meraba-raba dulu. Penjajagan. Negosiasi. Tawar-menawar. Pokoknya repot. Jangan sampai ditinggal pergi begitu saja setelah pekerjaan selesai, dengan ucapan “Thank you.” Keamanan harus diutamakan, tapi jatah jangan sampai tak kebagian, apalagi kurang. Tetap harus hati-hati. Jangan sampai maunya girang, eh malah masuk kandang.
Meski sekarang semuanya serba ketat, mereka tak pernah kehilangan arah. Kalau tak mau kehilangan sabetan, ya jangan menyerah. Emang mau hidup murni dari gaji? Berapa harga gincu istri? Anak sudah merengek-rengek minta dibelikan iPod. Mobil sudah waktunya ganti ban. Sementara selingkuhan minta tambah jatah bulanan.
Harus putar otak. Cari celah-celah yang masih mungkin dimasuki. Semut saja bisa melubangi tembok. Masa, manusia tak bisa membongkar gembok? Semua pasti bisa dicari jalannya. Peraturan dibuat untuk diakal-akali. Bukan untuk dilanggar. Karena sudah bukan zamannya lagi main kayu. Apalagi sim salabim. Yang penting harus bermain cantik. Pengusaha juga tak pernah keberatan untuk diajak main mata. Asal sama-sama untung. Sama-sama aman. Yang dibutuhkan cuma pakar manajemen akal-akalan.
Seketat apapun peraturan, pasti bisa diakali. Dijamin. Pekerjaan yang nilainya tidak terlalu besar tak perlu ditenderkan. Cukup dipecah-pecah menjadi beberapa pekerjaan kecil sehingga nilainya di bawah lima puluh juta. Yang penting jatah tak berkurang. Caranya juga tidak terlalu sulit. Misalnya, untuk pekerjaan yang nilainya seratus juta, rekanan tinggal diminta menyiapkan tiga atau empat perusahaan. Masing-masing perusahaan mendapatkan pekerjaan senilai dua puluh hingga tiga puluh juta. Dengan demikian, seolah-olah ada tiga atau empat transaksi yang berbeda. Padahal yang mengerjakan proyek tersebut hanya satu perusahaan. Model seperti ini tergolong sangat aman. Karena nilai transaksi di bawah lima puluh juta, jarang menjadi perhatian pemeriksa.
Tapi tak semua proyek bisa dipecah-pecah menjadi pekerjaan-pekerjaan kecil yang terpisah, terutama bila angkanya cukup besar. Dalam beberapa kesempatan, peserta tender diadu bantai-bantaian harga. Menang tapi tersiksa. “Karena tahun kemarin ada pertanyaan dari pemeriksa,” mereka beralasan sekenanya. Mau tak mau, harus tetap diikuti.
“Untungnya mefet,” kata Wan Abud, seorang kolega Sony. Dia memenangkan lelang pengadaan meja kursi. Akibatnya, kualitas barang harus diturunkan supaya perusahaan ada untung dan si empunya proyek tetap dapat jatah. Karena marginnya tak seberapa, maka jatah si empunya proyek harus dinegosiasikan ulang.
“Mau kagak, kalau jatahnya cuma segini? Untuk bagian ini, segini. Untuk bagian itu, segitu.” Begini ni ni ni. Begitu tu tu tu. Begini. Begitu. Begini. Begitu. Begini. Begitu.
“Wah, kalau caranya begini, dapatnya tipis. Kurang manis. Tak cukup untuk menambal pengeluaran bulanan yang selalu berbaris.”
Si empunya proyek pusing, pengusaha terkencing-kencing. Mesti peras otak lebih kencang dan cari cara yang lebih liat. Harga harus tetap ditekan, biar kelihatan pintar menawar dan hemat. Tapi jatah tidak boleh kurang barang sekuku.
Gampang itu. Bantai-bantaian harga tetap jalan. Pemenang harus menawarkan harga serendah mungkin. Bahkan harga yang sama sekali tak masuk akal. Tapi mereka bukan orang nekat bin bodoh. Ada jurus Spanyol, separuh nyolong. Delivery tak perlu sesuai jumlah yang ditentukan. Cukup setengahnya saja. Tanda terima bisa diatur. Siapa yang mau mengecek satu per satu sticker yang jumlahnya jutaan itu. Ini kan cuma masalah administrasi. Semuanya aman dan terkendali. Proprosional dan profesional. Everybody’s happy.
Jurus Spanyol tergolong permainan kayu. Harus tahan pukul seperti petinju. Mainnya lumayan kasar. Risikonya juga agak besar. Terkadang tidak lancar. Salah sedikit bisa kena cecar. Hanya dilakukan kalau sudah tidak ada alternatif lain sebagai jalan keluar.
Tapi kebuntuan sering kali melahirkan kreativitas. Maka para pakar manajemen akal-akalan pun memeras otak lagi hingga ide baru menetas. Ketemu. Kali ini para peserta tender yang diatur. Para pemain tetap kemudian dipanggil dan di-briefing bersama.
“Tahun ini ada sepuluh pekerjaan. Kalian berlima menangnya gantian. Jadi tidak perlu tabrak-tabrakan. Masing-masing dapat dua,” kata si empunya proyek. “Daripada harus baku-harga, kita stel saja itu tender. Calon pemenang bikin harga, yang lain ngikutin. Naik-naikin dikit, lah. Biar kelihatan seru. Tapi kalian harus rukun,” tambahnya lagi.
Ini baru namanya win-win solution. Kanan senyum. Kiri senyum. Pengusaha dapat margin yang memadai. Si empunya proyek jatahnya aman. Pemeriksaan sudah pasti aman, karena tidak ada yang janggal. Bahkan cenderung sangat rapi.
Sony paling senang dengan tender model begini. Tak perlu pulang dengan muka jontor. Tangan juga tak terlalu kotor. Menang telak tanpa perlu menggedor-gedor. Cukup menunggu kabar di kantor. Duit langsung menggelontor.
Tapi tidak gampang mengatur tender seperti ini. Mesti ada gentleman agreement di antara para pemain, terutama dengan si empunya proyek. Mereka harus saling kenal secara dekat. Harus saling percaya dan satu suara. Harus benar-benar dijaga jangan sampai ada salah satu yang jail dan kemudian koar-koar di luaran sana. Bisa bubar semua. Bukannya untung, malah dikurung.
Lain tender lain pula penunjukan langsung. Memang semua harus ditenderkan. Tapi dalam kasus-kasus tertentu penunjukan langsung dimungkinkan, misalnya untuk pengadaan barang/jasa yang sangat spesifik, yang jelas-jelas hanya bisa dipenuhi oleh satu pemasok. Tapi si empunya proyek biasanya tak terlalu suka dengan cara ini, karena pemeriksa suka cerewet setiap kali menemukan pengadaan barang/jasa yang dilakukan dengan model penunjukan langsung, apapun alasannya.
Daripada harus menjawab pertanyaan macam-macam nantinya, dan keceplosan salah ngomong, paling aman ya ditenderkan saja. Tak peduli meski harus menghimpun peserta tender yang sama sekali tidak punya kualifikasi. Persyaratan teknis bisa diakal-akali. Tinggal ditambahkan tulisan di sana dan tulisan di sini.
“Tetap harus ikuti aturan. Pemeriksa tak mau tahu. Pokoknya harus ditenderkan.” Mereka suka ngotot begitu.
Ya sudah, yang waras ngalah.
Jujur saja, tidak ada tender yang bebas dari soal jatah. Kalaupun ada, bisa dihitung dengan jari. Satu di antara sejuta. Itulah kenyataannya. Seperti sudah ada kesepakatan tak tertulis bahwa pelaksana pekerjaan harus menyisihkan sebagian keuntungan untuk si empunya proyek. Bahkan ada yang terang-terangan minta di muka, terutama kepada perusahaan yang baru dikenal. “Tes bonafiditas,” kata mereka. Kalau tidak dituruti, sebenarnya mereka juga tidak ngotot. Tapi jalannya pekerjaan jadi kacau, karena disalahin melulu. Ada saja yang tidak beres. Soal kecil dibesar-besarkan.
Memang bukan kewajiban, tapi tetap harus diberikan. Kalau tidak, besok-besok pasti masuk daftar hitam. Di-blacklist, tak bakal dapat pekerjaan lagi dari mereka. Gembok besar akan dipasang di pintu depan kantor. Semua orang membuang muka. Lebih buruk lagi kalau mereka main pantun sindiran. Bikin merah telinga.
Pemeriksa sebenarnya bisa langsung tahu soal-soal seperti ini dari struktur biaya yang dirinci dalam penawaran harga. Tapi mereka biasanya tutup mata. Melewatkannya begitu saja. Karena hal seperti itu terjadi di mana-mana. Daripada repot, pura-pura tidak tahu adalah jalan keluarnya. Kalau ngurusi yang beginian, mereka harus menangkap semua orang. Sehingga, jalannya pemerintahan, di pusat dan daerah, akan lumpuh total. BUMN dan BUMD pada tutup semua.
“Jangan. Tak perlu seperti itu. Toh, jumlah yang diembat masih dalam batas-batas ‘wajar’. Biasa itu. Di mana-mana juga begitu,” demikian alasan mereka. Maka, biar kelihatan kerja, bikin saja pemeriksaan acak, dengan sasaran orang-orang yang pelit, yang tidak suka bagi-bagi. Atau, orang-orang yang sok bersih. Mereka tinggal melempar dadu. Seperti main ular tangga. Tunggu saja, siapa yang bakal ketiban apes kali ini.
Namun belakangan suasananya agak berbeda. Semangat pemberantasan korupsi sedang hangat-hangatnya, dan menular ke mana-mana. Pemeriksa lagi unjuk gigi. Jarang-jarang yang mau diajak main mata. Yang jadi masalah, perbedaan persepsi antara si empunya proyek dengan pihak pemeriksa telah menyebabkan banyak orang masuk bui. Masing-masing memiliki persepsi yang berbeda terhadap peraturan yang sama. Meski merasa sudah bekerja dengan ekstra hati-hati, masih saja ditemukan hal-hal yang kurang pas. Karenanya, banyak orang yang memilih berdiam diri, takut keliru.
“Daripada salah, lebih baik tidak usah dikerjakan sekalian. Kembalikan saja uangnya.”
Tidak mengherankan bila trilyunan uang Pemda leyeh-leyeh di SBI dan perbankan. Sekalipun Presiden berteriak-teriak sampai urat lehernya bengkak, itu duit tidak bakalan bangun dari tidur nyenyaknya.
Walhasil, serapan anggaran minim sekali. Mereka khawatir kena tendangan penalti. Proyek-proyek tak jalan karena orang enggan jadi Pimpro. Meski diancam dengan sayatan pedang Zorro. “Mendingan nguras laut,” kilah mereka. Semua pada tiarap seraya mengelus dada. Menunggu sambil garuk-garuk kepala. Wait and see. Sampai keadaan benar-benar aman terkendali.
Soal anggaran gampang diakali. Didiamkan juga tidak akan basi. Malahan, bisa menghasilkan anak haram, karena berselingkuh dengan bank. Pemerintah jadinya piara banyak pengangguran. Karena mereka ogah bekerja. Takut ditonjok langsung mondok. Gawat kalau keterusan begini. Duit cuma disuruh tidur-tiduran. Mestinya mereka disuruh banting tulang. Agar terjadi perputaran uang. Sehingga sektor riil bisa jalan. Dan orang-orang gampang cari makan.
“Sekarang mah, mau bikin apa-apa susah. Kagak ada yang beli. Orang pada nggak becus duit.” Pak Dadang tak habis mengerti. Penjual gorengan itu harus tabah karena dagangannya makin sepi. Berangkat pagi, pulang dini hari. Hasilnya cuma cukup buat beli peniti. Padahal setiap hari perut minta diisi. Paling tidak sehari sekali. Dengan sepiring nasi. Tak ada lauk pun jadi. Yang penting pakai sambal. Sehingga perut terganjal.
Tapi dagangannya cuma pulang modal. Pak Dadang kesal. Kehabisan akal. Semuanya serba mahal. Gas mahal. Minyak tanah mahal. Minyak goreng mahal. Buku sekolah anak mahal. Istri jual mahal. Sudah sebulan tak mau disenggol karena belum dibelikan sandal. Si Imron jadi tumbal. Hanya bisa berkhayal. Semalaman berdiri tegak seperti rudal. Sasaran yang tersedia hanya bantal. Sarungnya kusam seperti gombal. Koyak di sana-sini belum juga ditambal.
Sementara dari atas sana, orang-orang pintar beraroma wangi dan berbusana necis terus menebar angin surga yang membuai rakyat. Dengan parameter makro-ekonomi yang hebat-hebat. Seolah hidup hanyalah sebatang cokelat.
“Ndak mudeng aku,” kata Sony kepada Fadli, adiknya punya pabrik pupuk itu.
Bunyinya canggih-canggih. Pertumbuhan naik sekian. Pengangguran turun sekian. Indikator keuangan mengesankan. Gombal. Yang bergerak kan cuma pasar modal dan pasar uang. Yang ada di genggaman tangan beberapa orang. Hanya investasi portofolio. Bikin banyak orang melongo. Kenyataannya, cari duit tambah susah saja. Laba usaha makin tipis belaka. Coba lihat kenyataan hidup yang ada di masyarakat. Dari hari ke hari mereka kian melarat.
“Tuan, datangi mereka dan hampiri. Kalau Tuan masih punya hati. Tuan akan menangis berhari-hari. Itupun kalau Tuan berani.”
Sebenarnya, tak perlu susah-susah amat untuk mengetahui bahwa ekonomi sedang dirundung masalah. Tak usah ngantor, tinggal saja di rumah. Tongkrongi TV seharian. Perhatikan silih bergantinya iklan. Sepanjang para produsen consumer goods jor-joran tebar hadiah, langsung ketahuan bahwa daya beli masyarakat sedang payah. Duit lagi susah. Sehinga banyak produk konsumsi diproduksi dalam kemasan supermini.
Tak perlu riset berbulan-bulan. Tidak perlu laporan-laporan tebal dengan beratus-ratus halaman. Tidak pula angka-angka statistik yang berkerlap-kerlip seperti bintang-bintang yang bertaburan. Tak perlu kurva-kurva yang berlenggak-lenggok kegelian. Tidak dibutuhkan profesor-profesor yang kepalanya penuh uban. Mereka, para produsen itu, adalah pelaku pasar. Mereka tahu benar realitas yang terjadi di balik pagar. Ukuran mereka cuma keluar masuknya barang di gudang. Itu doang.
Masih banyak petunjuk lain. Hanya untuk memperebutkan uang pembagian zakat sebesar lima belas ribu perak, puluhan orang harus kehilangan nyawa. Petunjuk yang lebih mengerikan, malah terpampang di mana-mana pada lembaran-lembaran kain. Tapi bukan Blue Clues yang terkadang suka menempel di kaki meja atau di tubir dinding. Bukan. Yang ini justru bikin orang merinding.
Membubungnya kredit konsumsi mengindikasikan bahwa masyarakat sedang hidup di alam mimpi. Mengumpulkan barang-barang yang sesungguhnya tak mampu mereka beli. Mereka mengambil jalan pintas. Menggadaikan hidupnya pada selembar kertas. Karena pikiran sudah getas. Untung saja masih waras. Meski bayar utang tidak pernah tuntas. Sementara cicilan motor belum juga lunas. Tapi sayang kalau harus dilepas. Biar saja dikejar-kejar orang berwajah beringas. Yang mengancam akan merampas. Akhirnya ke mana-mana bawa belati di dalam tas.
Sinetron di TV juga setali tiga uang. Setiap hari berebut jam tayang. Semuanya menebar mimpi. Keajaiban dijadikan solusi. Mengajak orang lari dari kepenatan hidup. Melupakan kesedihan yang tak berkatup. Sementara di bawah terik matahari yang tak berpenutup. Seorang preman tidur telungkup. Keringat terus menyelusup. Pakaiannya basah kuyup. Mulutnya mengatup. Perutnya bernyanyi sayup-sayup. Amarahnya gampang meletup. Karena cahaya kian redup. Sehingga bunga mawar tak mau lagi mengeluarkan kuncup. Persis sama seperti ketika India masih melarat. Filem-filem Bollywood menjual khayal kepada orang-orang yang hidup kesrakat. Setelah mulai makmur, mereka mulai beralih ke tema-tema cinta.
“Cinta? Emangnya kamu bisa kenyang dikasih makan sepiring cinta berlauk dusta.”
Pak Sabar benar-benar kehilangan kesabarannya kali ini. Dagang minyak tanah kelililing harus terhenti semenjak pemerintah demen bagi-bagi kompor dan tabung gas cebol. Puntung rokok saja harus disambung-sambung pakai lem glukol. Semua gelas sudah diloakin sama bininya sehingga terpaksa dia minum dari botol. Tempat beras sudah kosong. Meja makan melompong. Dalam keadaan nyesek begini, si Eneng, anak perawannya itu, merengek-rengek minta kawin. Padahal si Ujang, pacarnya, sehari-hari kerjanya cuma garuk-garuk punggung sama ngupil.
“Kalau kamu tetap maksa minta kawin, sono kirim SMS sama Pak Presiden. Minta ongkos.”
Presiden sesungguhnya sudah mengambil langkah yang tepat dengan menaikkan gaji PNS, tentara, polisi, pensiunan dan veteran. Diharapkan kenaikan gaji itu akan memperbesar konsumsi. Sehingga penjual nasi liwet kebagian rezeki. Dan petani bersemangat lagi menanam padi. Ibu-ibu bernyanyi ketika menanak nasi. Gadis-gadis perawan bersedagurau sambil mencuci di kali. Anak-anak rajin gosok gigi.
Tapi itu semua belum cukup berarti. Akumulasinya masih jauh dari kurang untuk membujuk sektor riil agar mau melangkahkan kaki. Perlu upaya lebih dari ini. Duit Pemda yang ngendon di bank harus dilepas agar menari-nari. Sengol sana senggol sini. Cium kanan cium kiri. Rini. Tuti. Yanti. Meti. Tari. Yuli. Prapti. Dini. Meri. Sari. Syaukani.
Perbankan kita salah, kata sebagian orang. Mereka pelit sekali kepada sektor riil. Bahkan Wapres Yusuf Kalla pernah mengancam para bankir pelat merah agar berlomba-lomba mengguyurkan kredit. “Kalau masih mau jadi direktur, tebarkan kredit sebanyak-banyaknya,” katanya, dengan nada mengancam.
Tapi, bagaimana mungkin memberikan transfusi darah kepada orang yang lagi sekarat? Kalau koit, gimana? Atau tidak mati, tapi cacat permanen, alias invalid. Siapa yang tanggung jawab? Siapa yang akan menggantikan mereka mengangsur utang? Bisa gatal-gatal kena penyakit NPL.
“Mereka butuh obat jenis lain, Pak. Namanya uang beredar. Fulus berputar. Duit melingkar. Bukan satria bergitar.”
Tender. Tender. Tender. Kamu bikin nyali orang ciut. Sudah beberapa hari Pak Gubernur selalu merengut. Nasi goreng ditolak oleh mulut. Hanya kopi pahit yang diseruput. Sebungkus rokok sudah habis disulut. Pikirannya sedang kalut. Serapan anggaran kian menyusut. Para Pimpro pada takut. Maka diajaklah seorang Bupati berlibur ke laut. Agar terurai pikiran yang kusut. Muka Pak Bupati jadi kecut. Lupa tak pakai kancut. Anunya digigit ikan cucut. Diperban pakai kasut.
“Ngapain takut?” kata Menteri Pertanian, seraya mengedarkan dokumen pengadaan benih padi unggul untuk ditandatangani secara berjama’ah oleh sejumlah pejabat tinggi negara. Bravo, Pak Anton. Sangat kreatif. Kalau tidak pakai model beginian, petani menunggu kelamaan. Bisa-bisa, karena sudah tak sabar lagi, mereka pada menanam juwet. Mau kamu makan juwet? Biar lidahmu berwarna ungu.
Pengawasan yang ketat memang wajib dijalankan. Agar tidak terjadi kebocoran anggaran. Indonesia tak mau lagi jadi juara korupsi. KKN harus diperangi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak pejabat hidup dengan berkelimpahan materi. Padahal mereka bergaji mini. Apa pun bisa mereka miliki. Sabet sana sabet sini. Mendapatkan uang berpeti-peti. Bikin bangga anak bini. Setiap tahun liburan ke luar negeri. Mobil-mobil mewah mereka getol jual tampang di tempat parkir. Perilakunya sama saja dengan tuannya yang kikir. Suka bergaya dengan muka nyinyir. Jor-joran tak mau minggir. Saling menyindir. Mentang-mentang belum diafkir.
Tapi banyak juga pejabat yang suka berpenampilan sederhana. Gemar bertegur sapa dengan siapa saja. Wajahnya selalu sumringah. Pergi ke mana saja pulangnya bawa hadiah. Ngantor pakai mobil butut. Kalau di-starter knalpotnya langsung kentut. Padahal, di garasi rumahnya, sebuah Mercy S-class, Jaguar S-type dan BMW seri tujuh sedang berikrar bersama menjalin persahabatan sehidup semati.
“Dalam keadaan apa pun, kita harus selalu mendukung tuan kita. Dalam gembira dan senang. Susah bukan urusan kita. Itu jatahnya mobil omprengan.” Kemudian mereka saling membunyikan klakson dan mengedipkan lampu depan.
Bahkan orang sering menuding Departemen Agama, yang seharusnya ditegakkan dengan moral, sebagai sarang korupsi nomor wahid. Agama urusan pribadi. Korupsi menjadi nadi institusi. Beberapa kali pergi ke sana untuk urusan tender, Sony menemukan sebuah anomali yang menjadi keseharian yang dianggap normal. Gedung jangkung yang berdiri mengangkang di sebelah barat Lapangan Banteng itu pintu depannya selalu tertutup dan dijaga Satpam. Hanya Pak Menteri dan pejabat eselon yang keluar-masuk lewat situ. Pak Satpam dengan sigap akan membukakan pintu. Sedangan karyawan dan tamu dipersilahkan lewat pintu belakang. Yang dibiarkan menganga seharian. Seolah sedang mendesiskan sebuah bisikan, “Kalau ente punya urusan, lewat pintu belakang saja.”
Kreativitas Pak Anton patut diteladani, sekaligus ditiru. Tidak hanya untuk urusan penunjukan langsung, tapi juga bisa diaplikasikan pada proses tender. Karena tak semua orang punya keberanian seperti pria berjenggot mini itu. Membuat keputusan yang cepat dan aman. Meski ada yang iseng mencoba mengutak-atik persoalan tersebut. Tuduhan tak berdasar itu mental belaka. Tak mempan. Tetap aman.
Ini hanyalah sebuah siasat. Tidak ada maksud culas di belakangnya. Dalam lingkup daerah, Gubernur, Bupati atau Walikota bisa saja melibatkan jajaran Muspida dalam kepanitiaan tender. Semacam pertanggungjawaban secara berjama’ah. Seperti yang sudah dicontohkan Pak Anton. Tinggal dibuatkan payung hukumnya. Keppres baru atau apalah namanya. Sehingga hilanglah ketakutan-ketakutan yang selama ini menghantui. Tinggal dinyalakan saja sumbunya. Karena sudah ada yang memulai. Terbukti bisa jalan dan aman.
Tak perlu ada lagi alasan takut. Karena aparat penyidik dan pemeriksa sudah terlibat di dalamnya. Sehingga mereka bisa memberikan masukan-masukan langsung mengenai apa yang boleh dan tidak boleh menurut opini profesional mereka. Memang tak lazim. Panitia tender akan menjadi lebih gemuk, karena melibatkan banyak pihak. Tapi tak ada pilihan lain. Anggap saja sebagai proses peralihan. Dan nanti bisa ditinggalkan kalau sudah ditemukan cara yang paling tepat dan aman. Daripada harus menunggu berlama-lama. Antara jalan dan tidak jalan. Keadaan yang mengharuskan menempuh cara seperti itu, agar semua merasa terlindung. Agar proyek-proyek bisa menggelundung. Agar uang Pemda yang sedang bertapa itu mau turun gunung.
Pak Presiden, bikin saja Keppres baru secepatnya. Agar pembangunan segera berderap melangkah. Agar kegiatan ekonomi berdenyut di daerah. Agar dunia usaha tidak makin susah. Agar sektor riil kembali bergairah. Agar uang menari-nari. Agar meningkat daya beli. Agar pasar dan mall tidak lagi sepi. Agar laku sepatu bikinan Pak Munali. Agar mbok jamu kembali menumbuk lumpang. Agar tukang becak dapat banyak penumpang. Agar penjahit kebanjiran pelanggan. Agar nelayan gembira melempar umpan. Agar pak tani bersemangat menanam padi. Agar peternak mau mencium sapi. Agar gilingan tahu terus berputar. Agar bakul pecel bisa membelikan anaknya sebuah gitar. Agar dokter makin akur dengan apoteker. Agar Sony dapat banyak order.
Wahai proyek …. Kemarilah kamu. Langkahkan kakimu. Goyangkan pinggulmu. Rentangkan tanganmu. Janganlah malu-malu. Tender sudah menunggu. Pak Bupati mau pakai cara baru. Agar ketakutan segera berlalu. Sehingga uang tidak tidur melulu. Ayo beli kayu. Di ujungnya ditancapkan paku. Jembatan dibangun. Martil mulai mengayun. Gergaji berjoget naik-turun. Para kuli mengangkut batu. Pak Mandor tak lagi menggerutu. Pak Pimpro mengisap cerutu. Sementara warung tegal menyiapkan santap siang. Tukang ojek sibuk berlalu-lalang. Anak-anak asyik bermain layang-layang.
Hari ini Pak Gubernur meninjau pembangunan jalan. Yang sudah lama terhenti di tengah jalan. Sehingga tanda seru harus dipasang di badan jalan. Agar kendaraan pelan berjalan. Sebentar lagi cerita itu tinggal riwayat. Yang menggantung pada seutas tali kawat. Pagi itu pita merah telah digunting. Tong-tong aspal langsung didorong berguling-guling. Batu ditata rapi menutup sarang cacing. Kerikil ditabur merata di punggung kakaknya. Aspal panas dituangkan di atasnya. Pasir halus menjadi bedaknya. Jalan itu kini bersolek. Sehingga tampak lebih molek. Jalan itu kini terawat. Sehingga tidak dipenuhi lagi dengan jerawat.
Tukang urut tangannya pegal. Kesemutan, memijit tubuh-tubuh yang kenyal. Sudah tiga minggu kuli-kuli itu kerja lembur. Mengejar target yang telah ditetapkan juru ukur. Tapi mereka senang. Karena upah terus berbilang. Tak perlu lagi ngutang ke warungnya Bu Ipah. Di kantong sudah ada segepok upah. Rokok lintingan tak lagi mereka sentuh. Djie Sam Soe dibeli sebungkus utuh. Cincin kawin ditebus dari pegadaian. Suami pulang disambut belaian. Setelah kecapaian senam bersama mereka tidur berpelukan. Sayup-sayup terdengar nyanyian.
“Wahai fulus. Kuingin kau berputar terus. Agar anakku tak sampai kurus. Keluargaku jadi terurus.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar