Sabtu, 27 Desember 2008

9. Hormon

Manusia pada dasarnya adalah makhluk seksual. Karena mereka senantiasa mempunyai kebutuhan dan dorongan yang meluap-luap untuk berseksualisasi terhadap lawan jenisnya. Baik kepada yang setia menunggu di rumah maupun yang bertebaran di sepanjang jalan. Baik yang mangkal di sepanjang rel kereta ataupun yang bersandar santai di sofa empuk lobby hotel mewah.
Dari sinilah tumbuh organisasi-organisasi seksual. Tak bernama. Tak terdaftar di Depdagri. Tak pernah menggelar muktamar. Tak pernah unjuk gigi. Tak pernah ramai-ramai ikut berdemo. Tak punya jam kerja tetap. Tak berkantor. Tapi massanya menyemut. Mulai dari yang sekelas Stasiun Dukuh Atas, Taman Lawang hingga gerombolan-gerombolan eksklusif yang berseksualisasi sambil berdugem ria di hotel-hotel berbintang. Tak peduli tempatnya elit ataupun kumuh, pelakunya sama saja, makhluk seksual.
Pada sisi lain, banyak spesies hewan menjalani kehidupan sebagai makhluk sosial. Mereka hidup bermasyarakat untuk saling melindungi dan memperhatikan, juga saling mengasihi dan dikasihi. Membentuk masyarakat madani yang rukun dan beradab. Tanpa demo setiap hari. Tatakrama dijunjung tinggi. Saling hormat menghormati. Dengan menganggukkan kepala dan membungkukkan badan. Seperti semut-semut yang sedang berpapasan ketika merayap di tembok. Mereka berhenti sejenak. Saling bertukar kabar.
Bahkan beberapa spesies hewan sangat mengagungkan nilai-nilai perkawinan yang sakral, dengan menolak poligami di lingkungan mereka. Kuda laut, misalnya, hanya mengenal satu pasangan sepanjang hidupnya. Kesetiaan dalam kasih sayang juga ditunjukkan oleh mimi lan mintuno yang ke mana-mana selalu pergi berduaan. Laiknya sepasang remaja yang sedang hangat-hangatnya berpacaran. Seperti sepasang pengantin baru yang sedang berbulan madu.
Namun, sebagai spesies cerdas, manusia pintar mengatur cara berseksualisasi yang aman, nyaman dan menyenangkan. Bersiasat sambil memunggungi istri. Daun muda menggelayut di lengan kiri. Gadis ABG memacu produksi hormon lelaki. Obat kuat menggantikan suplemen yang diminum setiap hari. Sate kambing tak lagi disantap pakai nasi. Harus selalu siaga bila tiba-tiba ada ikan asin berselonjor kaki. Menerbitkan selera makan meski tanpa sambal terasi.
Melanggar hukum manusia boleh-boleh saja, kata mereka, asal tak hingar-bingar atau ketahuan. Mengkhianati pasangan yang setia menunggu di rumah juga tak apa, asal nafkah lahir-batin tetap rutin diberikan. Melanggar hukum Tuhan? Syukurlah, banyak makhluk seksual yang masih takut melakukannya. Tapi, bagaimana caranya agar bisa tetap berseksualisasi di mana-mana dan kapan saja tanpa perlu menabrak hukum Tuhan?
Poligami adalah jalan keluarnya. Namun, meski sah secara agama, poligami tetap ilegal bagi hati yang terluka. Meski dibolehkan oleh syariah, tetap saja diharamkan oleh tatapan mata yang berduka. Meski dibela habis-habisan oleh makhluk-makhluk seksual, tetap saja dikecam oleh kesadaran sosial. Dalam kenyataannya, poligami lebih sering menghadirkan masalah daripada faedah. Tapi mereka pandai berkilah. Dengan berseloroh mengatakan, “Poligami enaknya cuma sedikit, tapi nikmatnya selangit.”
Poligami memang tidak diharamkan, tapi sebaiknya dihindarkan. Tapi apa daya. Kata orang, dari sononya kaum pria punya kecenderungan berpoligami, yang bagi sebagian besar kaum perempuan, kalau tak mau dikata semua, dipandang sebagai ketidakadilan, pengkhianatan, dan kesewenang-wenangan.
Namun ada juga kelompok perempuan yang tidak menentang poligami dengan alasan normatif. Memberikan dukungan kepada kaum pria yang kalau malam menjelang suka berubah menjadi hiperaktif. Mereka kukuh membela para pelaku poligami yang jelas-jelas tanpa merasa bersalah gemar menciderai perasaan kaumnya sendiri.
Mungkin, perasaan mereka sudah mati. Atau, tak lagi mempunyai hati. Hingga rela disakiti. Poligami diperbolehkan dalam hukum agama, sebagai emergency exit untuk menghindarkan zinah, demikian alasan mereka. Tapi hati kecil mereka pasti berontak. Tidak seperti raut wajah mereka yang terlihat dingin dan kaku. Ketika dengan gagah berani mengatakan ikhlas suami mereka menambah madu. Itu bohong besar. Hati mereka pasti remuk, berkeping-keping seperti pecahan kaca.
Agama sering dijadikan pembenaran untuk urusan yang satu ini. Bagian yang enak-enak selalu dikedepankan. Sisi-sisi yang tidak menguntungkan dan dinilai potensial merecoki kenikmatan surga dunia di pangkal paha pasti langsung dikaburkan. Kalau perlu disembunyikan. Dianggap tidak pernah ada. “Kan, Rasulullah beristri lebih dari satu,” tangkis mereka sambil mengulum senyum kemenangan. “Kita ikuti jejak Rasul,” tambah para monogam itu dengan berapi-api.
Sudah ngawur, kompak pula. Itu namanya memfitnah Rasul. Sangat berbahaya. Orang-orang yang pemahamannya kurang akan mengira Nabi Muhammad tukang kawin. Padahal beliau seorang monogam, dan bukan pula penganjur poligami. Beliau seorang kekasih yang sangat mengagungkan kemuliaan cinta. Selama seperempat abad berumah tangga dengan Khadijah, tak pernah sekalipun beliau menduakan istri yang begitu dicintainya itu. Karena beliau tahu, bagaimana menjaga perasaan wanita. Beliau juga tahu, bagaimana cara mengendalikan diri. Pertama, puasa. Kedua, puasa. Ketiga, puasa. Keempat, puasa. Dan seterusnya, puasa.
Baru setelah istrinya wafat, Nabi Muhammad menikah lagi. Itu pun dengan tujuan yang sangat mulia, yakni mengayomi janda-janda yang ditinggal mati oleh para syuhada. Beliau sedih sekali melihat banyak janda yang terlantar dan hidup susah tanpa perlindungan ekonomi setelah ditinggal mati oleh suami-suami mereka yang berkorban nyawa di medan laga. Maka dinikahilah mereka agar terayomi secara baik. Diangkat martabat dan derajatnya. Diberikan nafkah lahir dan batin yang menjadi hak mereka. Hanya seorang yang masih perawan ketika dinikahinya, yaitu Aisyah. Bahkan Nabi sempat gundah dan marah ketika Ali, sahabat yang sekaligus menantunya itu, hendak tambah istri. Jadi, jelas di sini, Nabi Muhammad sama sekali bukanlah penganjur poligami.
Lain dulu lain sekarang. Poligami yang berkembang belakangan justru sangat berbeda. Lebih didasari oleh ledakan-ledakan hormonal yang tak terkendali. Akibat mata iseng bin mesum yang setiap hari melirik kesana-kemari. Testosteron dibiarkan melakukan kudeta. Menobatkan diri sebagai raja. Memerintah dengan tangan besi. Agar terpuaskan gelegak birahi.
Memang, ada juga yang beralasan menolong janda. Mulia sekali kedengarannya. Tapi, bila begitu maunya, pilih saja janda tua, yang sudah peot dan giginya tinggal dua. Itu baru namanya mengikuti sunnah Rasul. Lha, ini kok pilih janda kembang yang montok, segar, bening, molek dan semloheh. Ser … ser … seeer …. Hayooo … jangan bo’ong.
Tak usah cari alasan macam-macam. Terus-terang saja. Bilang, remnya agak blong. Si Imron susah tidur di malam hari. Bawaannya gelisah melulu. Sebentar tidur, sebentar bangun lagi. Terserang penyakit insomnia akut. Lima belas butir pil tidur dan sepapan obat migren sekali telan masih juga tak mempan. Dibutuhkan jamu supermujarab untuk menghilangkan rasa pening di kepala Imron. Agar bisa tidur pulas, setelah berolahraga berat di malam hari.
Atau, dicari alasan lain yang lebih bergaya. Sudah bosan. Tiap hari hanya dikasih makan nasi plus lalapan. Lauknya cuma gurame bakar. Boleh dong, sekali-kali ma’em steak. Pilih tenderloin. Jangan terlalu matang. Bukan pula well-done. Apalagi yang garing dan gosong. Ogah. Medium saja. Kalau dikunyah masih terasa kenyal-kenyil di mulut. Dagingnya agak manis dan juicy.
Semakin berkilah, sudah pasti cenderung semakin defensif. Bawaannya malah stres. Mau ngomong takut salah. Muka jadi blingsatan. Mau berdiri dengkul masih gemetaran. Mau duduk pinggang masih pegal. Mau jawab begini takut ditanya begitu. Selalu merasa akan diserang melulu.
Padahal, di luaran sana banyak sekali media massa raja jail yang gemar menunggu orang salah bicara. Memancing-mancing dengan umpan sepotong keju dan segelas susu. Begitu keseleo lidah, habislah sudah. Mereka sangat jago menggoreng kacang. Jagung bontet jadi popcorn gurih di tangan mereka. Terpaksa, harus bersusah payah lagi menyiapkan jawaban berikutnya. Putar otak. Cari alasan. Cari pembenaran. Dengan cara apa pun. Bahkan, kalau perlu, dengan mengatasnamakan keikhlasan istri pertama untuk dimadu. Tega-teganya.
Sekalipun bisa menggandeng kedua istri yang kelihatan saling akrab di depan umum layaknya sebuah sirkus, akal sehat tidak bisa dibohongi. Demi cintanya kepada keluarga, terutama anak-anak, istri pertama terpaksa dan rela disuruh pakai baju yang sama dengan istri kedua untuk dijadikan tontonan konyol walaupun hatinya perih seperti disayat-sayat pakai cutter yang sudah tumpul. Ditaburi garam pula. Wajahnya memang kelihatan selalu senyum di depan umum, tapi siapa yang bisa menyelam ke dasar hati manusia.
Hampir bisa dipastikan, sesampainya di rumah pasti buru-buru masuk kamar. Pintu langsung dikunci dari dalam. Menangis sejadi-jadinya. Tak peduli anaknya yang masih kecil menjerit-jerit dan berguling-guling mencari mamanya. “Sabar dulu ya, nak. Sekarang gantian mama yang nangis. Besok-besok baru kamu lagi.”
Di dunia ini, mana ada wanita yang mau diduakan, apalagi ditigakan, diempatkan. Kecuali wanita yang tidak normal. Dalam arti bahwa dia menjadikan dirinya sendiri tidak normal karena ada sesuatu yang dikejar, misalnya keutuhan keluarga, masa depan anak, harta, status sosial dan lain sebagainya.
Mereka terpaksa menitipkan hati yang tersayat di rumah gadai, sebagai ganti dari lembaran-lembaran rupiah yang memenuhi dompet. Yang masih tertinggal di badan hanyalah sebatang nyawa, tanpa sekerat hati. Namun, sepintar-pintarnya mereka berbohong menutupi hati yang robek, akan terlihat garis tebal di bagian atas dan bawah kedua matanya. Sembab. Semalaman nangis melulu. Sebab, hanya rasa yang tak pernah bohong, kata sebuah iklan produk kecap.
Kurang opo to, Oom? Istri kan masih segar-bugar, ayu tenan, senyumnya manis, berbakti kepada suami, ibadahnya tekun, dan tentu saja, tak kalah bening. Hanya saja, mungkin sudah agak well-done. Tapi itu kan manusiawi. Gosong-gosong sedikit tak apalah. Di mana-mana juga begitu. Siramkan saja mushroom sauce agak banyakan. Tambahkan sedikit mayonnaise. Bila dirasa masih kurang, minta secawan acar. Biar ada rasa manis dan asam. Pasti enak di lidah. Dijamin, minta tambah.
Lagian, anak-anak kan sedang lucu-lucunya. Harta berlimpah. Bisnis menggurita. Kawan di mana-mana. Ketenaran sedang di puncaknya. Apalagi, Oom kan pernah bilang, istri satu saja nggak habis-habis, ngapain mesti nambah.
“Sudahlah, ndak usah didengerin. Itu orang bisanya ngomong doang,” kata Titin, pembantu Sony, dengan nada sewot bercampur kecewa. Dia telah kehilangan panutannya.
Semua orang tahu, Nabi Muhammad menikah lagi setelah istri pertama beliau meninggal. Nah, jawab apa loe, sekarang. Kalau benar-benar mau mengikuti teladan Rasul, jangan menikah lagi sepanjang istri masih bernyawa. Kalaupun setiap malam kepala terasa berkunang-kunang, ditahan saja. Lama-lama juga hilang sendiri.
Tapi Sony mendapat kiriman SMS dari seorang teman, memberikan solusi paling tepat untuk kondisi yang demikian. Bila sudah tak tahan lagi dan tetap ngotot mau poligami, sebaiknya menyewa Sumanto agar memakan istrinya yang masih hidup itu hingga mati. Baru kemudian kawin lagi. Sudah terpenuhi sunnahnya. Gampang, kan? Biayanya juga tidak terlalu mahal. Dibayar pakai duit ribuan sebanyak satu tas kresek, Sumanto sudah girang bukan kepalang. Kalaupun agak nglunjak, paling-paling cuma minta dibelikan motor.
Namun, ada juga lho seorang karib Sony yang benar-benar mengikuti sunnah Rasul. Ini asli. Bukan mengada-ada. Bukan pula rekayasa. Jadi, begini ceritanya. Menikahi seorang mualaf, Pak Achmad Kusumo belum juga dikaruniahi keturunan meski sudah berumah tangga lebih dari dua dekade. Tapi Pak Kus, demikian teman-teman biasa memanggilnya, tak pernah mempersoalkannya. Memang, dia ingin punya anak, seperti kebanyakan kawan-kawannya. Tapi pria kelahiran Surakarta itu tetap bersabar meski doanya belum juga dijawab.
Sang istri lama-kelamaan merasa tidak enak juga. Beberapa kali mendorongnya untuk menikah lagi agar segera punya anak. Tapi Pak Kus selalu menolak usulan itu dengan halus. Setiap kali diminta menikah lagi, karyawan sebuah bank swasta tersebut pasti menampiknya. Mungkin dia tidak tega melukai hati istrinya yang kelihatan tegar ketika menawarkan solusi yang mahamenguntungkan itu.
Sony yakin, walaupun jumlahnya sudah tidak begitu banyak lagi, dan bisa pula dibilang langka, selalu ada pria sejenis Pak Kus, di mana pun, di masa apa pun. Pria yang begitu mengagungkan cinta. Pria yang sangat memahami perasaan wanita. Pria yang tulus. Pria yang lebih suka mengalah. Pria yang lebih memilih mengesampingkan keinginan pribadi. Kaum wanita tentu akan trenyuh dan terharu dengan sikap Pak Kus.
“Tak semua, laki-laki ….,” kata Basofi Sudirman dalam senandungnya, seolah ingin menegaskan bahwa pria seperti itu memang belum punah dari muka bumi. Tapi, bagi kebanyakan pria, Pak Kus tak lebih dari seorang pecundang. Komentar tipikal akan langsung keluar dari mulut mereka yang bau. “Goblok, loe! Kesempatan, Broer! Hanya sekali seumur hidup. Tak akan pernah datang lagi.”
Kalau Allah berkehendak, tidak ada sesuatu pun yang bisa menghalangi. Istri Pak Kus meninggal karena kanker rahim. Tentu dia sedih sekali. Ditinggal pergi oleh istri terkasih. Namun dia tidak larut dalam kesedihan yang berlama-lama. Kehidupan toh, harus terus berjalan. Kalau harus menikah lagi, ya sudah. Mungkin memang begitu jalan yang sudah digariskan.
Tapi, kali ini, pria yang sudah hampir seperempat abad mengais rezeki di Jakarta itu mematok sebuah syarat. Calon istrinya harus hafal Al-Qur’an. Tidak seperti Mang Ujang, juragan pangkalan gas dan air minum isi ulang tak jauh dari perumahan di mana Sony tinggal, yang membuat target besar dengan parameter serba fisik. Bodinya harus kayak gitar. Jalannya seperti kucing lapar. Irit di dapur. Boros di tempat tidur.
Kabar terakhir sungguh menggembirakan. Pak Kus akan segera menikah dengan seorang gadis yang taat beribadah dan hafal Al-Qur’an. Persis seperti yang dia idam-idamkan. Undangan langsung disebar. Pernikahan yang dilangsungkan di sebuah tempat yang ndeso itu berjalan khidmat. Dihadiri oleh para kerabat dan sahabat. Mereka berbagi kegembiraan.
Sony sangat terharu melihat kebahagiaan terpancar dari raut muka sahabatnya itu. Tulus dan bersih, meski kulitnya agak gelap. Senang rasanya melihat kawan yang berbahagia. Setelah beberapa hari berbulan madu di bahwa selimut dingin hawa pedesaan, namun dalam dekapan hangat istri idaman, akhirnya Pak Kus memboyong istri barunya itu ke Jakarta, kota tempat dia mencari nafkah.
Ini baru namanya mengikuti sunnah Rasul. Tak perlu repot-repot membolak-balik Al-Qur’an ataupun membuka-buka Hadits untuk mencari-cari pembenaran dan justifikasi yang paling masuk akal atas hasrat poligami yang meledak-ledak itu. Wong, semuanya sudah jelas, kok. Bagaimana kehidupan perkawinan Nabi Muhammad, dalam konteks apa beliau menikahi janda-janda yang ditinggal mati perang oleh para syuhada. Semuanya jelas. Terang benderang. Bahkan, sebagai manusia biasa, Nabi juga dilingkupi kekhawatiran kalau-kalau tidak bisa berlaku adil kepada istri-istrinya. Karena beliau menyadari bahwa kasih sayangnya lebih banyak tercurah kepada Aisyah, yang dinikahinya dalam keadaan perawan itu.
Adil? Banyak pelaku poligami yang dengan percaya diri mengatakan bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tentu saja, itu menurut ukuran mereka sendiri. “Kan, masing-masing sudah dibangunkan rumah, dan setiap orang sudah dikasih pabrik sarung untuk sumber penghidupannya.”
Mengenai jadwal siskamling, jaga bergilir – dijamin kegiatan yang satu ini tak akan pernah membuatnya mengantuk seperti dalam siskamling sungguhan, cuman melek-merem – sudah dibuat dan disusun programnya dengan bantuan pakar telematika RM Roy Suryo. Di setiap rumah keempat istrinya sudah terpasang komputer yang masing-masing terhubung dalam jaringan tertutup. Terhubung langsung melalui satelit. Monitor akan berkedap-kedip untuk memberi tahu jadwal jaga. Tak mungkin meleset. Kalaupun ada sedikit deviasi, pasti hanya kesalahan komputer. Paling-paling lagi hang, atau error. Tak perlu diributkan.
Tapi, ada pula yang mengamalkan tuntunan Al-Qur’an secara konsisten dan konsekuen. Selalu patuh dengan batasan empat orang istri. Bisa menikah berkali-kali, asal istri yang sah jumlahnya tak boleh lebih dari empat orang. Jadi, kalau ingin kawin lagi, salah seorang istrinya yang sudah tidak piawai lagi meredam letupan-letupan hormonal yang terus berkobar-kobar, biasanya karena sudah well-done, agak sedikit gosong, harus diceraikan dulu. Setiap kali selalu begitu, terus-menerus. Tidak ada ujungnya. Alasan perceraian bisa dicari. Bahkan, kalau kefefet, tak perlu alasan sama sekali. Baru kemudian diambil satu orang istri lagi – biasanya perawan ting-ting, dan umurnya baru belasan tahun – yang memiliki daya serap dan daya redam kuat terhadap eksplosi hormonal yang dahsyat itu.
Namun, yang lebih unik lagi, ada juga yang berpoligami untuk membuktikan semangat nasionalismenya yang menggelora. Keempat istrinya masing-masing berasal dari suku yang berbeda-beda. Tujuannya, mempererat persatuan dan tali kebangsaan dalam kebersamaan yang nikmat. Agar tidak bertumbuh subur gerakan separatis di pelosok negeri. Tapi rasa-rasanya gelora nasionalisme itu tak akan pernah sepenuhnya bulat sebelum berhasil mencicipi para Srikandi dari semua suku yang ada di seluruh penjuru Nusantara.
Kalau begitu, Sony punya usulan jitu. Begini saja Pakde. Kalau ada umur, bikin safari rutin untuk berburu mangsa. Paling tidak digelar setahun sekali. Cerai satu ambil lagi satu. Atau, kalau mau kejar target, bisa sekalian cerai empat ambil lagi empat. Agar menjadi pelajaran berharga bagi generasi mendatang, kayaknya perlu didokumentasikan dengan video.
Maka video mesra itu pun bikin gempar. Beredar dari satu handphone ke puluhan juta HP lainnya. Persis seperti pesan berantai. Para operator seluler menangguk untung besar. Adegan intim berdurasi kurang dari semenit itu diburu orang. Versi VCD-nya laris manis bak kacang goreng. Para pengganda dan pedagang VCD di kota kecipratan rezeki. Gosip di TV pun menjadi acara yang ditunggu-tunggu, dan karenanya, dipadati iklan.
Seorang artis pemula, yang wajahnya jarang-jarang nongol di layar kaca, tiba-tiba saja menjadi primadona. Laron-laron berkamera terus menguntit ke manapun dia melangkah. Melontarkan pertanyaan bernada simpatik namun menjebak. Memposisikannya sebagai karakter yang teraniaya. Padahal, mereka sengaja berkomplot untuk menjadikannya sebagai bahan olok-olok. Bagaimanapun, sengaja ataupun tidak, tayangan mesum itu mampu menggairahkan ekonomi yang sedang lesu, meski dalam skala yang kecil. Terima kasih, Non, Oom.
Wajah ayu sang primadona terus menghiasi layar kaca dan halaman muka tabloid gosip. Wawancara eksklusif dan acara talkshow harus rela menunggu dalam giliran yang panjang. Sang primadona tampaknya menikmati benar siraman cahaya lampu kamera. Pagi di situ. Siang di sini. Sore di sana. Malam di sono. Piawai berperan sebagai korban sekaligus pemenang. Dengan lelehan air mata dan senyum gemilang.
Tapi, sandiwara tanpa sutradara itu berjalan timpang. Karena sang aktor, yang memilih ngumpet, hanya muncul sekelebat. Bersembunyi di balik punggung manajer sekaligus istri yang dengan cerdas melayani pertanyaan-pertanyaan jail para wartawan. Dia berhasil menciptakan pencitraan tandingan. Seorang istri yang tabah dan setia mendampingi suami yang sedang dirundung kemalangan. Simpati langsung mengalir. Dan muncul karakter baru, seorang wanita yang tabah dan kuat.
Seorang wanita yang tabah dan kuat. Benar-benar kuat. Sendirian saja dia menghadapi keroyokan kamera. Dengan wajah tanpa ekspresi, wanita beranak satu itu menyatakan mengundurkan diri sebagai istri seorang pesohor yang pernah terantuk kasus serupa. “Saya mengundurkan diri,” katanya, sambil menunjukkan foto-foto pernikahan siri dan gambar bayinya yang imut.
Televisi menggantikan fungsi lembaga agama. Seperti juga ketika seorang satria bergitar menyatakan kepada sekelompok wartawan yang sedang mengerubutinya di rumah sakit bahwa dia menceraikan istri sirinya. Perceraian jarak jauh itu baginya sudah sah. Sementara di ujung sana, seorang perempuan blasteran berwajah jelita langsung pingsan mendengar dirinya ditalak lewat kotak bernyanyi. Namanya juga pernikahan di bawah tangan. Jadi, kalau mau bercerai, cukup dengan mengibaskan tangan.
Belum lagi gadis-gadis yang menangis tersedu-sedu di tayangan-tayangan gosip seraya membeberkan pengakuan telah berkali-kali ditiduri oleh idola mereka yang suka berjingkrak-jingkrak di atas panggung. Sebagian malah sudah menghasilkan anak yang, setiap hari, katanya, mencari-cari bapaknya. Semakin banyak saja kasus perselingkuhan para pesohor negeri ini yang akhirnya menjadi bahan guyonan publik. Ruang privat dipindahkan ke halaman-halaman depan tabloid gosip dan memenuhi bidang datar kotak bergambar.
Begitu berkuasanya hormon testosteron atas manusia, sehingga seorang musisi congkak bahkan harus saling berbantahan dengan orangtua kandungnya sendiri melalui layar kaca. “Anak durhaka.” Sebuah kutukan yang hanya akan keluar dari mulut orangtua yang merasa sudah tidak dihargai lagi omongannya.
Air susu dibalas tuba. Sudah tanggung, sekalian saja. Daripada kehilangan muka, maka digeberlah manuver akrobatik yang bikin banyak orang mengelus dada. Mengumbar amarah lewat media. Meneror istri dengan kata-kata. Mengusir istri yang masih menggantung statusnya. Memisahkan anak dari ibunya. Membutakan mata. Menulikan telinga. Membusungkan dada. Seolah harta dan kejayaan adalah segalanya. Harta dunia, Mas, kalau Tuhan berkehendak mengambilnya, dalam sekejap juga tak akan bersisa.
Seorang wakil rakyat di Republik Mimpi bahkan harus berseteru dengan para petinggi partainya karena berpoligami. Permohonan recall pun diajukan kepada Ketua Dewan. Namun recall malah berbuah mosi tidak percaya kepada jajaran pimpinan partai. Urusan pangkal paha mampu memecah belah partai.
“Apa hubungannya poligami dengan kedudukan ana di DPR?” sergahnya dengan sengit. Perang pernyataan segera berhamburan di media massa yang pada dasarnya memang gemar mengompori. Pengadilan juga ikut disibukkan. Wah-wah. Masih banyak soal besar lainnya, Bung, daripada sekedar urusan syahwat ini.
Akhirnya kompor itu meledug juga. Presiden Si Butet Yogya, yang pernah dengan berapi-api mengusung isu antipoligami, menandatangani persetujuan recall. Berang. Marah. Geram. Itulah kesan yang muncul secara telanjang dan tak bisa ditutup-tutupi. Lidah-lidah api langsung menjilati apa saja yang ditemui di sekelilingnya. Tumpahan minyak yang berceceran kian mengobarkan si jago merah sehingga makin sulit dijinakkan. Meski beberapa orang petugas pemadam sudah mencoba menyelimutinya dengan karung goni yang dibasahi air, ditambah dengan semprotan kencang air got, tapi nyala api itu terus membesar. Karena ada juga kerumunan yang menyemprotkan bensin dengan selang kecil melalui tangan yang tersembunyi di balik punggung.
“Pengadilan saja belum memberikan putusan final, kok ente sudah tanda tangan. Ngawur ini.”
Tak berapa lama, jilatan api kemarahan itu sudah tidak bisa ditahan lagi. Lidah-lidah api akhirnya mengkristal membentuk upil, dan kemudian menggelinding kesana-kemari menjadi upil liar yang menyala-nyala. “Emangnya eloe kagak pernah poligami? Ada buktinya. Nih! Nih! Nih!” kata Bang Sobri dengan geram.
Dituduh demikian, Presiden yang asli kelahiran Yogjakarta itu meradang. Kantor Polisi jadi serba kerepotan ketika Presiden Si Butet Yogya beserta istrinya datang ke sana membuat laporan mengenai fitnah yang dituduhkan kepadanya. Tapi koboi yang gagah berani itu pantang mundur. Maju tak gentar. Terus serang. Ngapain takut? “Ini buktinya,” sergahnya dengan ketus, seraya menyorongkan dokumentasi foto-foto kusam mengenai klaimnya tersebut kepada para pimpinan lembaga tertingggi negara.
Tentu saja tak ada yang perlu ditakuti oleh Bang Sobri. Malahan, polisi saja suka keder kalau harus menyetop mobil anggota Dewan yang melanggar rambu lalu-lintas. “Galakan mereka daripada kita. Ya sudah. Dibiarkan saja lewat,” kata Gultom, tetangga Sony yang sudah delapan belas tahun jadi polisi.
Mereka-mereka ini, pintar berdebat, bermain dengan kata-kata yang melingkar-lingkar. Dengan kalimat-kalimat yang keriting. Di mana pun dan kapan pun, akan selalu mengambil kesempatan untuk berbicara, karena merasa bahwa selama ini mereka digaji untuk ngomong. Kalaupun ada yang kurang pintar bicara, biasanya sangat berani ngomong ngawur. Salah kan tidak bayar, kata mereka. Anggota DPR, je. Tapi, orang galak biasanya penakut. Cilik atine, kata oom Sony yang tinggal di Yogya. Begitu digertak balik, pasti langsung mungsret.
Sebentar. Sebentar. Jangan meremehkan orang. Jangan underestimate, kata Tukul, dengan mulutnya yang monyong itu. Tapi, tampaknya memang tidak ada sesuatu pun yang ditakuti oleh Bang Sobri yang gagah berani itu. Apalagi kalau lagi murka, dengan wajah merah dan tatapan mata yang mengancam. Semua orang di sekelilingnya pasti pada gemetaran dibuatnya.
Tapi, mustahil tak ada sesuatu pun yang ditakutinya di dunia ini. Bisa jadi semua tingkah polahnya itu merupakan manifestasi dari ketakutannya sendiri kalau-kalau istri mudanya minta cerai karena dia sudah tidak lagi ngantor di parlemen. Bukankah sering dijumpai orang yang galaknya minta ampun, tetapi kalau sampai di rumah suka mengkeret seperti kucing yang baru saja disiram dengan air seember? Tanya saja sama Pak Taka.
Syukurlah, silang sengketa itu tidak berlarut-larut dan melebar ke mana-mana. Dengan sikap seorang kesatria, Bang Sobri akhirnya membuat penyataan maaf di media. Bravo! Salut, Bang! Selesai sudah. Ini baru namanya gentleman. Tak perlu dipanjang-panjangkan.
Apresiasi pantas dialamatkan kepada para pimpinan lembaga tertinggi negara yang menyikapi secara dingin dan bijak soal remeh-temeh itu. Namun, penghargaan tertinggi harus diberikan kepada Bang Sobri, sahabat yang secara dewasa memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi persoalan itu lebih jauh. Juga kepada Presiden Si Butet Yogja yang – walaupun tetap memperkarakannya ke pengadilan – menganggap masalah tersebut selesai begitu saja. Mereka orang-orang yang berhati besar, berjiwa besar. Hidup Bang Sobri!
Wakil Presiden Jarwo Kuwat yang membocorkan highly classified information itu kepada Sony, dengan imbalan sekantong kacang rebus. Mana mungkin hal-hal konyol seperti itu ada di Indonesia tercinta. Tak mungkin. DPR isinya kan orang-orang terhormat dan terpelajar. Mereka orang-orang pilihan, yang tersaring dari dua ratus tiga puluh juta rakyat Indonesia. Jadi tidak mungkin ada anggota parlemen yang mau bertindak bodoh dan mempermalukan diri sendiri dengan cara sekonyol itu. Mereka cukup sadar, bahwa mereka hidup di Republik Nyata, bukan di Republik Mimpi, apalagi Republik Mimpi Di Siang Bolong. Pun, para pejabat negeri ini juga pintar-pintar, dan baik-baik orangnya. Betul kan, Pak JK, eh, Pak Jarwo Kuwat?
Tapi, tunggu dulu. Apakah semua ini dan kasus-kasus sejenisnya bisa menjadi pelajaran berharga bagi semua orang? Sebagai warga negara, Sony berharap demikian. Sebab dia termasuk salah seorang dari jutaan rakyat Indonesia yang merasa sangat cemas melihat potensi besar erupsi libido para koboi parlemen yang sama sekali tak terkontrol.
Mereka gemar berseksualisasi dengan siapa saja dan di mana saja. Sebagai makhluk seksual, mereka merasa acara kongkow-kongkow tak lagi asyik tanpa berseksualisasi dengan makhluk seksual lainnya dari jenis yang berbeda. Semua harus diseksualisasikan. Saking gundahnya, seorang politisi senior bahkan sampai beberapa kali mengeluhkan hal tersebut kepada media, dengan menunjuk sebuah hotel supermewah yang terletak tak jauh dari gedung parlemen sebagai sarang para penyamun itu membuang iler macan.
Sebagai orang tua, sepertinya beliau merasa sangat risih menyaksikan manusia-manusia berperilaku seperti hewan di sekelilingnya. Sudah bosan dan capek menasehati mereka. Sampai-sampai rambutnya banyak yang mbrodol. Kayaknya, beliau ingin masyarakat bertindak.
Ya ndak mungkinlah, Mbah. Mustahil masyarakat menggrebek pasangan-pasangan mesum di hotel supermewah seperti ketika Simbah membayangkan mereka merangsek ke sebuah rumah petak di ujung gang di mana Tukini dan Tukino – bakul jamu yang suaminya nguli di Jakarta dan tukang ojek yang ditinggal istrinya jualan keringat di Arab Saudi itu – tengah asyik mahsyuk di atas selembar kasur belel yang berhiaskan bercak-bercak peta Kepulauan Seribu.
Bagaimanapun, ini memang berbahaya. Generasi koboi berikutnya bisa jadi akan lebih ganas lagi. Harus dihentikan kebiasaan buruk itu secepatnya. Kalau tidak, bisa-bisa mereka akan berjuang habis-habisan untuk menuntut diberikannya tunjangan iler macan secara bulanan. Bahkan, kabar yang santer beredar, kaukus ini pernah memanggil Gubernur Jawa Barat untuk di-briefing, agar melaksanakan pelebaran jalan menuju rumah Mak Erot. Kalau perlu, di-hotmix sekalian. Agar kunjungan kerja bisa lancar. Sayang, Mak Erot keburu meninggal sebelum jalan yang menuju ke rumahnya sempat diperlebar.
Kabar yang lain malah lebih menghebohkan. Disebutkan bahwah beberapa orang koboi parlemen sedang mendekati Moammar Emka untuk menjadi pemandu sekaligus panelis dalam sebuah acara seksualisasi akbar dan jambore seks di lapangan parkir Kebon Binatang Ragunan, yang malam pembukaannya akan mereka siarkan secara live di empat stasiun TV.
Sebenarnya sudah ada teguran keras yang dilayangkan kepada mereka, dari beberapa makelar mobil mewah. Kendaraan bekas pakai sejumlah anggota Dewan, yang masih seumur jagung dan bodinya terbilang mulus, ternyata susah dijual, meski ditawarkan dengan harga sangat murah. Orang tak mau beli mobil-mobil mesum itu. Takut celaka. Meski sudah dibawa ke salon mobil berkali-kali untuk overhaul bagian interiornya, bercak-bercak putih susu di jok belakang tak juga mau hilang.
Seorang pekerja salon mobil bahkan jatuh pingsan ketika membersihkan salah satu mobil mesum tersebut di bengkelnya. Di bawah karpet jok belakang dia temukan ratusan anak kecil seukuran semut sedang menangis mencari-cari bapaknya. “Bang Toyib …, di manakah kamu? Anak-anakmu menunggu di sini.”
“Bang …, tunggu Bang. Sudah saya bawakan barang yang Abang pesan kemarin,” pria berjaket lusuh itu berlari mengejar Bang Toyib yang hendak masuk ke dalam mobilnya, di areal parkir gedung parlemen.
Bang Toyib, pria muda berpakaian rapi tersebut, berhenti sejenak, dan kemudian mempersilahkan lelaki kerempeng yang menenteng sebuah bungkusan itu untuk ikut masuk ke dalam mobilnya. “Jalan Pir, kita ke kota.”
Pak Fadlan segera mengeluarkan bungkusan kain putih dari dalam tas kresek hitam yang sudah kucel. Sepotong tangkur buaya tergolek diam di atas selembar kain kafan. Sudah kering, tapi sedikit bau. Mata Bang Toyib berbinar-binar melihat penis bajul buntung itu. Sudah lama dia idam-idamkan tangkur buaya tak berekor. Khasiatnya, konon, lima kali lebih dahsyat dari tangkur buaya biasa. Bisa bangun semalaman. Kagak ada matinye. Bahkan, kalau mau matiin, harus dikompres pakai batu es segala.
Pucuk dicinta ulam tiba, pikirnya. Hari ini dia ada janji kencan dengan Shelvy, cewek bule yang dikenalnya semalam di sebuah diskotek di kawasan Tanah Abang. Kebetulan pula, seorang pengusaha telah meminjamkan apartemen di daerah kota selama sebulan kepadanya. Dan, Shelvy yang montok dan bening itu, sudah menunggunya di sana.
“Berapa?” tanya Bang Toyib.
Lelaki kurus itu tak langsung menjawab. Dia terus menimang-nimang tangkur buaya buntung tersebut. “Lima belas juta,” katanya, sambil merapatkan jaketnya. Dingin sekali udara di mobil itu. Seperti di kutub selatan.
“Ngawur kamu. Biasanya cuma tiga juta.”
Tawar-menawar pun terjadi. Akhirnya disepakati harganya lima juta. Dibayar tunai. Pak Fadlan langsung diturunkan di dekat pintu tol Latumenten. Begitu lelaki tengil itu turun, Bang Toyib buru-buru menelepon Shelvy. “Hey Honey, I’m heading to you. Be prepared. I’m bringing heaven with me.”
Gombal.
Fenomena maraknya berbagai obat kuat dengan gamblang menunjukkan bahwa para pria sesungguhnya kaum yang lemah. Sebaliknya, wanita justru lebih kuat daripada pria, bahkan secara fisik. Lihat saja, balita laki-laki lebih gampang terserang step ketika menderita demam dibandingkan dengan balita perempuan. Sejarah juga membuktikan bahwa kaum perempuan jauh lebih perkasa, karena ke mana-mana mampu membawa dua gunung kembar secara mandiri. Sementara kaum pria yang begitu manja dan lemah, harus minta bantuan kepada seekor burung hanya untuk menggendong dua butir telor. Dan, apabila burung itu agak lesu, atau mulai ogah-ogahan bersiul, buru-buru dia mencari obat kuat.
Bisnis obat kuat? Jual saja di lingkungan gedung parlemen. Pasti laris. Tak perlu sembunyi-sembunyi. Pak Kholil bahkan setiap hari duduk di bawah pohon yang tidak terlalu rindang di tempat parkir sambil membiarkan kopernya yang butut menganga lebar-lebar. Isinya macam-macam. Viagra. Pil biru. Tangkur buaya. Kondom aneka rupa dan rasa. Vibrator mini. Kumis harimau. Serbuk cula badak. Bubuk kuda laut. Ma’jun Arab. Ramuan Cina. Ramuan Madura. Batu cincin pelet dari Gunung Kawi. Vakum pembesar penis. Dan ada pula paket lengkap jamu kuat bikinan Kalimantan.
Pembelinya? Para koboi itu. Bahkan pernah ada seorang koboi, Bang To’ing namanya, masih sepupu jauh Bang Toyib, yang membawa cem-ceman-nya ke tempat parkir tersebut untuk menemaninya memilih perlengkapan syahwat yang paling tokcer yang rencananya akan mereka bawa berlibur ke Bandung.
Adelia, nama cewek itu, masih kelas dua SMU. Dia main mata dengan Pak Kholil, sehingga Bang To’ing memborong seluruh isi koper boncel tersebut, sekalian dengan kopernya.
“Semuanya dua puluh satu juta,” kata Pak Kholil.
Tidak ditawar. Langsung dibayar. Pakai duit merah yang digulung dengan ikatan karet gelang.
“Gua kerjain, loe.” Sambil mengedipkan mata kirinya kepada Adelia, Pak Kholil langsung ngeloyor pergi.
Gadis berkulit putih mulus itu menanggapinya dengan tersenyum kecil. “Bang, aku kebelet pipis nih. Tunggu di lobby, ya. Nanti aku nyusul ke sana,” ujar Adelia. Bang To’ing manggut-manggut saja. Dan cewek montok itu pun langsung berlari mengejar Pak Kholil. Minta bagian. Lima juta rupiah langsung masuk ke dalam tasnya. Pipisnya nanti saja, dalam perjalanan, pikirnya. Dia berjalan dengan riang menuju lobby. Beberapa supir yang lagi nongkrong bersiul iseng, mencoba menggodanya. Tapi ABG yang berparas mirip pedangdut Iis Dahlia itu cuek saja.
Dari kejauhan dia lihat mobil Bang To’ing sudah terparkir di depan lobby. Mesinnya dalam keadaan menyala, dengan kaca jendela depan sebelah kanan diturunkan setengah. Menandakan bahwa si empunya sudah tidak sabar lagi untuk segera pergi.
Benar. Bang To’ing sudah menunggunya di sana, dengan rokok yang menyala terselip di sela-sela jemarinya. Tapi dia tidak sendirian. Ada empat orang anggota Dewan berpakaian sangat perlente sedang asyik mengobrol dengannya. Mereka tertawa-tawa. Saling menepuk bahu.
Dengan agak ragu-ragu Adelia menghampiri mereka. Tapi tampaknya mereka orang-orang yang ramah. Sehingga Adelia pun langsung nyamperin Bang To’ing. Bergelayut manja di lengannya yang kurus itu.
“Wah, siapa ini Bang. Cakep banget,” salah seorang dari mereka usil bertanya.
“Keponakan,” jawab Bang To’ing singkat.
Sudah hilang urat malu mereka. Kalau dibiarkan terus tanpa ada orang (tua) yang cawe-cawe, bisa berabe. Mereka akan buang iler macan seenaknya, di sembarang tempat. Tak perlu lagi sembunyi-sembunyi. “Ngapain pakai ngumpet-ngumpet segala. Ini hak asasi.”
Maka mereka berlomba-lomba bikin rekor. Satu minggu nyate berapa kali. Satu kali nyate berapa ekor ayam yang dima’em. Tinggal pilih, mau ayam kampung atau ayam negeri. Viagra … Viagra … Viagraaa …. Duh, Gusti … koyo kewan wae.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar