Sabtu, 27 Desember 2008

4. Profesi

Banyak orang yang kecemplung begitu saja dalam pekerjaan yang ditekuninya hingga saat ini. Begitu ada lowongan kerja terpampang di koran, lamaran langsung pergi. Tak peduli posisi apa yang dicari. Diterima syukur, tidak diterima ya coba lagi. Terus-menerus begitu. Sampai pekerjaan masuk ke dalam saku. Mereka tak pernah merencanakan, dan bahkan tak pernah tahu atau menyangka sebelumnya, kalau akhirnya bekerja di suatu bidang yang boleh jadi akan memberikan peluang berkembang yang sangat luas, penghasilan besar, menyenangkan, sesuai dengan hobi, menjemukan, melelahkan, kurang pas dengan karakter personal, gajinya kecil, dan lain sebagainya. Semuanya seperti tebak-tebakan.
Memang, ada kutu loncat yang terus-menerus pindah kerja. Berusaha terus mencari, hingga akhirnya menemukan profesi yang dirasa paling cocok untuk dirinya. Kesempatan seperti itu memang terbuka luas bagi para fresh graduates pada saat ekonomi Indonesia sedang booming di tahun delapan puluhan hingga paruh pertama sembilan puluhan. Masa jaya, yang tinggal kenangan. Tapi tak semua orang seberuntung mereka, terutama generasi sekarang dan ke depan. Mereka harus menghadapi persaingan yang lebih sengit, dan butuh modal lebih dari sekedar ijazah.
“Wah. Wah. Wah.” Sony hanya geleng-geleng kepala. Dia memasang iklan lowongan kerja di Kompas, mencari account executive untuk memperkuat Bagian Pemasaran di kantornya. Lamaran yang masuk lebih dari dua ratus. Semuanya tak jelas. Sehingga dia bingung sendiri, mau panggil yang mana. Dua puluh sembilan sarjana akuntasi mengira lowongan itu untuk mereka, hanya karena tercantum kata account. Mungkin dikira accounting executive, tapi salah ketik. Setelah dipilah-pilah selama empat hari, hanya lima belas pelamar yang kayaknya memenuhi syarat. Maka Anita memanggil mereka untuk wawancara. Ternyata, hanya tiga orang yang mengerti apa itu account executive. Sisanya lholak-lholok. Tidak tahu apa-apa. Setelah dinyatakan tidak memenuhi kualifikasi yang disyaratkan, mereka malah menanyakan kalau-kalau bisa ditempatkan pada posisi yang lain. Asal bisa kerja. Hebat sekali semangat mereka. Patut dihargai. Tapi salah alamat.
Seperti halnya yang kerap terjadi di perusahaan lain, Sony juga beberapa kali melakukan kesalahan dalam rekrutmen karyawan. Terutama untuk karyawan di Bagian Pemasaran. Gampang-gampang susah. Sudah tak terhitung berapa orang yang dia keluarkan karena tidak kunjung berhasil membuat transaksi, meski telah diberikan masa perpanjangan dan dibantu habis-habisan. Pada waktu tes wawancara, mereka kelihatan sangat percaya diri dan berani memberikan garansi. Tapi begitu nyemplung ke dalam pekerjaan yang sesungguhnya, mereka seperti jajaran pisau majal yang terbuat dari bahan seng. Diasah berkali-kali dengan cara apapun – serong kiri, serong kanan, naik turun, depan belakang – tetap saja tak bisa dipakai untuk mengiris bawang. Seandainya dibikin panci atau kuali, mungkin mereka akan lebih berguna. Hanya saja, yang Sony butuhkan adalah tenaga pemasaran. Bukan orang produksi atau staf administrasi. Bukan pula office boy.
Kerumitan persoalan ini mengingatkan Sony pada upaya Mendikbud Prof.Dr.Ing. Wardiman Djojonegoro yang dengan semangat menggelora mendengung-dengungkan link-and-match pada pertengahan tahun sembilan puluhan. Gagasan dasarnya adalah para lulusan sekolah menengah umum/kejuruan maupun perguruan tinggi diharapkan dapat menjadi SDM siap pakai ketika memasuki dunia kerja. Dunia usaha dan industri pun digandeng, digadang-gadang, dicomblangi agar berjodoh dengan dunia pendidikan. Berselingkuh juga boleh. Asal jangan sampai saling menularkan penyakit bawaan. Kenyataannya, program itu tak banyak membuahkan hasil. Hanya bergerak pada tataran wacana. Merdu di telinga, tapi tak jalan.
Sesungguhnya, link-and-match adalah sebuah gagasan brilian sebagai upaya penciptaan SDM yang siap pakai ketika memasuki dunia kerja. Hanya saja, implementasinya kurang membumi dan nuansanya serba teknis. Mungkin karena Pak Wardiman seorang insinyur. Dalam kenyataannya, tak mungkin berharap banyak kepada dunia usaha dan industri untuk berpartisipasi menyukseskan program seperti ini. Mereka hanyalah pemakai jasa yang ingin mendapatkan tenaga kerja bagus tanpa merasa perlu terlibat dalam proses penciptaannya.
“Itu urusan pemerintah, gawe-nya Pak Wardiman, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kalau output-nya bagus kita pakai, kalau tidak ada yang oke, ya kita cari dari sumber lain.” Begitulah cara berpikir mereka. Praktis.
Dengan demikian, tak perlu lagi bicara soal link, cukup match.
Kondisi mismatch dapat ditemukan dengan mudah pada perilaku mayoritas pencari kerja. Ada lowongan apa saja, surat lamaran langsung terbang. Siapa tahu diterima. Untung-untungan. Seperti berjudi. Nanti, setelah diterima, tinggal dipelajari cara kerjanya, begitu pikir mereka. Pasti ada yang mengajari. Kan, ada job training. Sudah, embat saja. Yang penting masuk dulu. Maka, lulusan Sospol jadi tenaga administrasi. Sarjana Hubungan Internasional jadi staff Bagian Umum. Macam-macamlah. Paling fenomenal, banyak alumnus Institut Pertanian Bogor yang jadi wartawan, sehingga nama perguruan tinggi itu sering dipelesetkan menjadi Institut Publisistik Bogor. Ini perguruan tinggi memang hebat, lulusannya bisa jadi apa saja, kecuali petani. Tanya saja sama Pak Bungaran. Pasti dia mengiyakan.
Situasi mismatch juga tercermin dari realitas yang sering terjadi di dunia kerja dan apa yang kerap dialami pekerja. Seorang pekerja hampir bisa dipastikan akan menjadi profesional sukses apabila mampu meraih posisi dan penghasilan yang mapan sebelum usia tiga puluh tahun. Artinya, dalam waktu sekitar lima tahun bekerja, seluruh potensi yang terdapat di dalam dirinya dapat berkembang secara maksimal. Ini hanya bisa terjadi bila dia berada di tempat yang tepat. Dengan kata lain, dia beruntung mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan seluruh kemampuannya, apa pun latar belakang pendidikannya.
Sebaliknya, bila usia sudah melewati tiga puluh tahun, dan masih belum juga mengalami perkembangan berarti dalam karier maupun penghasilan, ini baru namanya gawat. Kenapa ini bisa terjadi? Itu bukan karena dia bodoh atau tidak kapabel. Juga bukan karena dia terlahir pada hari Selasa Kliwon seperti kata primbonis Drs. H. Imam Soeroso, MM MBA. Sama sekali bukan. Hanya saja, selama ini dia berada di tempat yang salah, yang tidak memungkinkan seluruh potensinya berkembang secara maksimal.
Lantas, apakah seumur hidup akan bernasib seperti itu? Stuck di situ-situ saja? Tidak juga. Tak perlu berkecil hati. Masih bisa di-restart, walaupun harus kehilangan waktu yang berharga. Caranya? Kenali seluruh kemampuan pribadi. Baru kemudian tentukan pekerjaan apa yang paling memungkinkan segenap potensi yang dimiliki berkembang penuh. Artinya, harus siap pindah posisi, atau, pindah kerja sekalian. Memang tidak mudah. Posisi atau pekerjaan baru belum tentu gampang didapatkan, apalagi usia sudah kepala tiga. Tapi itulah harga yang harus dibayar. Diperlukan kebesaran hati, ketegaran dan keberanian. Karena bisa jadi harus mulai dari nol lagi. Namun, bila peluangnya menjanjikan, why not?
Dosa apakah gerangan yang menjadikan begitu banyak orang terperangkap dalam pekerjaan yang sama sekali tidak memberikan peluang untuk berkembang? Apakah itu murni kesalahan mereka? Sama sekali bukan. Hal serupa dialami oleh jutaan orang. Sony dulu juga begitu. Tamat kuliah langsung kirim lamaran ke mana-mana. Asal tembak. Tak tahu mau jadi apa nantinya. Bahkan, ketika diterima bekerja di Citibank, dia sempat dua hari mengikuti training. Tapi, karena merasa tidak bakat menjadi orang bank, dia tak hadir lagi besoknya. Ngilang begitu saja. Beruntung, setelah empat kali loncat ke sana-sini, Sony mendapatkan pekerjaan yang lumayan cocok untuk mengasah dan mengembangkan semua kemampuannya, hingga akhirnya dia putuskan untuk memulai usaha sendiri pada usia dua puluh delapan tahun. Meski harus jatuh bangun.
Jadi, apa, atau siapa, yang salah? Sistem pendidikan? Orangtua? Guru dan dosen? Lingkungan? Pacar? Atau, dunia kerja yang tak mau tahu? None of them. Para fresh graduates sering kali tidak tahu pekerjaan yang akan dilamar membutuhkan kualifikasi seperti apa, karakter personal yang bagaimana, dan lain sebagainya. Langsung saja bereksperimen. Tanyakan kepada anak-anak yang baru lulus SMU, atau keponakan yang baru tamat kuliah, “Mau kerja di mana? Mau jadi apa?” Mereka pasti kebingungan. Karena tak tahu harus menjawab apa.
Jawaban tipikal yang sering terdengar adalah, “Ya kita lihat saja nanti, mana yang masuk duluan? Kalau dapat panggilan kerja dari sana, ya kerja di sana. Kalau panggilan kerja datangnya dari sini, ya kerja di sini. Mana yang dulu sajalah. Mau jadi ini kek, jadi itu kek. Tak masalah. Yang penting kerja.”
Terlepas dari sengitnya persaingan mencari kerja akibat timpangnya pertumbuhan jumlah pencari kerja dan lapangan kerja yang tersedia, pengenalan yang sangat terbatas, dan bahkan tidak ada sama sekali, mengenai jenis-jenis profesi yang terus berkembang menjadikan mereka tak cukup mampu mempersiapkan diri secara benar dalam memasuki dunia kerja. Sehingga, kalaupun kemudian mendapatkan pekerjaan, sering kali mereka akhirnya terjebak dalam profesi yang tidak memungkinkan seluruh kemampuannya berkembang secara maksimal. Karena itu, pengenalan profesi perlu segera diberikan kepada para siswa sekolah menengah umum/kejuruan dan mahasiswa perguruan tinggi. Ini sangat urgent. Sama sekali belum terlambat. Tapi jangan ditunda-tunda. Semakin ditunda, generasi mendatang akan semakin merugi.
“Lantas, bagaimana caranya, dan dalam bentuk apa, Mas?” tanya Pak Bambang Sudiro yang tampak sedang bersusah payah menyendoki sisa-sisa kuah mie godok yang luar biasa lezat itu. Belum sempat Sony menjawab pertanyaan tersebut, pria berdahi lebar itu sudah meyambung lagi pertanyaannya, “Magang?”
Sony langsung menukas, “Itu terlalu general, Pak, dan sekaligus terlalu spesifik. Karena orang dengan beragam latar belakang kemampuan dan karakter personal yang berbeda harus magang pada satu jenis pekerjaan yang belum tentu cocok untuk semua.”
Malam itu, Sony bersama Pak Bambang sedang menikmati mie godok di warung Pak Rebo, yang terletak tepat di depan SD Kintelan, Yogyakarta. Kelezatan mie godok di situ tak kalah dengan Mie Kadin yang terlalu ramai pengunjungnya, atau mie godok Mbah Mo yang juga mbludak pelanggannya, sehingga harus menunggu berjam-jam hanya untuk menikmati sepiring mie kuah.
“Cari metode yang paling sederhana dan applicable. Tambahkan saja mata pelajaran pengenalan profesi bagi murid kelas III sekolah menengah umum atau kejuruan dan mata kuliah pengenalan profesi bagi mahasiswa semester akhir,” sambung Sony seraya menghirup teh panas yang agak terlalu manis itu.
“Lha, materinya apa, Mas?” tanyanya lagi, seolah diburu rasa ingin tahu.
Sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam, Sony mulai mengeluarkan semua unek-unek yang ada di pikirannya selama ini. Dia tak peduli, apakah Pak Bambang yang insinyur pertanian itu paham atau tidak dengan semua yang dikatakannya. Tapi, tampaknya priyayi Ngayogjokarto Hadiningrat yang berperawakan pendek tegap tersebut mendengarkan dengan sangat antusias ketika mulut Sony mulai nyerocos tak terbendung.
Pendidikan pengenalan profesi bisa dimulai dengan penyusunan sebanyak-banyaknya biografi para profesional negeri ini dari berbagai jenis profesi. Seperti advokat, apoteker, penyiar radio, penyiar televisi, MC, jaksa, pelukis, politisi, akuntan, pengusaha restoran, penari, sutradara, aktor, animator, web designer, copy writer, graphic designer, pemusik, penyanyi, penari, pemasar, dokter gigi, wartawan, humas, pembalap, petinju, arsitek, penulis, polisi, tentara, pilot, pramugari, pelaut, guru, dosen, perawat, dokter … dan masih banyak lagi yang lainnya, kata Rhoma Irama. Toh, semua jenis profesi yang berkembang di dunia ini, sudah ada di Indonesia. Termasuk astronot.
Pertama-tama, petakan dulu semua jenis profesi yang ada di dunia kerja. Kemudian dibuat pengelompokan-pengelompokan berdasarkan kedekatan antara satu profesi dengan profesi lainnya. Dan langkah selanjutnya adalah membuat percabangan-percabangan dari masing-masing profesi. Setelah peta besar tersusun, bisa ditambahkan profesi-profesi yang mungkin baru teridentifikasi belakangan atau profesi yang perlu dihapuskan karena agak tumpang tindih, kurang relevan dan tidak layak diangkat. Barulah kemudian dinominasikan figur-figur, termasuk tokoh-tokoh yang sudah meninggal, yang akan menjadi role-models untuk setiap profesi. Setiap profesi diwakili sepuluh nominees yang kemudian disaring lagi hingga tingal dua atau tiga tokoh yang dipastikan akan menjadi role-models. Setiap jenis profesi tidak harus menampilkan satu tokoh, bisa dua atau lebih. Tapi dibuat sebagai buku yang terpisah. Tidak dijadikan satu.
Setelah didapatkan kesediaan dari para role-models, langsung saja digeber habis proses wawancara dan penulisan, supaya cepat kelar. Sistematikanya tidak perlu dibuat baku seperti buku diktat. Yang penting, TOR-nya jelas dan rinci. Termasuk buku panduan pengajaran. Orang-orang Diknas pasti jago bikin yang beginian. Sudah biasa mereka.
Setiap biografi dibuat dalam dua versi. Versi lengkap untuk mahasiswa, dan versi ringkas (concise) untuk siswa sekolah menengah umum/kejuruan. Buku-buku biografi tersebut memotret perjalanan hidup role-models secara menyeluruh, mulai dari masa kanak-kanak hingga pencapaiannya yang tertinggi sebagai profesional di bidangnya. Balutan cerita menjadi penting, agar sajian tak membosankan, sekaligus sebagai media untuk mengeksplorasi berbagai kelebihan, kelemahan, kebiasaaan, kecenderungan, sifat dan karakter, serta detil-detil lain yang sangat berpengaruh terhadap perjalanan hidup dan pekerjaan sang tokoh.
Bagi siswa sekolah menengah umum/kejuruan, pengenalan profesi ditujukan untuk membuka mata mereka mengenai jenis-jenis profesi yang dapat mereka masuki nantinya apabila tidak berminat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi pada satu sisi, dan pada sisi lainnya memberikan panduan yang memadai bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi agar dapat memilih fakultas atau jurusan yang paling tepat dalam mengejar profesi impian.
Memang, tak semua profesi mensyaratkan harus lulusan perguruan tinggi. Boleh-boleh saja kalau mau langsung bekerja selepas sekolah menengah umum/kejuruan. Tak ada yang melarang, kok. Karena banyak juga penyedia lapangan kerja yang membutuhkan tenaga kerja dengan jenjang pendidikan seperti itu. Namun, tamatan sekolah menengah umum/kejuruan biasanya, meski tak semua, cenderung mendapatkan pekerjaan sebagai pekerja teknis, tenaga clerical.
Namun bukan berarti bahwa pengenalan profesi tidak penting bagi siswa yang ingin langsung bekerja setelah lulus. Bagaimanapun, pengenalan profesi akan memberikan bekal yang memadai mengenai pilihan-pilihan profesi yang paling pas yang tersedia bagi mereka di dunia kerja nantinya dan juga akan sangat membantu dalam memilih kursus yang paling cocok untuk mengembangkan keterampilan.
Ngomong-ngomong soal kursus, Sony jadi teringat akan sebuah lembaga kursus terkenal di Jakarta yang membekali semua lulusannya – dari semua jurusan – dengan praktek kerja table manner. Tampaknya lembaga ini, menurut pandangan Sony, ingin agar para lulusannya jadi Jago Makan, alias orang kaya. Karena hanya orang banyak duit yang bisa jadi Jago Makan. Anita adalah salah seorang lulusan lembaga kursus tersebut. Hanya saja, hingga kini dia belum jadi Jago Makan.
Jangan ngelantur, Oom.
Bagaimana cara pengajarannya? Tidak susah-susah amat. Pak guru tinggal memberikan gambaran awal mengenai jenis-jenis profesi yang ada di dunia kerja kepada murid-muridnya. Kemudian mempersilahkan siswa memilih sendiri paling tidak tiga jenis profesi untuk dipelajari. “Pilih saja yang kira-kira paling cocok dan sesuai dengan diri kalian. Tapi, jangan sampai salah pilih,” pesan Pak Yudho.
Siswa disuruh membuat esai dan menceritakan di depan kelas apa yang telah mereka baca dan bagaimana mereka membandingkan berbagai kesamaan maupun perbedaan yang melekat pada diri sang tokoh dengan dirinya sendiri. Tujuannya adalah mengajak siswa melakukan benchmarking terhadap dirinya sendiri, sehingga tergerak untuk mulai mengidentifikasi semua kelebihan dan kekurangan, termasuk karakter personalnya, agar dapat mulai menentukan profesi apa yang paling memungkinkan seluruh potensinya berkembang secara maksimal nantinya.
“Selamat siang, Pak. Selamat siang, kawan-kawan. Saya sudah membaca biografi Slamet Raharjo, Garin Nugroho dan Christine Hakim. Setelah saya banding-bandingkan dengan minat dan hobi saya, juga sifat-sifat dan kemampuan saya, kayaknya saya ingin jadi sutradara, Pak. Setamat dari sini nanti saya akan mendaftar ke IKJ,” demikian Sahat menyimpulkan.
“Bagus. Bagus,” sahut Pak Yudho sambil membetulkan letak kacamatanya. Dia senang, karena Sahat mampu memahami dengan benar dan membuat perbandingan yang pas. “Munir, sekarang giliranmu maju. Jangan cengengesan!”
Munir yang kepalanya plontos itu langsung melenggang ke depan kelas. Dengan sebatang tusuk gigi menyelip di bibirnya. Seperti biasa, dia selalu berhasil mengocok perut kawan-kawannya bila diberi kesempatan berbicara di depan kelas. “Saya ingin jadi pelawak, Pak. Seperti almarhum Taufik Savalas. Saya mau nyatrik di rumah Tukul.”
Siapkan banyak pilihan bagi mereka. Mau jadi apa saja sudah ada referensinya. Kan, sudah ditulis ratusan biografi sebagai pengenalan jenis-jenis profesi yang dapat digeluti nantinya, sehingga bila berminat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi mereka akan memperoleh gambaran yang memadai mengenai fakultas atau jurusan apa yang nantinya akan dipilih agar jalan menuju profesi idaman lebih mulus.
Bagaimana untuk para mahasiswa? Tidak jauh berbeda. Caranya hampir sama. Tambahkan mata kuliah pengenalan profesi bagi mahasiswa semester akhir, tanpa perlu membeda-bedakan mereka dari jurusan atau fakultas apa. Bukannya tidak mungkin lulusan fakultas hukum ingin jadi pemasar atau penulis. Tak mustahil pula tamatan kedokteran hewan ingin menjadi wartawan atau penyiar televisi. Berikan pilihan tiga buku biografi untuk dipelajari setiap mahasiswa. Selanjutnya suruh mereka membuat esai dan melakukan diskusi-diskusi kelompok. Bagi mahasiswa, dari fakultas atau jurusan apa saja, pengenalan profesi ditujukan untuk memberikan wawasan dan pilihan yang makin mengerucut mengenai profesi yang nantinya akan memungkinkan seluruh potensi yang ada di dalam dirinya berkembang secara penuh.
Dengan diberikannya pengenalan profesi secara lebih dini kepada siswa dan mahasiswa, ke depan tak perlu lagi terdengar kisah-kisah sedih tentang sekian banyak pekerja yang sampai tua jadi itu-itu saja, hanya karena dari awalnya masuk ke dalam profesi yang salah atau mismatch, yaitu profesi yang sama sekali tidak memberikan kesempatan bagi segenap potensinya untuk berkembang maksimal. Padahal, sesungguhnya mereka dapat menjadi pekerja yang handal dan produktif bila sedari awal menekuni profesi yang pas dengan kemampuannya. Di samping menyia-nyiakan energi dan kapasitas sekian juta tenaga kerja yang seharusnya bisa menjadi pekerja jempolan apabila bekerja dalam profesi yang tepat, kondisi mismatch seperti ini juga menghilangkan kesempatan bagi para pekerja Indonesia untuk berkembang secara optimal menuju puncak profesionalisme.
Seandainya saja kondisi ideal match ini dapat segera diwujudkan secara bertahap melalui pengenalan profesi yang memadai kepada siswa dan mahasiswa, Sony yakin Indonesia tercinta tak perlu lagi mengimpor begitu banyak manajer dari negara-negara lain. Karena para pekerja lokal sudah mampu mengambil alih peran mereka. Birokrasi dan dunia usaha akan semakin kuat karena ditangani oleh orang-orang jempolan. SDM yang siap pakai dan siap berkembang. Indonesia akan kian jaya.
Namun, terlepas dari sekian banyak profesi yang terus berkembang di dunia kerja, ada sebuah profesi pilihan yang bisa dimasuki semua orang dari berbagai latar belakang pendidikan, yaitu pemasar. Profesi ini sangat menantang, dan menjanjikan penghasilan besar. Bahkan negara-negara maju di seluruh muka bumi dulunya adalah negeri kaum pedagang. Mereka bangsa niaga. Tengok tetangga sebelah, Singapura. Bangsa makelar itu tak sedikit pun tertarik mengembangkan industrinya sendiri. “Silahkan bikin apa saja, biar nanti saya yang jualan,” kata mereka. Kenyataannya, mereka menjadi bangsa yang makmur hanya dengan berniaga.
Berkembang dari Bandar Malaka yang sejak dulu memang sudah menjadi titik perlintasan perniagaan antarbenua, negeri Cap Singa itu kini menjelma menjadi salah satu pusat perdagangan yang paling sibuk di dunia. Tak heran bila hampir semua perusahaan multinasional menempatkan kantor pemasaran wilayah Asia di negara kota itu. Sehingga tidak berlebihan pula menyebut Singapura sebagai jatung pemasaran berbagai barang/jasa yang dihasilkan oleh para produsen dari seluruh dunia. Bahkan, banyak produk ekspor Indonesia yang harus numpang lewat dulu di Singapura sebelum diedarkan ke berbagai negeri.
Di Indonesia, profesi pemasar banyak digeluti oleh masyarakat keturunan Tionghwa. Baik di daerah perkotaan maupun di pelosok-pelosok desa. Di seluruh penjuru Nusantara mereka berniaga. Dari ujung barat hingga ujung timur. Mereka ada di mana-mana. Berdagang seolah sudah menjadi identitas mereka. Dari sononya, konon kata yang punya cerita, mereka memang berjiwa pedagang. Tekun, ulet dan berani mengambil risiko.
Namun demikian, profesi pemasar tidaklah eksklusif untuk masyarakat keturunan Tionghwa. Karenanya, tidak harus berpacaran dulu dengan Mei Lan atau Fang Fang, atau melakukan operasi penyipitan mata, untuk menjadi pemasar yang berhasil. Siapa saja bisa berprofesi sebagai pemasar. Tak peduli apakah berkulit legam, coklat, kuning ataupun putih. Tak pandang apakah berambut ikal, lurus ataupun gimbal. Tak soal apakah pria, wanita atau banci.
“Kalau mau duit banyak, harus sering-sering ketemu manusia. Jangan cuma bergaul sama alat dan mesin,” demikian Ceng Li pernah memberikan tipsnya kepada Sony.
Pria bermata sipit itu teman main golf Sony. Dua minggu sekali mereka main golf bersama. Tempatnya berpindah-pindah. Kadang juga di luar kota. Bagi Sony, Ceng Li tergolong teman istimewa, meski penampilannya sepintas kurang meyakinkan, karena suka pakai sandal butut ke mana-mana. Ceng Li orang yang ramah, sopan, penuh perhatian, baik hati dan kaya raya. Tanahnya terserak di mana-mana. Ruko puluhan jumlahnya. Deposito bermilyar-milyar. ATM dan kartu kreditnya semuanya Platinum. Rumahnya besar dan megah. Mobilnya berjejer-jejer di garasi. Semuanya merek papan atas dan keluaran terbaru.
Namun Sony tak pernah tahu apa pekerjaannya. Sehingga pada suatu kali dia tanyakan kepadanya, “Emangnya, loe kerja apaan?”
“eL eM Ji E,” sahutnya singkat, sambil membetulkan celananya yang agak melorot.
“Apa?” tanya Sony dengan penasaran, karena jawabannya tadi terdengar asing dan kurang jelas di telinganya.
“eL eM Ji E,” ulangnya sekali lagi, dengan gerakan bibir yang agak samar.
LMGA, dilafalkan dalam bahasa Inggris. Lu Mau, Gua Ada. Mau traktor seratus unit, dia bisa penuhi. Mau bangun ruko, dia pasti sanggupi. Mau pensil dua kontainer, dia akan pergi mencari. Mau gula seratus ribu ton, dia akan beri. Mau besi tua, kapal dan pabrik tua akan dia pereteli. Apa saja yang diminta, dia pasti bisa kasih. Itulah Ceng Li, penggemar sate kiloan dan nasi pecel. Dan, banyak juga orang yang berprofesi seperti itu. Tak perlu bangun pabrik. Tak perlu piara karyawan hingga ratusan. Cukup menjalin jaringan seluas-luasnya. Dan, menjadi sahabat bagi setiap orang.
Sony pertama kali kenal Ceng Li di pasar ikan hias di Jalan Sumenep, di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Mereka berdua sama-sama penggemar ikan hias air laut. Hampir setiap hari Sabtu Sony pergi ke sana, membeli rebon beku untuk makanan ikan-ikan kesayangannya dan beberapa galon air laut. Terkadang dia juga tambah-tambah koleksi ikan dan terumbu karang baru.
Setiap kali duduk-duduk ngopi untuk meluruskan kaki yang pegal sambil mengamati ikan-ikan berwarna-warni berenang kian kemari di dalam akuarium besar di salah satu kios langganannya, Sony selalu ketemu orang yang sama. Seorang pria paruh baya yang gemar pakai celana kolor dan kaos oblong dengan sandal butut yang sepertinya sudah dijahit berkali-kali. Jangan-jangan itu sandal bertuah, pikir Sony. Karena sering ketemu muka dan ngobrol-ngobrol soal perawatan ikan, akhirnya mereka akrab. Mereka juga sering bertukar buku-buku mengenai ikan laut. Kebetulan, mereka juga suka main golf. Nyambunglah jadinya.
Tak peduli di laut atau di darat, profesi pemasar menuntut kemampuan personal yang lebih dalam berhubungan dengan manusia. Interpersonal skill, dalam bahasa kerennya. Suatu kemampuan untuk memahami manusia, menempatkan diri pada posisi mereka, menjadi bagian dari mereka, dan akhirnya mempengaruhi mereka, untuk suatu tujuan yang terencana. Sebagian besar memang bakat alam. Bawaan orok, kata orang. Tapi juga bisa dipupuk dan dikembangkan melalui pelatihan, atau, ditumbuhkan dengan penciptaan lingkungan yang menunjang. Namun ada satu lagi syarat yang penting untuk menjadi seorang pemasar, yaitu kegigihan. Soal jaringan, tak perlu terlalu dipusingkan. Memang penting, tapi jaringan bisa dibangun secara bertahap apabila sudah memiliki dua syarat yang disebutkan di muka.
Seorang pemasar biasanya supel dan pandai bergaul, penuh empati, pendengar yang baik, sabar dan tidak grusah-grusuh, mampu memberikan solusi, tidak defensif dan tidak pula ofensif, lebih suka menghindari konflik, tidak gampang tersinggung, serta berjiwa melayani. Satu musuh terlalu banyak, seribu kawan masih kurang, kata mereka. Personalitas seperti ini sangat penting karena setiap hari seorang pemasar harus berurusan dengan manusia-manusia dari beragam latar belakang seperti budaya, pekerjaan, sifat, adat dan kebiasaan, bahasa, keluarga, hobi dan bahkan agama. Ini merupakan modal utama yang harus dimiliki setiap pemasar. Dalam kenyataannya, banyak pemasar yang jarang-jarang ngomong soal pekerjaan dengan kliennya, karena mereka lebih suka diajak bicara soal hobi, keluarga, pengalaman dan lain sebagainya. Hal-hal seperti itulah yang akan semakin mendekatkan hubungan mereka secara personal, sehingga penetrasi menjadi lebih efektif.
Seorang pemasar akan berusaha menjadi bagian dari orang-orang yang dihadapinya, baik secara korporat maupun personal, sehingga dia tidak lagi dianggap sebagai orang lain. Menjadi teman mereka. Sahabat mereka. Masuk ke dalam dunia mereka. Ibaratnya, harus nyemplung ke dalam kolam dan menjadi ikan dulu kalau sedang berjualan celana dalam ikan mas koki. Bila berjualan BH kambing, harus bisa mengembik dan bersedia memakai kostum berbulu, lengkap dengan tanduknya dan parfum khusus aroma kambing yang lebus itu. Dengan banyaknya barang/jasa sejenis yang disediakan oleh pasar, pilihan yang melimpah sering kali malah membingungkan, sehingga keputusan membeli akan lebih ditentukan oleh seberapa dekat hubungan antara penjual dan pembeli, bukan barang/jasa yang ditawarkan. Karena konsumen lebih suka membeli dari orang yang sudah mereka percayai.
Sedangkan pengetahuan mengenai produk, atawa product knowledge, relatif bisa dipelajari semua orang. Tidak terlalu susah. Kalaupun tidak bisa menguasai semuanya karena terlalu banyak detil, biasanya ada backup teknis dari orang-orang dapur. Kalau sama sekali tidak tahu? Gampang. Pemasar yang pintar biasanya akan berusaha membuat lawan bicaranya tidak tahu bahwa sebenarnya dia tidak tahu. Bingung, kagak? Pikirin sendiri. Karena seorang pemasar harus mampu menjual apapun. Termasuk telor busuk, tanpa perlu mengelabui pembeli. Caranya? Dilubangi saja pakai jarum dan buang isinya. Ambil kertas warna, lem, gunting dan spidol. Jadilah telor hias. Harganya bisa lebih mahal. Demikian pula, jeruk yang sudah tidak segar lagi kulit luarnya dapat diubah menjadi orange juice yang segar lagi mak nyus. Kreativitas menghasilkan nilai tambah.
Soal kegigihan, penjual asuransilah yang terkenal tahan banting. Para penjual keanggotaan kartu kredit tak perlu diperhitungkan. Pekerjaan mereka ringan-ringan saja, karena hampir semua orang yang ditawari biasanya memang ingin memiliki kartu kredit. Sedangkan para penjual asuransi harus bekerja ekstra keras menjual produk yang oleh sebagian besar masyarakat Indonesia masih dipandang dengan sebelah mata manfaatnya. Di tengah pasar yang kurang bersahabat inilah mereka mesti meyakinkan setiap orang yang ditemui akan manfaat asuransi, dengan mulut yang berbusa-busa. Bagi mereka, tak ada calon nasabah yang sulit tembus, yang ada hanyalah orang-orang yang belum dikenal dekat. Penolakan adalah sarapan pagi. Diremehkan adalah pemacu semangat. Dipersilahkan duduk dan diberi kesempatan menerangkan produk adalah pintu menuju kesepakatan jual-beli.
Profesi pemasar menjanjikan tantangan yang menyenangkan, terutama bagi orang-orang yang gigih dan para pecandu ketegangan. Sedikitpun mereka tak pernah menganggap calon klien yang sulit ditembus sebagai suatu halangan. Malah sebaliknya, sebagai tantangan yang harus ditaklukkan. Setitik peluang, sudah cukup bagi mereka. Persis seperti ketika penggemar olahraga pemacu adrenalin melihat sebuah tebing terjal yang berdiri tegak lurus di hadapannya. Harus ditaklukkan. Setelah menggapai puncak, matanya akan menyalang ke mana-mana untuk mencari tebing yang lebih sulit dipanjat. Semakin menantang, semakin bikin ketagihan. Asyik, kata mereka. Namun, banyak juga pemasar pria yang memanfaatkan kelebihan ini untuk menaklukkan hati klien wanita yang sedang digarapnya. Biar saja. Itu urusan mereka sendiri. Tapi yang beginian jangan ditiru.
“Batu saja lama-lama bisa berlubang kena tetesan air, masa Pak Silaen tak mau bicara sama saya. Mana berkas-berkasnya. Sini, biar saya yang garap. Tapi bonusnya saya yang ambil. Berikutnya bolehlah dibagi dua. Kasih saya waktu dua minggu. Kalau tak mampu mengajak dia makan malam dan karaoke, lebih baik saya makan tanah. Pulang kampung. Tanam jagung. Pakai rok sekalian. Pasti bisa. Kalau gagal, kamu tak perlu lagi panggil nama saya Heru Wibowo. Ganti saja, James Bond. Biar tambah keren.”
Kadang-kadang sedikit sesumbar diperlukan, untuk membangkitkan semangat dan rasa percaya diri. Begitulah cara Heru memompakan semangat baru kepada anak buahnya yang hampir putus asa karena selalu menabrak tembok. Kalau tidak bisa ditembus dari depan, ya harus cari jalan memutar. Kenyataannya, Pak Silaen akhirnya takluk juga. Malah jadi kawan akrab. Ke mana-mana minta diantar. Sering curhat pula. Dua proyek besar pun berhasil dikantongi Heru, Manajer Pemasaran di kantor Sony. Itulah kiatnya.
Kiat. Kata itu pernah menjadi rubrik tetap di majalah Tempo sekitar lima belas tahun hinga dua puluh silam. Sony adalah salah seorang penggemar beratnya. Tak pernah sekalipun dia melewatkan tulisan Bondan Winarno yang selalu inspiring. Terutama ketika orang Madiun dia ngoceh soal pasar, pemasar dan pemasaran. Bahkan ketika tulisan-tulisan yang renyah itu dibukukan, Sony langsung mengoleksinya. Kini Pak Bondan lebih sibuk menggoyang lidah. Menguji rasa mengendus aroma. Njajah deso milang kori. Memburu top markotop. Lelaki ganteng yang beristrikan wanita bule itu sudah kebanyakan duit rupanya. Tapi kolesterolnya tampak terjaga, meski lelehan lemak sering mengulasi bibirnya. Bleger-nya pun tergolong bagus untuk pria seusianya.
“Gwen, seret papamu ke dapur. Siapkan laptop dan secangkir kopi kental, panas mengepul-ngepul. Biar dia bersemangat lagi menumis kata-kata. Menggoreng frasa. Dengan kalimat-kalimat pendek sebagai garnish-nya. Meracuni pikiran anak-anak muda agar mereka bersemangat menekuni profesi sebagai pemasar. Memberi mereka inspirasi dan contoh. Mencekoki para fresh graduates dengan anggur merah agar mereka mabuk dan terbeliak matanya melihat dunia marketing yang begitu menggoda dan menantang. Karena bapakmu itu bisa jadi panutan bagi mereka. Bujuk dia agar mau membagi-bagikan cerutu harum koleksinya itu sehingga kaum muda doyan berjualan. Paksa dia membuat jajanan yang gurih. Sesekali bikin pecel boleh-boleh saja. Juga sambal terasi. Meski hanya berbahan kertas dan tinta, dijamin, rasanya pasti mak nyus.”
Mak nyus memang, rawon bikinan nenek Sony. Di kampung halaman sana, neneknya seorang pengusaha warung makan. Bisa dibilang, Sony terlahir dari keluarga pedagang. Kakeknya seorang saudagar tembakau. Paman dan bibinya sebagian juga berprofesi sebagai pedagang. Mulai dari yang berjualan di pasar hingga yang kerjanya jadi makelar di terminal. Belum lagi yang buka depot.
Ayah Sony sendiri, seorang guru yang nyambi berdagang. Membuka sebuah toko kecil yang khusus menjual buku-buku agama, sekaligus menjadi agen majalah-majalah syi’ar Islam. Semasa kanak-kanak dulu, Sony sering diajak ayahnya pergi ke kota-kota kecamatan pada hari Jum’at. Kadang sampai bolos sekolah. Ikut ayahnya yang pergi memenuhi undangan berkhotbah. Menjadi khotib sholat Jum’at. Bubaran sholat, barulah makan sate dan gule kambing. Setelah kenyang, buru-buru ayahnya yang berperawakan raksasa itu mengajak Sony kecil mendatangi rumah beberapa kawannya untuk menawarkan buku-buku agama yang mereka bawa. Berdakwa sekaligus berniaga. Seperti kisah-kisah lama. Kadang mereka juga menggelar dagangan di pasar.
Pemasar dan pasar. Penjual dan pembeli. Begitulah mereka berinteraksi. Dalam jalinan yang saling mengisi. Meski kata para pakar pasar hanyalah sebuah persepsi, namun ia bukanlah sebuah misteri yang tak bisa dipahami. Sony merasa aneh ketika menemukan ada sebuah perusahaan yang memasang slogan “No more mistery in marketing, because we are the missing link.” Seolah menegaskan bahwa pasar adalah misteri yang tak terselami bagi banyak orang, kecuali untuk mereka yang telah menjadi the missing link. Ini benar-benar discouraging. Menjadikan orang ciut duluan nyalinya sebelum masuk ke dunia marketing.
Profesi pemasar sesungguhnya bukanlah sesuatu yang menakutkan. Sebaliknya, ia menyenangkan dan mengasyikkan. Karena memberikan kesempatan luas untuk mengenal manusia luar dan dalam. Sekaku apapun klien yang harus ditaklukkan, pasti ada sisi-sisi lunak yang bisa dimasuki. Kalau tidak di depan pasti di belakang. Bila tidak di kiri pasti di kanan. Andai tidak di bawah pasti di atas.
Memang, tak semua orang cocok bekerja sebagai pemasar, baik sebagai tenaga marketing yang berdasi ataupun salesman yang menjajakan barang dari rumah ke rumah. Namun tak perlu takut memasuki profesi ini, sepanjang memiliki dan mampu mengembangkan karakter dasar yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemasar. Kenyataannya, banyak pemasar yang berhasil memulai karirnya dengan menjadi salesman, atau Soleman, kata orang Madura. Hanya saja, karena sedari awal sudah membayangkan yang susah-susah, banyak orang yang enggan dan jerih menjadi pemasar.
Situasi ini pernah dimanfaatkan secara culas oleh sebuah perusahaan otomotif pada masa-masa awal krisis ekonomi 1998. Keadaan yang menyesakkan dada memaksa mereka untuk segera membuang lemak yang menggelambir di tubuhnya. Karena jantung sudah agak lemah untuk memompakan darah. Badan harus dikuruskan. Ikat pinggang mesti dikencangkan. Hanya tersedia sepiring nasi untuk satu hari. Jangan sampai terkena HO. Apalagi busung lapar. Malu-maluin. Maka, ia pun mewajibkan karyawan dari semua bagian – kecuali produksi dan marketing, yang merupakan aset mereka yang sesungguhnya – beralih menjadi pemasar. Aturannya mudah dan sederhana. Apabila tak mampu menjual sesuai target dalam jangka waktu yang telah ditentukan, silahkan melangkah teratur ke tepian. Minggir. Banyak sekali yang berguguran. Bisa jadi, karena sedari awal sudah nyerah duluan. Hanya sedikit yang bertahan.
Cara seperti itu memang sangat manjur untuk program diet instan, tapi tidak fair dan cenderung curang. Terkesan mau menangnya sendiri. Tanpa mempertimbangkan kendala yang dihadapi orang lain. Pertama, pengalihan tugas tidak disertai dengan pelatihan yang memadai untuk menjalankan tugas baru. Akibatnya, banyak yang tergagap-gagap mengucapkan kata pasar. Kedua, tak semua karyawan memiliki atau mampu mengembangkan kualitas personalnya untuk menjadi pemasar. Walhasil, banyak yang nyalinya ciut duluan sebelum maju berperang. Ketiga, mereka harus beramai-ramai menjual pada saat banyak orang sedang ramai-ramai tak ingin membeli. Tentu saja, satu pelanggan harus dikerubuti puluhan orang. Tapi orang-orang di atas punya alasan, “Kapal mau tenggelam, penumpang harus sukarela berloncatan ke lautan. Sekoci hanya akan diturunkan bila keadaan sudah benar-benar darurat.” Seolah tak ada jalan lain yang lebih berbudaya.
Bagaimanapun, anak-anak muda, para fresh graduates, harus sebanyak mungkin didorong untuk menggeluti profesi sebagai pemasar. Baik lulusan sekolah menengah umum/kejuruan maupun tamatan perguruan tinggi. Inilah salah satu profesi yang akan banyak membantu Indonesia mempercepat proses kebangkitannya kembali. Berbicara di kancah global. Seperti pada zaman kejayaan kerajaan-kerajaan niaga di masa lalu.
Oleh karena itu, perlu dibuat dalam jumlah agak banyak biografi para pemasar untuk mata pelajaran dan mata kuliah pengenalan profesi. Agar para siswa dan mahasiswa terbuka matanya bahwa profesi berpenghasilan besar bukan hanya arsitek, artis, dokter, pengacara dan lain sebagainya. Ada sebuah profesi yang menjanjikan penghasilan jauh lebih besar dan tantangan yang lebih mengasyikkan, yaitu pemasar. Sudah bukan zamannya lagi menjadi bangsa yang cuma pintar membuat barang, tetapi selalu kebingunan kalau disuruh menjual.
“Perkara jual, itu urusan nanti. Yang penting, bikin dulu barangnya.”
Sony masih teringat ucapan seorang kenalannya, direktur sebuah pabrik pupuk pelat merah, sekitar sembilan tahun silam. Insinyur kimia itu sedang berancang-ancang memproduksi pupuk jenis baru. Tentu saja tak perlu pusing soal pemasaran. Karena ketika itu distribusi pupuk masih dimonopoli oleh PT PUSRI. Dia tinggal produksi. Urusan pemasaran biar holding yang memikirkan. Toh, itu pupuk memang jenis unggulan. Pasti diserap petani.
Tapi, ketika sebuah BUMN harus bersaing di pasar yang sesungguhnya, mereka selalu kedodoran. Ambil contoh di sektor transportasi. Baik di darat, laut dan udara, semuanya pada babak belur. Atau, di bidang farmasi, misalnya. Keuntungan mereka rata-rata di bawah lima persen dari nilai penjualan yang segede gajah. Kadang malah rugi. Dengan angka penjualan yang sama dan pabrik yang jauh lebih kecil, perusahaan swasta mampu meraih keuntungan rata-rata di atas empat puluh persen. Ini benar-benar anomali. Mereka cuma pintar dan fokus membuat barang, dan sibuk berorganisasi. Tidak gemar berdagang. Bondan Winarno bahkan pernah menulis, industri farmasi pabriknya kecil untungnya besar. Kenyataannya, industri farmasi pelat merah pabriknya besar-besar dan bercabang-cabang, dahan dan ranting pemasarannya menjulur-julur ke mana-mana, tapi untungnya sangat kecil.
Berkembangnya profesi pemasar di kalangan kaum muda akan memicu lahirnya banyak pengusaha baru di masa depan. Karena orang buka usaha tujuannya bukan untuk bikin barang, melainkan melayani pasar. Tanpa pasar di genggaman, sebaiknya urungkan saja niatan membuka usaha. Karena yang lebih penting adalah menjual. Urusan bikin barang, nanti saja setelah pasar benar-benar siap menyerap barang yang akan diproduksi. Kalau perlu, jualan dulu. Setelah ada yang mau beli, baru bikin barang. Sekali lagi, yang pertama dan utama, adalah berjualan.
Sekolah Alam saja sudah mengajarkan kepada murid-murid SD untuk gemar berdagang sejak belia. Dan itu benar-benar dipraktekkan. Mereka melakukan survai harga ke toko-toko. Membawa barang apa saja dari rumah untuk dijual kepada sesama teman dan juga kepada orangtua murid dan guru. Ukuran keberhasilannya sangat gampang. Mereka harus menjadi anak-anak yang mata duitan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar